Jumat, 18 Agustus 2017

Belajar dari Tan Malaka


Pada suatu waktu , saya ada kesempatan berdiskusi dengan teman yang juga adalah pejabat China. Yang membuat saya kagum adalah pemahamannya tentang pemikiran Tan Malaka begitu hebatnya. Saya tahu karena yang dibahasnya itu buku tulisan Tan Malaka yang berjudul Madilog ( (materialisme, dialektik dan logika). Menurutnya bahwa China di era Mao, pernah terjebak dengan komunisme ala Rusia, dan itu membuat china gelap selama lebih dari seperempat abad dengan korban rakyat kelaparan puluhan juta ketika revolusi kebudayaan.

Tan Malaka punya sudut pandang sangat berbeda dari komunismenya Marx. Meskipun isi Madilog sebagian besar mengikuti materialisme dialektik Friedrich Engels. Siapa Friedrich Engels? Ia adalah sahabat karib Karl Marx yang memperlengkap filsafat sosial Marx dengan filsafat alam dan ontologi materialis yang kemudian akan menjadi dasar filosofis Marxisme-Leninisme. Tapi Madilog bukan semacam "ajaran partai" atau "ideologi proletariat", bukan. Bahkan sangat ekstrim bahwa Madilog tidak setuju dengan pemikiran Marxisme-Leninisme yang senantiasa menuntut ketaatan mutlak terhadap Partai Komunis, alias pimpinannya. Madilog menolak segala bau ideologis, menolak jargon ortodoksi partai yang tahu segala-galanya. Madilog adalah imbauan seorang nasionalis sejati pada bangsanya untuk ke luar dari keterbelakangan dan ketertinggalan.

Maosedong walau terlambat tapi bisa menerima ide dari istrinya untuk melakukan koreski komunisme lenis dan mengikuti pemikiran Tan Malaka. Bahwa kemunduran China dan akhirnya di kalahkan dengan pihak asing karena terbelenggu dalam keterbelakangan oleh "logika mistika". "Logika mistika" adalah logika gaib, di mana orang percaya bahwa apa yang terjadi di dunia adalah kerjaan kekuatan-kekuatan keramat di alam gaib. Logika gaib melumpuhkan orang karena, daripada menangani sendiri tantangan yang dihadapinya, ia mengharapkannya dari kekuatan-kekuatan gaib itu. Daripada berbuat dan berusaha, ia mengadakan mantra, sesajen dan doa-doa. Revolusi kebudayaan CHina berhasl memberangus pemikiran mistik itu. Makanya dia heran ketika berkunjung ke Indonesia, orang masih terjebak dengan pemikiran mistik itu. Padahal Tan Malaka sebagai putra Indonesia terlahir dari Sumatera Barat mengatakan dalam pemikirannya bahwa selama bangsa Indonesia masih terkungkung oleh logika gaib itu, tak mungkin ia menjadi bangsa yang merdeka dan maju. Jalan ke luar dari logika gaib adalah "madilog", materialisme, dialektik dan logika. Mirip dengan August Comte, sang bapak positivisme seratus tahun sebelumnya.

Mari kita perhatikan pemikiran Tan Malaka. Dari "logika mistika" lewat "filsafat" ke "ilmu pengetahuan" atau “sains”.

Materialisme.
Orang Indonesia itu sangat suka melihat segala peristiwa di alam ini dengan pemikiran cocok logi, yang berbau takhyul. Kita tidak terbiasa melihat persoalan dengan akal yang mengundang kita untuk mencari tahu mengapa terjadi. Jadi kita tidak terbiasa mempelajari sesuatu yang realitas dengan dasar keilmuan. Makanya engga aneh bila orang mudah percaya dengan penggandaan uang. Mudah ditipu dengan endorsement orang lain akan sorga yang dijanjikan. Padahal Sorga itu hak Tuhan, dan tidak ada satupun manusia bisa mengedorse orang lain bisa masuk sorga.

Jadi yang dimaksud dengan materialisme Tan, bukan pertama-tama pandangan filosofis bahwa segala yang ada itu adalah materi atau berasal dari materia, melainkan keterarahan perhatian manusia pada kenyataan, terkosepsikan dengan khayalan dan takhayul. Artinya daripada mencari penyebab segala kejadian di alam gaib soal sorga neraka, carilah penyebah terhadap realita yang ada pada diri sendiri. Daripada menganggap miskin dekat dengan sorga, mengapa tidak mencari sebab kemiskina itu terjadi pada diri sendiri. Selidikilah realitas material dan itu berarti: pakailah ilmu pengetahuan!

Dialektika 
Dunia ini berubah dan satu satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Mengapa ? dengan rendah hati Tan Malaka menyatakan bahwa dialektika berarti bahwa realitas tidak dilihat sebagai sejumlah unsur terisolasi yang sekali jadi lalu tak pernah berubah. Dialektika mengatakan bahwa segala sesuatu bergerak maju melalui langkah-langkah yang saling bertentangan. Khususnya ia menyebutkan dua "hukum" dialektika: "hukum penyangkalan dari penyangkalan" dan "hukum peralihan dari pertambahan kuantitatif ke perubahan kualitatif”. Jadi memaksakan pemikiran itu absolut pasti terbelakang secara intelektual. Dan pasti stress kalau ada yang menyangkal.

Logika 
Tan malaka menegaskan bahwa logika tidak dibatalkan oleh dialektika, melainkan tetap berlaku dalam dimensi mikro. Tan Malaka justru menunjukkan bahwa pemikiran logis, dengan paham dasar dialektis, membebaskan ilmu pengetahuan untuk mencapai potensialitas yang sebenarnya. Logika gaib seharusnya dilawan dengan logika yang sebenarnya dan karena itu perubahan terjadi, keberadaan Tuhan di agungkan.

***
Teman saya dari China lagi lagi membuat saya terkejut “ Tan Malaka telah dapat meramalkan keadaan kemasyarakatan secara luas ditinjau dari sudut pandang budaya dan politik. Tan Malaka mengatakan dalam Madilog-nya : Indonesia tak akan pernah benar-benar bebas apabila masih terkungkung pada pemikiran gaib, irasional dan percaya akan hal-hal tahayul lainnya. Bagi China itu pemikiran yang hebat. Karena budaya china dan Indonesia lebih banyak miripnya daripada bedanya. Walau Tan Malaka tidak pernah membahas tentang adat dan budaya bangsa Indonesia namun dia mengajak orang untuk tidak perlu memilih pemimpin karena faktor keturunan dan dengan embel embel dia titisan dewa ( atau penerus Rasul ). Ada faktor-faktor yang lebih penting memilih seorang jadi pemimpin yaitu seperti sumbangsih pemikiran dan kepeduliannya, kepintaran dan intelektualitas. Tan Malaka ingin mengajak orang agar lebih partisipatif dan meninggalkan segala hal berbau irasionalitas dan budaya pembodohan yang ada dan marak terjadi di Indonesia baik dalam politik, budaya maupun ekonomi.

Ada yang luar biasa dari Tan Malaka bahwa dia mengajak kita berpikir secara ilmiah berdasarkan fakta. Tidak berpikir sektoral atau wilayah. Mengajak kita berpikir futuristik dan bersikap mandiri, konsekwen dan konsisten. Itu semua dia tuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya Madilog juga mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking” atau bukan dogmatis dan bukan doktriner. China mampu melakukan transformasi dari politik apa kata patron dan dokrin politik totaliter menjadi politik emansipasi. Revolusi kebudayaan China adalah kado terindah dari bapak Maosedong kepada generasi China masa depan, dan karena itu China bisa menjadi negara besar. Mereka belajar dari pemikiran Tan Malaka. 

" Bagaimana keluarga bisa melahirkan putra sehebat itu? tanya teman dari China. 
Dengan tersenyum saya katakan " Tan lahir dari keluarga muslim yang taat dan adat minang yang indah. Dalam usia belia sudah hafal Al Quran. Namun dia berkembang dari pemikiran islam moderat, bukan islam puritan pakai baju gamis dan celana cingkrang. Pasih dalam 6 bahasa dan terpelajar jago berdebat namun tetap tidak merendahkan orang lain. Itu budaya kami dan begitu agama mendidik kami. "
" Tapi mengapa Indonesia tidak belajar dari Tan ?
" Kami belajar dan di era Jokowi kami terapkan itu."
" Ya saya melihat itu ketika Jokowi berkunjung ke China. Dia pernah bilang, kami bisa melebih china dan itu tidak perlu lama dan tidak perlu ada revolusi kebudayaan.Karena kami punya Pancasila."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...