Kamis, 09 Maret 2023

Di balik penundaan Pemilu?

 



Negeri ini geger dengan adanya keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang berkaitan dengan ( Perkara nomor: 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.) gugatan Partai Rakyat Adil dan Makmur (PRIMA) kepada KPU. Ketua Majelis Hakim T. Oyong dengan hakim anggota H. Bakri dan Dominggus Silaban membacakan amar putusan pada tanggal 2/3, 2023. Bahwa menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilihan umum 2024 sejak putusan diucapkan. Dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari.


Sulit untuk membantah bahwa Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu tidak ada muatan politiknya. Walau Presiden Jokowi dengan tegas mengatakan tidak akan ada penundaan Pemilu. Proses yang dilakukan KPU harus jalan terus. Tapi mengapa keputusan PN Jakarta Pusat  tu ada ? Di sinilah tanda tanya besar dan jawabannya menjadi bias. Apa itu? Artinya, walau pakar hukum dan Menko Polhukam, serta elite politik mengatakan   bahwa keputusan PN itu tidak sesuai dengan PerMA 2/2019, ya tetap saja  dengan pengajuan banding oleh KPU, itu secara hukum KPU mengakui keputusan PN. Engga bisa diabaikan begitu saja.


Pada awalnya mereka yang mewacanakan penundaan Pemilu datang dari orang terdekat Jokowi sendiri. Mereka adalah LBP , Airlangga Hartarto,  Bahlil Lahadalia, Zulkifly Hasan, Muhaimin Iskandar. Semua tahu mereka adalah the Presidenman. Belum lagi pengerahan kedatangan Kepala Desa ke Jakarta. Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) mengusulkan agar masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang menjadi 3 periode. Walau akhirnya Presiden dalam rapat Kabinet memerintahkan menterinya agar hentikan wacana penundaan pemilu. Tapi faktanya, terakhir yang muncul bukan lagi wacana, tetapi keputusan Pengadilan. Ini udah ranah hukum. Apa jadinya kalau kasus ini terus berlanjut ke MA dan keluar keputusan yang punya dasar hukum untuk amandemen UUD 45. 


Semua tahu kalau penundaan pemilu itu terjadi bisa berdampak kepada krisis politik, berujung chaos sosial. " Indonesia itu apasih yang tidak bisa diatur. " Kata teman menjawab kekawatiran saya atas adanya penundaan pemilu. Jadi benarkah ada pihak yang terus bermain dibalik penundaan Pemilu ini? Tanpa ada niat menuduh tetapi berdasarkan analisa sederhana soal kepentingan politik partai, rasanya boleh lah bila saya awali dengan pertanyaan mendasar. Siapa yang kawatir dengan adanya Pemilu ?


Pertama, ada Partai yang tidak percaya diri akan menang dalam Pileg. Suara mereka dari sejak pemilu 2004 terus turun, namun mereka sudah terlanjur masuk dalam lingkaran kekuasaan dan mereka menikmati itu sebagai koalisi pemerintah. Siapa itu? Partai Golkar, PKB, PAN,  NASDEM. Keinginan itu dipicu oleh sikap PDIP yang udah bosen berkoalisi dengan mereka. Maklum PDIP sesuai UU,  kursinya diatas ambang batas Presidential Threshold. Artinya tidak perlu koalisi mengusung Capres. Kalau ada Parpol yang mau dukung silahkan saja. Tapi koalisi NO way. Sementara mana ada partai mau dukung tanpa kontrak koalitik. Ini berkaitan dengan sumber daya kekuasaan yang harus dibagi.


Semua partai selain PKS, PD bermain di hadapan PDIP. Tujuannya agar menarik PDIP berkoalisi mengusung Capres.  Ya mudah ditebak. mereka ingin pesta tanpa jeda seperti era Jokowi. PDIP hanya dijadikan pelengkap, sementara king maker tetaplah mereka. Tentu mereka juga menyediakan dana untuk itu. Cara mereka smart. MIsal, Golkar, PKB, PAN punya calon sendiri sendiri. Tapi di belakang layar, mereka ada dibalik dukungan meningkatnya elektabilitas Ganjar Pranowo sebagai Capres. Semakin tinggi elektabilitas Ganjar semakin besar bargain mereka dihadapan PDIP. Tapi PDIP tetap dengan sikap diamnya. " Kalian bermain saya juga bermain" kata Megawati. Andaikan Ganjar dicalonkan PDIP, belum  tentu PDIP mau kontrak Politik dengan mereka. Jadi penundaan Pemilu itu penting.


Kedua. Nasdem pada awalnya tidak disangka akan melakukan manuver diluar agenda Koalisi pemerintah. Padahal sudah ada kontrak politik dalam koalisi pemerintah. Satu suara, satu tekad dan satu agenda. Ternyata Surya Paloh sebagai politisi dan wartawan berpengalaman, membaca sikap Megawati (PDIP) tidak bisa diubah. Tidak perlu lagi bermain menghindari PDIP, tetapi lebih baik menghadapi PDIP langsung di Pemilu, dengan mengusung Anies Baswedan. Situasi ini membuat hubungan Nasdem dengan PDIP semakin buruk. Walau berulang kali SP mau bertemu dengan Megawati, tetap ditolak Megawati. Hubungan dengan koalisi pemerintah lainnya sudah tidak senyaman seperti sebelumnya. Tapi Jokowi smart. Da tidak mau terlalu jauh menyikapinya. Wait and see aja.


Nasdem tidak cukup suara untuk mengusung Anies sebagai Capres. Walau PD mau berkoalisi, itu tetap tidak cukup suara mencapai presidential threshold. Partai koalisi pemerintah tidak kuatir Nasdem berkoalisi dengan partai manapun, asalkan jangan dengan PKS. Mengapa ? karena Anies lebih familiar dengan akar rumput PKS. Atau istilah vulgarnya, Anies ya PKS. Tanpa PKS ya Anies nothing. Mereka mungkin berusaha dengan segala macam cara menghalangi PKS agar tidak ikut dalam koalisi. Entah apa sebabnya -jelas ada kekuatan besar- yang membuat PKS berbulat hati mengusung Anies dan tentu berkoalisi dengan Nasdem. Soal PD, tidak dalam posisi menentukan. Karena bagaimanapun PD engga banyak pilihan. Dia harus koalisi dan pintu koalisi hanya terbuka dari Nasdem.  Pintu koalisi pemerintah tertutup sudah.


Keadaan ini membuat mereka dari Parpol presidentman, para oportunis, pengusaha yang dekat dengan presiden, yang selama ini menikmati kue kekuasaan, berusaha menunda pemilu atau memungkinkan Jokowi maju tiga periode. Ya kalau Anies menang, PDIP tidak mungkin koalisi. Yang pastinya PDIP akan jadi oposisi lagi. Itu engga masalah. Para president man akan jadi follower doang untuk aman. Kehilangan posisi strategis di ring kekuasaan. Para oportunis akan kembali jadi pengangguran intelek.


Ketiga. Politik itu dinamis. Melihat perkembangan politik dari ke hari, akhirnya Jokowi mau bertemu dengan Surya Paloh. Keadaan mencair. Jokowi bagaimanapun berusaha dapatkan soft landing dari kekuatan manapun, termasuk dari koalisi Nasdem. “ Selanjutnya Jokowi dalam posisi seperti raja tempo dulu. Kalau ada konflik antar pangeran, raja bersikap tidak memihak. Anak permaisuri maupun anak selir sama saja. Raja akan mendukung pangeran yang memenangkan konflik. ” Kata teman.  Artinya Jokowi pasti tahu gerakan senyap yang menginginkan pemilu ditunda atau inginkan Jokowi boleh tiga periode. Jokowi juga tahu sikap PDIP engga mau pemilu ditunda. Jokowi tetap berpatokan kepada konstitusi. Siapa yang menang ya dialah yang benar. Yang penting dia aman.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Memahami ekonomi makro secara idiot

  Berita media massa soal kinerja pemerintah dan terkait utang selalu bias. Bukan pemerintah bohong. Tetapi pejabat  yang menyampaikan infor...