Minggu, 27 Mei 2018

Politik

Politik tanpa panggung bukan politik namanya tetapi stand up commedy. Politik tanpa gendang tidak akan ada panggung. Gendang tanpa penari tidak akan ada kerumunan massa. Jadi politik adalah sebuah drama panggung dimana harus ada gendang untuk memungkinkan ada penari dan penonton bisa tertawa sekaligus meliukan badan mengikuti irama gendang. Yang namanya penonton bisa saja saling sikut dan baperan. Bisa saja karena itu bertikai adu phisik, adu urat lehet. Tetapi itu tidak ada kaitannya dengan panggung. Lakon drama terus berlansung ketika yang bertikai di cokot aparat polisi untuk dimankan demi UU. Hebatnya makna politik itu ditampilkan begitu vulgar oleh ILC dan mendapat rating tinggi dihadapan pemirsa.

Rakyat kita suka mendengar orang berbicara politik dengan analisa dan opini membela dan menyerang. Semua orang dari berbagi disiplin ilmu bisa bicara atasnama politik. Ahli hukum beropini dari sudut pandang hukum. Ahli sosial beropini dari sudut sosial. Ahli agama bicara dari sudut fikih dan syariat. Ahli filsafat bicara soal fiksi dan fakta. Semua dapat panggung untuk bicara atas nama diri merekan sendiri. Dari semua yang berbeda pendapat itu, rakyat sebagai pemirsa mendapat tontonan menarik. Mengapa ? itu bukan karena panggungnya hebat seperti lawak Srimulat tetapi karena didalam kepala pemirsa juga punya opini sendiri sendiri. Dan setiap orang menanti ada pendapat yang sama dengan opininya dan persepsinya. Yang tidak sependat memuaskkan dirinya dengan posting di Fb sambil mengumpat.

TV atau media massa juga termasuk sosial media mendapatkan keuntungan dari komunitas baper ini. Politik seakan panggung yang menarik bagi rakyat melepaskan emosi rendah untuk marah dan memuji serta berfantasi. Pada waktu bersamaan bisnis media mendapatkan uang dari iklan dan traffic komunikasi.Para komentator dan nara sumber dapat amplop. Selanjutnya apa ? tidak ada. Karena panggung politik tidak pernah menawarkan solusi agar mencari terbaik diantara yang baik. Panggung politik hanya memberikan ruang agar konsesus terjadi diatas berbagai kepentingan. Kepentingan siapa ? ya elite politik. Prinsipnya, pendapat akan berbeda selagi pendapatan beda. Namun bila pendapatan sama maka pendapat akan sama.


Untuk hal ini saya tertarik memantau perpolitikan di China. Mengapa ? karena ketika Deng berkuasa dia menutup layar panggung politik. Menghentikan gendang agar tidak ada lagi kerumunan orang yang kepo. Meniadakan penari latar agar tidak ada orang yang baper. Deng menggantinya dengan insentip kepada setiap orang.Pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan dan pada waktu bersamaan memaksa orang belanja dari keringatnya. Untuk itulah pemimpin dipilih. Mau kapitalis , sosialis atau agama ,tak penting. Yang penting rakyat dan penguasa harus kerja dan negara dapat pajak. Selebihnya korban peradaban bagi mereka yang malas dan baper. Makanya jangan terkejut bila gubernur bank central china akhirnya harus turun jadi Walikota atau Elite partai masuk bui dan Sekretaris partai mati didepan regu tembak karena korupsi. Orang diukur dari kinerja bukan retorika dan citra.. Siapapun itu.! Politik kehilangan ruhnya sebagai lapo tuak..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Inflasi momok menakutkan

  Dalam satu diskusi terbatas yang diadakan oleh Lembaga riset geostrategis, saya menyimak dengan sungguh sungguh. Mengapa ? karena saya tid...