Kamis, 07 Maret 2024

Perlindungan sosial ?

 


Kenapa harga harga naik sekarang?. Sebenarnya sudah naik sejak tiga tahun lalu. Namun tidak menjadi berita politik seperti sekarang. Justru karena tahun politik, itu jadi berita. Apalagi cara cara klasik pemerintah menahan kenaikan harga yaitu selalu lewat subsidi dan bansos. Namun Intervensi APBN terhadap pasar itu hanya temporari saja. Sifat nya politik pencitraan, bukan ekonomi pasar. Dari tahun ketahun terus membesar, kini udah hampir Rp 3664 T. Misal, kondisi anggaran subsidi dan kompensasi energi diterapkan sejak 2 tahun lalu berpotensi jebol, harga terkerek juga. Subsidi pupuk juga jebol yang berujung harga beras naik .


Jadi apa masalah sebenarnya ? Dalam teori ekonomi itu yang disebut dengan imbalance of economy. Antara fiskal dan moneter tidak seimbang.  Contoh pertumbuhan ekonomi katakanlah 5%. Nah ukuran BI yang kelola moneter kan liatnya ouput fiskal itu dari demand and supply market. Karena ini hukum besi pasar. Tidak ada urusan dengan politik. Atas dasar pasar itulah kurs dikelola, sehingga ketahuan kalau pertumbuhan 5% itu tidak real. Nilai rupiah jatuh lebih besar dibandingkan dari rata rata pertumbuhan ekonomi. Ditahan gimanapun rupiah akan terus melemah. Sejak dua tahun lalu Rupiah sudah tembus Rp. 15.000.


Mari kita perhatikan secara sederhana point dibawah ini. Tanpa ada maksud provokasi, kecuali data yang bicara. 


Pertama. Utang era Jokowi meningkat berlipat tetapi PDB juga tumbuh berlipat. Demikian pembelaan sebagian orang. Agar kita tidak terlibat ghibah omong kosong. Mari kita lihat data aja. Tahun 2014, PDB kita Rp 10 542,7 triliun dan PDB perkapita mencapai Rp41,8 juta. Tahun 2023. PDB kita Rp20.100 triliun. PDB per kapita Indonesia pada tahun 2023 adalah Rp75 juta, Artinya naik hampir dua kali. Sementara utang pemerintah Indonesia tahun 2014 tercatat sebesar Rp2.600 triliun. Utang tahun 2023 Rp8.100 triliun. Naik lebih 3 kali. Artinya peningkatan PDB itu tidak ada korelasinya secara significant dengan utang bertambah. Penyebabnya adalah ICOR yang tinggi. Korupsi. APBN dibancakin secara sistemtis.


Kedua. Tetapi itu kan karena resiko APBN  ekspansif. Benarkah? Mari kita lihat data. Kurs rupiah rata-rata tahun 2014 mencapai Rp12.000 per dolar AS. Tahun ini kurs 2024 kurs Rp. 15.700. Kalau dihitung depresiasi kurs rupiah terhadap USD tahun 2014 sebesar 30%. Kalau PDB perkapita kita tahun 2023 Rp.75 juta. Maka sebenarnya nilai realnya Rp. 53 juta.  Jadi APBN ekspansif dari utang itu tidak meningkatkan pendapatan perkapita secara significant. Apa sebab? Karena ekpansif lewat belanja APBN itu bersifat infantoir, bukan produksi. 


Jadi selama 10 tahun Jokowi berkuasa dia hanya jago belanja doang. Dan itu memang harus diakui, sama seperti emak emak di rumah, konsumerisme. Artinya kita mundur bahkan lebih terpuruk dibandingkan tahun 2014.


***

Kita hidup di era takhayul makroekonomi. Pemerintah kadang bicara ngawur. Contoh sederhana adalah hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Sehingga pertumbuhan harus di rem lewat kenaikan suku bunga dan berharap karena itu inflasi bisa ditekan. Hello…, pertumbuhan yang lebih kuat tidak menyebabkan inflasi. Sebaliknya, ekonomi growth memperlambat depresiasi mata uang. Pertukaran antara perekonomian yang kuat dan kurs yang kuat hanyalah sebuah ilusi. 


Pertumbuhan inflasi hanyalah manifestasi terbaru dari fundamentalisme sisi permintaan yang vulgar. Yes, bahwa pertumbuhan belanja APBN yang lebih kuat terkadang dapat menghasilkan pertumbuhan output yang lebih kuat. Tetapi itu hanya sementara waktu. Tidak sustain. Jangan melihat seakan jika total pengeluaran di seluruh perekonomian meningkat, baik harga maupun output akan meningkat—oleh karena itu diasumsikan ada hubungan antara inflasi dan pertumbuhan.  Itu fake growth. 




Misal, pertumbuhan ekonomi yang dipicu oleh APBN tidak akan bertahan lama. Perhatikan chart di atas ini.  Harga beras international tertinggi tahun 2008. Saat itu harga beras dalam negeri hanya  Rp 6000/kg. Apa artinya?. Harga beras biasa saja. Yang masalah adalah  nilai rupiah udah lebih 50% hilang. Makanya harga pupuk dan pestisida jadi mahal. Sulit petani untung dengan HPP. Harga impor jauh lebih murah daripada  beli dari petani. Kalau ini terus ditahan. Engga adalagi orang mau bertani. Habis produktifitas pangan kita.


Mengapa ? Kemampuan kita untuk berproduksi dibatasi oleh ketersediaan tenaga kerja, modal, sumber daya, teknologi, hukum dan institusi bisnis. Mengoper rupiah bolak-balik tidak mengubah semua ini. Pada akhirnya, dampak belanja yang lebih cepat terhadap pertumbuhan akan hilang. Yang kita dapatkan hanyalah harga yang lebih tinggi secara permanen. 


Pemerintah berpendapat : Meningkatkan pertumbuhan dengan melakukan deregulasi dan mendorong investasi akan mengurangi inflasi. Itu halu, menurut saya. Cara berpikir seperti itu  tidak berarti bahwa ekonomi Indonesia lebih baik dari negara lain dan agak laen karena masih bisa tumbuh sekitar 5 %, dapat menyembuhkan segalanya.  Hal ini tidak akan banyak membantu jika inflasi real diatas pertumbuhan. Bahkan tumbuh 0,5 persen saja udah luar biasa. Kalau pertumbuhan itu dirasakan oleh rakyat dan dibuktikan berapapun harga mereka bisa bayar. Karena peningkatan pendapatan mereka diatas harga kebutuhan umum


Solusinya adalah berpikir rasional. Bahwa kemajuan ekonomi yang berkelanjutan berasal dari perbaikan sisi penawaran. Penguasaan Teknologi lewat R&D dan undang-undang yang lebih baik sangatlah penting, karena hal ini secara efektif meningkatkan sumber daya yang kita miliki. 


Contoh, Antara tahun 1980 dan 2017 , jumlah jam kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi satu ton baja turun dari 10,1 menjadi 1,5. Metode produksi much product menimbulkan efisiensi ekonomi. Hal ini setara dengan peningkatan pasokan tenaga kerja. Pertumbuhan produktivitas adalah satu-satunya cara untuk sustain, dan karena itu meningkatkan standar hidup. Apa artinya pangan tersedia di pasar tapi konsumen menjerit dan konsumen bokek?. Tanpa peningkatan produksi, pertumbuhan hanya omong kosong. Mari lanjut..


Namun apa yang terjadi pada harga ketika output meningkat? Pertumbuhan ekonomi berarti lebih banyak output. Relatif lebih sedikit uang yang mengejar lebih banyak barang. Jika semua kondisi tetap sama, harga-harga di seluruh perekonomian akan turun. Pertumbuhan ekonomi bersifat deflasi – atau, paling tidak, disinflasi. Itu yang terjadi pada Jepang dan kini kena resesi.  Tapi rakyat tidak bokek. 


Kita dapat melihatnya dengan memeriksa persamaan pertukaran dinamis: gM + gV = gP + gY, di mana gM adalah pertumbuhan jumlah uang beredar, gV adalah pertumbuhan kecepatan, gP adalah inflasi, dan gY adalah pertumbuhan output riil. Persamaan pertukaran dinamis mengingatkan kita bahwa tingkat pertumbuhan pengeluaran uang efektif (gM + gV) sama dengan tingkat pertumbuhan output bernilai mata uang (gP + gY).


Misalkan kemajuan teknologi meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan secara permanen meningkatkan gY. Persamaan pertukaran harus tetap seimbang. Karena tingkat pertumbuhan jumlah uang beredar dan perputarannya tidak berubah, satu-satunya kemungkinan adalah penurunan inflasi. Untuk setiap poin persentase pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, inflasi turun sebesar satu poin persentase. 


Pertumbuhan inflasi termasuk dalam keranjang sampah sejarah intelektual, tepat di sebelah kurva Phillips. Jika pemerintah bahkan tidak bisa memahami dasar-dasarnya dengan benar dan tidak bisa melihat realita,  mengapa kita harus memercayai mereka? Jadi, pastikan aja rakyat tidak bokek. Apapun yang dikatakan pasti benar dan dipercaya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Memahami ekonomi makro secara idiot

  Berita media massa soal kinerja pemerintah dan terkait utang selalu bias. Bukan pemerintah bohong. Tetapi pejabat yang melakukan pers rele...