Senin, 26 Februari 2024

Uang Rp Undervalue

 




Big Mac Index pertama kali diperkenalkan pada tahun 1986 oleh majalah ekonomi The Economist sebagai alat ukur daya beli masyarakat di berbagai dunia. Index Big Mac memang beda dengan hitungan statistik pada umumnya. Karena McD menetapkan harga lokal berdasarkan daya beli  masyarakat. Kan McD tidak mungkin menetapkan harga USD. Mereka menetapkan harga jual sesuai dengan kemampun orang lokal membayar. Makanya harga Big Mac setiap negara berbeda beda. Nah perbedaan ini diukur terhadap dollar. Maka jadilah Big Mac Index.


Indeks Big Mac banyak digunakan oleh para ekonom dan investor sebagai alat untuk mengukur nilai mata uang. Terkadang, hasilnya memang cukup akurat. Menurut Index Big Mac, Rupiah memiliki nilai mata uang di bawah batas wajar atau undervalued, yaitu sebesar (-)59,3% dibandingkan dolar Amerika Serikat. Artinya kalau anda pegang uang Rp. 50.000. Maka nilai real uang ditangan anda terhadap USD adalah Rp 20.500. Dalam teori ekonomi, kalau uang undervalue, itu bagus untuk meningkatkan ekspor. Barang yang kita jual jadi murah. Tentu punya daya saing. Sementara barang impor jadi mahal. Ini akan memicu bangkitnya industri dalam negeri. 


Memang dalam situasi Rupiah undervalued sangat sulit menjaga kredibilitas di market. Sedikit aja mismatch hitungannya bisa memicu kepanikan dan hilangnya kepercayaan (lost of confidence) para investor, sehingga terjadi aliran modal ke luar (capital outflows). Hal ini akan membahayakan neraca pembayaran (balance of payments) dan posisi cadangan devisa (foreign reserves). Untuk itu BI harus hati hati menjaga rupiah di pasar. Berapa kurs yang sebenarnya layak, tidak tahu pasti. Ikut goyang arah gendang aja. Makanya Ongkos operasi pasar itu mahal sekali.


Akibat lain dari kurs undervalue itu, jarak antara suku bunga dan inflasi tidak bisa terlalu dekat. Masalahnya, jika terlalu dekat, para pemilik dana akan sensitif untuk memindahkan portofolionya menjadi berdenominasi valas, terutama dollar AS. Makanya BI naikan suku bunga acuan agar diatas inflasi  sehingga pasar valas terjaga dan rupiah stabil. Inilah yang kita saksikan sejak dua tahun lalu. Sampai rabu minggu lalu BI belum berani turunkan suku bunga acuan karena inflasi belum sepenuhnya terkendali. Selagi suku bunga tidak turun,pasar modal tetap bergairah.


Sementara posisi pemerintah dalam kondisi  rupiah undervalue bisa mengurangi defisit anggaran. Mengurangi beban bayar utang luar negeri. Misal bayar bunga dan cicilan Utang LN USD 1 juta. Dengan index McD 56,3% terhadap dollar, itu artinya kita bayar bunga dan cicilan hanya USD 563.000. Tetapi pada waktu bersamaan upah buruh atau pekerja menjadi sangat murah. Misal UMR sebesar Rp 4,5 juta. Itu nilainya dihadapan USD hanya Rp. 1.845.000. Atau sama dengan per hari sebesar USD 4. Kenaikan harga harga dan tarif jasa sangat mudah terjadi gejolak sosiopolitik. Sementara intervensi fiskal lewat subsidi berdampak inflasi dan semakin membuat rupiah undervalue. 


Yang jadi masalah adalah sejak era reformasi kurs kita undervalue, namun tetap saja daya saing ekspor kita lemah dibandingkan negara lain. Bahkan produksi dalam negeri keok terhadap barang impor. Industri downstream SDA tidak berkembang luas di Indonesia. Kebijakan kurs undervalue itu tidak mengubah paradigma ekonomi dari SDA ke industri. Artinya peluang daya tarik ekspor dan daya saing dengan barang impor tidak berdampak terhadap kurs undervalue itu.  Kalau masih dengan cara seperti itu mengelola fiskal dan moneter, berharap banyak dengan bonus demographi itu omong kosong.  Apalagi berharap tahun 2045 kita jadi negara hebat. Ketinggian ngayalnya.


Vietnam studi kasus. 

Menurut versi terbaru dari Indeks Big Mac The Economist , Mata Uang Vietnam - Dong - dinilai terlalu rendah sebesar 47% terhadap Dolar AS. Dengan menyesuaikan perbedaan PDB/penduduk, Dong diperkirakan masih undervalued sebesar 10%. Itu memang by design. Karena tujuan vietnam adalah transformasi ekonomi dari Pertanian ke Industri yang berorientasi ekspor. Selama 30 tahun terakhir, ketika Vietnam memantapkan dirinya sebagai eksportir besar dan basis manufaktur global, mata uangnya telah terdepresiasi terhadap USD rata-rata sekitar 2% per tahun.


Dampak undervalue nya mata uang, menarik investasi asing langsung (FDI) dalam jumlah besar sejak negara tersebut membuka perekonomiannya pada tahun 1990an di bawah kebijakan Doi Moi. Berdampak kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Transformasi ekoomi terjadi. Pergeseran alokasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor manufaktur dan jasa. Karena pesatnya ekspansi industri, seperti produksi tekstil, elektronik, dan makanan laut, mendorong angka ekspor ke tingkat yang lebih tinggi. Vietnam menempati peringkat ke-21 secara global dalam hal total ekspor, dengan telepon dan aksesoris, komputer dan produk elektronik, mesin dan peralatan, tekstil dan garmen, serta alas kaki sebagai produk ekspor utamanya. 


Setelah Vietnam mampu menjaga pertumbuhan realnya, maka mereka mulai kendalikan mata uangnya agar lebih menguat. Terutama sejak AS tuduh Vietnam melakukan manifulasi mata uang. Deberapa tahun terakhir, Dong Vietnam stabil, dan pada tahun 2021 mata uang tersebut terapresiasi terhadap USD. Ilustrasi The Economist tentang paritas daya beli (PPP) yang menggunakan harga relatif Big Mac di berbagai negara (69.000 Vietnam Dong pada Juli 2021 di Vietnam, dibandingkan USD 5,81 di AS) menunjukkan bahwa mata uang tersebut memiliki ruang untuk menguat lebih lanjut.


Dalam dua tahun meskipun ada COVID, FDI tetap mengalir sebesar $20 miliar per tahun. Pada bulan pertama tahun 2022, tingkat investasi bulanan meningkat sebesar 4% YoY. FDI, ditambah dengan surplus perdagangan sebesar $4 miliar pada tahun 2021 dan pengiriman uang masuk dari  warga Vietnam di luar negeri, telah meningkatkan cadangan devisa negara tersebut hingga lebih dari USD 100 miliar. Padahal PDB mereka hanya USD 366 Miliar dan penduduk 100 juta. Bandingkan dengan Indonesia yang cadev USD 146 miliar dengan PDB USD 1,4 trilion dan penduduk 270 juta. Dengan perbandingan itu keliatan Indonesia bego amat kelola ekonominya. Apalagi Fitch Ratings telah menaikkan Peringkat Issuer Default Rating (IDR) Mata Uang Asing Jangka Panjang Vietnam menjadi 'BB+' dari 'BB'.


Pada awal tahun 2000-an Anda bisa membeli T-Shirt di pasar Kota Ho Chi Minh yang bertuliskan, 'Saya berada di Vietnam sebelum McDonald's'. Hal ini tidak lagi terjadi, karena merek global seperti 'Golden Arches', Burger King, dan Starbucks telah menemukan tempat di samping makanan pokok lokal yang lebih lezat seperti Pho, Banh Mi, dan es kopi Robusta lokal yang menggugah selera. Fakta sederhana bahwa Vietnam termasuk dalam studi The Economist, padahal mata uangnya masih dapat ditukar secara bebas di luar negeri juga merupakan bukti betapa pentingnya mengelola ekonomi dengan smart. Engga bisa polos polos amat. 


Penutup.

Solusinya? menurut saya biarkan kurs rupiah melemah sesuai kehendak pasar. Engga usah Bi intervensi. Jangan ada distorsi pasar lewat subsidi dan oligopoli. Nah perhatikan, karena dampak krisis global seperti Jepang yang resesi, China slow down, itu akan mendorong mereka memindahkan industrinya ke Indonesia. Pengusaha nya tentu berharap kepada upah murah, pasar domestik dan daya saing yang tinggi akibat kurs undervalue. Ya tirulah Vietnam. Sejak awal membangun Vietnam sengaja melemahkan mata uangnya. Kini mereka jadi raja  Ekonomi di ASEAN. Yang penting segera kurangi Utang luar negeri. Pindahkan semua ke SBN rupiah. Kalau engga, rupiah akan jadi junk money.. kuncinya presiden terpilih harus clean and clear legitimate. Agar keputusan politik yang tidak populer mendapat dukungan rakyat luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Ekonomi kita " agak laen"

  SMI mengatakan ekonomi kita agak laen. Karena banyak negara maju pertumbuhannya rendah, bahkan seperti Jepang dan Inggris masuk jurang res...