Selasa, 07 Maret 2023

Korupsi



Pertama perjalanan diusia dewasa saya dalah ke Jakarta. Saat pertama kali injakan kaki saya di terminal Grogol tahun 1982. Saya melihat Jakarta tidak seperti impian saya. Tidak seperti poster KoesPloes bersaudara dilatar gedung megah jalan Thamrim. Jakarta yang saya saksikan adalah Jakarta yang kumuh dan sampah dimana mana. Saat mengurus KTP DKI, saya harus dapatkan surat keterangan RT dan RW. Saya datang malam hari. Lebih 2 jam RT nya hanya diam saja. Sampai akhirnya teman saya bisikan agar saya beri dia uang. Setelah saya selipkan uang Rp. 200 di map. Dalam hitungan detik. Surat pengantar keluar dan dicap. 


Indonesia di era Soeharto selalu memiliki hubungan yang sopan dengan korupsi, termasuk hadiah khusus kepada pejabat sudah jadi kehidupan sehari-hari yang biasa-biasa saja. Di kaki lima kawasan Tanah Abang, tempat saya tinggal, dianggap normal bagi pedagang untuk menyerahkan uang kepada preman yang datang. Saya liat sendiri, sore hari di tangga pasar Tanah Abang, preman itu setor uang kepada pejabat Pemda. Di era reformasi, pejabat dan elite partai tidak mau lagi terima hadiah. Menerima hadiah itu kelas eselon 4. Bukan kelas mereka. Mereka sudah seperti pedagang. Minta fee yang ditentukan didepan atas setiap konsesi business. Minta fee atas RUU yang akan di create untuk kepentingan pengusaha. Tanpa fee, engga usah bicara, engga usah ketemu. Keputusan MA ada tarif nya. Keadilan engga gratis dan engga bisa diintervensi oleh presiden sekalipun.


Korupsi sudah menggurita dari level kaki lima sampai berdasi. Dari negara miskin sampai negara maju. Korupsi tidak ubahnya dengan pelacuran. Mudah menemukan buktinya tetapi butuh keberanian menunjuk diri sendiri sebelum menunjuk orang lain. Buku Kleptopia : How Dirty Money Is Conquering the World, oleh reporter investigasi Tom Burgis menceritakan soal laku korup dengan vulgar. Ia  merangkai empat cerita yang mengungkap jaringan korupsi global yang mengerikan: pembuat onar dari Basingstoke yang tersandung pada rahasia bank Swiss, mantan Miliarder Soviet membangun kerajaan pribadi, pengacara Kanada yang saleh dengan klien misterius, dan bajingan Brooklyn yang dilindungi oleh CIA. 


Di Kleptopia, Burgis menghubungkan titik-titik itu. Dia mengikuti uang kotor yang membanjiri ekonomi globa, dari Kremlin ke Beijing, Harare ke Riyadh, Paris ke Gedung Putih, jejaknya menunjukkan sesuatu yang lebih menyeramkan. Mereka telah mengumpulkan lebih banyak uang daripada negara. Merusak nilai nilai demokrasi. Melahirkan diktator yang tanpa kontrol apapun. Tapi yang sebenarnya mereka curi adalah kekuatan publik. Ia menyimpulkan bahwa korupsi adalah produk globalisasi. Tidak ada satupun negara yang tidak terikat dengan kehidupan yang korup. Bahkan semua lembaga multilateral seperti World Bank, IMF, WHO, ADB dan lain lainnya adalah creator korup terbaik lewat aturan dan pemaksaan kebijakan kepada negara anggota yang membela kepentingan pemodal. 


***

Buku, Corruption: A Short History oleh Carlo Alberto Brioschi memberi  catatan singkat tentang korupsi sejak zaman peradaban besar kuno hingga krisis keuangan tahun 2008.Salah satu studi tertua tentang korupsi ditulis pada abad keempat oleh guru India, filsuf dan penasihat kerajaan Kautilya yang merupakan menteri Chandragupta Maurya, pendiri Kerajaan Maurya di India kuno. Dia menulis sebuah buku menawan tentang seni pemerintahan berjudul “Arthashastra.” 


Salah satu ucapan Kautilya yang paling terkenal menyoroti kesulitan untuk membuktikan bahwa seorang pegawai negeri tidak jujur: “Sama seperti ikan yang bergerak di bawah air tidak mungkin ditemukan baik sebagai air minum atau bukan air minum, demikian pula pegawai pemerintah yang dipekerjakan dalam pekerjaan pemerintah tidak dapat ditemukan. sambil mengambil uang (untuk diri mereka sendiri).” Dia juga menulis: "Sama seperti tidak mungkin untuk tidak mencicipi madu atau racun yang berada di ujung lidah, demikian juga tidak mungkin bagi seorang pegawai pemerintah untuk tidak menghabiskan setidaknya sedikit dari pendapatan raja.”


Pada zaman kuno, meminyaki roda sistem politik adalah hal yang biasa seperti saat ini, tetapi tidak selalu dikutuk. Meskipun Plato menulis dalam "Republik" bahwa penjaga negara tidak boleh memegang atau memakai emas atau perak atau minum dari cangkir emas atau perak, dia menyadari betapa sulitnya memerintah tanpa merugikan dan memicu ketidakpuasan. Dia sendiri mengakui bahwa jika dia terjun ke dunia politik, dia akan binasa. Plato mengakui "naluri lalim" manusia akan kekuasaan. Dengan kata lain, dia mengenali kecenderungan alami manusia yang nyata untuk menggunakan semua kekuatannya untuk melayani kepentingan pribadinya sendiri.


Pada zaman kuno inilah hubungan antara kemewahan dan dekadensi terbentuk, dengan unsur korupsi dan kepentingan pribadi yang kuat. “Orang yang terlalu kaya adalah orang yang lemah, tidak mampu melakukan hal-hal hebat. Dan… seringkali salah satu karakteristik yang paling diakui dari banyak orang hebat yang diakui adalah berhemat yang mendekati asketisme,” tulis Brioschi. Di Roma kuno, Julius Caesar sangat aktif korupsi. Dia memiliki 15.000 batangan emas dan 30.000 batangan perak untuk membiayai kampanyenya sendiri dan mengamankan pemilihannya. Orang-orang yang menyediakan dana diberi hadiah, seperti halnya dengan Crassus, seorang kontraktor bangunan kaya yang kemudian dibayar kembali dengan kontrak pekerjaan umum.


“The Prince” oleh Niccolò Machiavelli, seorang diplomat dan penulis selama periode Renaisans di Italia, adalah salah satu teks terpenting tentang korupsi. Machiavelli percaya bahwa kejahatan melekat dalam semua tindakan politik yang ditujukan untuk kebaikan bersama. Machiavelli menulis bahwa sang pangeran “tidak boleh keberatan menimbulkan aib dari sifat buruk yang tanpanya akan sulit untuk menyelamatkan negara, karena jika seseorang mempertimbangkan dengan baik, akan ditemukan bahwa beberapa hal yang tampaknya kebajikan akan, jika diikuti, mengarah pada kebaikan seseorang. kehancuran, dan beberapa lainnya yang tampak buruk, jika diikuti, menghasilkan keamanan dan kesejahteraan yang lebih besar.”


Brioschi melanjutkan untuk mempelajari korupsi yang berlangsung di balik kedok politik. “Mengesampingkan masalah kriminalitas langsung (yang setidaknya sering memiliki keberanian untuk secara terbuka mengakui kriminalitas mereka sendiri), masalah sebenarnya adalah perlindungan dan perlindungan yang ditawarkan kepada kriminalitas yang mengintai di celah dan celah politik dan hukum. administrasi,” tulis Brioschi.


Brioschi merujuk pada lobi di AS, di mana kelompok dan industri tertentu menyewa advokat profesional untuk mendorong perubahan legislatif di Kongres. Memang, lobi mulai mengakar di Brussel dan mereka dapat memberikan pengaruh yang menentukan. Di Washington, lobi merupakan kekuatan otentik, dengan pengacara, karyawan, dan perwakilan untuk masing-masing kategori. Selain itu, ada juga organisasi nirlaba, kelompok warga dan kelompok kepentingan publik yang melobi isu-isu yang tidak selalu bersifat ekonomi. Lobi yang berhasil sering membawa imbalan uang yang besar bagi perusahaan yang melobi.


Para Pilgrim Fathers yang berangkat ke Amerika untuk melarikan diri dari korupsi Inggris akan kecewa mengetahui bahwa pada tahun 2012, sebuah laporan oleh Komisi Pemilihan Federal menghitung bahwa para senator AS harus mengumpulkan hampir $10,5 juta untuk memenangkan atau mempertahankan kursi mereka. Kasus menarik lainnya yang disebutkan dalam buku ini adalah situasi di beberapa negara berkembang Afrika, di mana korupsi begitu mengakar sehingga mantan Presiden AS Jimmy Carter mengatakan bahwa bantuan untuk negara berkembang terdiri dari pajak orang miskin di negara kaya untuk membantu orang kaya di negara miskin.


Mobutu Sese Seko, mantan presiden Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo), telah mengumpulkan begitu banyak kekayaan sehingga dia menyewa pesawat pribadi untuk membawa keluarganya berbelanja di Eropa. Menurut buku itu, dia bisa saja menulis cek untuk menutupi seluruh hutang luar negeri negaranya. 


Samahalnya ungkapan Jokowi dalam kampanye ada Rp. 11.000 triliun uang korup dari sekian dekade dilarikan keluar negeri. Uang itu bisa bayar utang luar negeri. Dua tahun lagi kekuasaannya berakhir uang Rp. 11.000 triliun belum kembali, justru surplus neraca dagang DHE dilarikan keluar negeri. Jokowi hanya buat aturan yang menguras kas BI. Membujuk DHE agar ditempatkan dalam negeri berbunga tinggi. Dan kemarin PPTAK membongkar data pejabat DJP dan memblokir rekening Rp. 500 miliar,  bahkan dilingkungan kemenkeu mencapai Rp 300T. 

Brioschi menyimpulkan bahwa korupsi politik dapat diperangi dan dikurangi secara efektif dengan tiga senjata: “Sistem peradilan yang efisien dan efektif, proses pengumpulan berita dan pelaporan yang bebas, serta kriteria akuntabilitas untuk setiap tindakan pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Di balik tataniaga Timah.

  Direktur Utama PT Timah Tbk (TINS) Ahmad Dani Virsal mengatakan bahwa Indonesia kini merupakan produsen timah terbesar kedua di dunia. Dia...