Sebenarnya aku sedang tak bergairah untuk makan malam bersama. Aku masih terguncang dengan berita kematian Catty, namun juga menyadadari bahwa waktu akan terus berjalan. Juga team Naga kuning yang mengundangku ke Beijing tentu memiliki agenda jelas dan jadwal yang ketat. Kuyakinkan diriku sendiri untuk tegar. Setidaknya, harus meyakinkan mereka bahwa aku sangat siap dengan segala kemungkinan.
Makan malam itu diadakan di sebuah restoran yang terbilang sederhana yang berada di kawasan downtown Beijing. Semua anggota team Naga Kuning hadir di sana.
“Jak, besok kita akan pergi ke Hobey,” kata Huang.
“Ada apa?”
“Kami akan membawamu bertemu dengan seseorang. Dia adalah keluarga terakhir dari dinasti Zhou atau yang juga bisa disebut dengan dinasti era Kaisar Chang.”
“Zhou?” aku terkejut. Nama itu mengingatkanku pada sesuatu di dalam pikiranku.
“Ya. Zhou,” Huang menjawab sambil asyik menikmati kepiting rebus. Seakan tidak peduli dengan keterkejutanku. “Dinasti ini dipimpin oleh Kaisar Chang pada tahun 1330 sebelum Masehi,” lanjut Huang.
“Tapi ada yang perlu kamu ketahui,” kata Chang menyambung Huang bicara. “Konon menurut sejarah, dinasti ini pernah menghadapi serangan yang menakutkan dari suku Ya’Juj. Suku ini dikenal sebagai suku yang ahli berkuda dan sangat kejam terhadap musuhnya. Untuk menghadang serangan itu, Kaisar berinisiatif membangun tembok pertahanan yang sekarang dikenal sebagai Great Wall.
Pengetahuan bangsa Cina ketika itu sangat terbatas, maka mereka pun mengundang seorang ksatria beriman. Dia dikenal sebagai Akhnaton atau dalam kitab suci Islam disebut sebagai Dzulkarnaen. Keahlian Akhnaton yang begitu hebat di bidang arsitek dan racang bangun tak perlu diragukan lagi. Akhanton-lah yang pertama kali membangun Tembok Cina dan dilanjutkan oleh kaisar lain setelahnya.” Huang berhenti sejenak untuk menenggak teh dari cangkirnya. Dia bercerita dengan semangat, sambil sesekali memasukkan potongan daging ayam panggang ke dalam mulutnya.
Aku menyahut, “Dalam kitab Suci, Dzukarnaen dikenal sebagai raja yang dirahmati Allah. Dia menjadi pembelajaran bagi orang beriman. Dengan kekuasan yang begitu besar dan kemenangan demi kemenangan dalam setiap penaklukan, tidak membuat dia sombong. Dia tetap rendah hati dan tak pernah henti mengucap syukur kepada Allah. Bisa jadi, kedatangannya ke Cina tidak lain adalah perintah dari Allah untuk membela kaum yang lemah dan sekaligus memberi pengetahuan tentang teknik bertahan.
Konon menurut cerita, kaum Ya'juj awalnya adalah Malaikat yang meminta kepada Allah untuk dijadikan manusia. Namun setelah menjadi manusia mereka kemudian ingkar dan menjadi sangat kejam kepada musuhnya.”
“Ternyata kamu tahu banyak soal sejarah,” sela Huang sambil tersenyum.
“Ya, sedikit banyak aku tahu. Walau tidak tahu pasti kebenarannya,” jawabku lugas. “Tapi, mengapa kita harus ke Hobey? Mengapa aku perlu bertemu dengan seseorang itu?” Mereka semua terdiam. Satu sama lain hanya saling pandang.
“Ok, malam ini kita harus pergi ke karaoke,” sela Yu dengan senyum penuh arti sambil melirik Lien.
Mungkin Yu sudah tahu keadaanku yang terguncang dengan kabar kematian Catty. Atau mereka memang sengaja tidak mau membahas alasan bertemu dengan seseorang itu. Namun, yang jelas mereka berusaha menghiburku. Mengajakku untuk sekedar melupakan kesedihan. Padahal aku juga sudah tidak lagi memikirkan soal itu. Aku sadar, kematian Catty adalah bagian takdir yang harus diterimanya.
Lien Merengut. “Aku mengerti, ini urusan pria. Aku akan kembali ke kamar setelah ini.”
“Mengapa kamu tidak ikut ke karaoke?” tanyaku menawarkan Lien untuk bergabung.
“Ini acara laki-laki, Jak!” kata Yu sambil merilik Lien.
Usai makan malam, Lien mendekatiku. “Jak, jangan minum terlalu banyak. Aku tahu kamu tidak biasa minum alkohol,” Lien berpesan.
Yu hanya tersenyum melihat perhatian Lien yang begitu besar kepadaku. “Tidak usah kawatir, aku akan menjaganya,” kata Yu. Lien cepat memalingkan wajahnya ke tempat lain dan segera keluar dari restoran. Ia menuju tempat parkir kendaraan.
KTV yang kami tuju dimiliki oleh pengusaha yang dekat dengan militer. Tak heran bila pengunjungnya cukup ramai. Ketika kami datang, petugas KTV menyambut kami dengan ramah. Petugas itu menuntun kami ke ruangan VIP.
Lima menit setelah kami berada di dalam ruangan, deretan wanita cantik berbaris masuk ke dalam ruangan. Mereka semua berpakaian seksi dengan senyum mengembang. Standar pelayanan kelas atas.
Yu, memilih satu demi satu wanita untuk mendampingi kami masing-masing. Tapi, apa yang bisa dilakukan seorang pramuria bila dia tidak bisa berkomunikasi denganku. Wanita yang mendampingiku hanya bisa tersenyum dan kadang bicara dalam bahasa mandarin yang sulit dimengerti. Aku melirik ke arah Huang, Yu dan lainnya. Nampaknya hanya aku sendiri yang terlihat bingung menikmati malam ini.
Aku berusaha santai sambil menikmati alunan lagu yang di bawakan para wanita pendamping. Terkadang Yu dan Huang juga ikut bernyanyi. Semua dalam bahasa mandarin yang tidak kumengerti. Aku sedikit bosan karena tidak benar-benar bisa menikmati keadaan. Namun hatiku sedikit girang ketika telepon selularku bergetar. Kukira, akan ada hal lain yang bisa kulakukan.
“Pak, ini aku,” terdengar suara John Low. Aku melirik kepada Yu, yang segera menghentikan TV dan meminta semua yang ada di dalam ruangan itu agar diam.
“Sudah hampir tiga bulan kasus Bapak mangkrak dan belum juga mendapatkan tanggapan dari pengadilan. Aku rasa kita tidak bisa berharap banyak. Apa pendapat Bapak?”
“Anda lawyer dan Andalah yang seharusnya memberikan advice atas masalah ini,” aku berbicara dengan nada suara sedikit kutekan.
“Maksudku, eh...” John terdiam. Dia berhenti saat akan meneruskan kata-katanya.
“Sebutkan apa itu?” desakku.
“Maksudku, apakah tidak sebaiknya Bapak hentikan kasus ini, sehingga Bapak tidak perlu membayar fee lagi kepadaku untuk tiga bulan berikutnya?”
“Aku tidak mengerti. Mengapa Anda begitu peduli dengan biaya yang kukeluarkan?”
“Kasus ini bukan saja sulit tapi membingungkan. Yang kita hadapi adalah pemain tingkat tinggi.”
“Ok, stop!” seruku. Aku mulai merasa ada yang aneh dengan John. “Apakah Anda masih bersedia menjadi lawyerku?” tanyaku kemudian.
John terdiam sebentar. “Ya. Bersedia,” jawabnya kemudian.
“Good! Terima kasih,” kataku singkat sambil menutup teleponnya.
Dari suara John, terdengar bahwa dia sedang berada dalam tekanan. Tidak mungkin ada Lawyer sampai memberikan advice yang bertolak-belakang dengan profesionalitasnya. Kupikir ini pasti ada yang tidak beres. Pasti ada sesuatu!
Chang melirik, seakan dapat membaca sesuatu yang sedang membebani pikiranku. Aku sudah tidak bisa lagi menikmati suasana. Pikiranku tak bisa lepas dari John Low. Huang nampak memperhatikan situasi ini dan akhirnya memutuskan untuk segera menutup bill. Ketika itu jam sudah menunjukan pukul dua dini hari. Kami keluar dari ruangan karaoke dengan menyisakan sebuah tanda tanya besar.
Kepalaku begitu berat. Mungkin karena pengaruh minum wine. Padahal hanya minum kurang dari dua gelas, sekedar menjaga kolestrol dalam tubuh agar tetap stabil. Tapi memang aku tak terbiasa minum wine lebih dari satu gelas. Langkahku gontai. Aku dituntun Chang ketika masuk ke dalam mobil untuk kembali ke Hotel. “Kuantar kamu sampai ke kamar,” kata Chang sambil menuntun menuju elevator.
“Tidak perlu. ku tidak apa-apa. Terima kasih untuk malam yang menyenangkan ini,” aku tersenyum sambil melambaikan tangan kepada Chang saat elevator tertutup.
Ketika lampu kamar hotel menyala, terdengar suara wanita melenguh dari balik selimut, “Kamu sudah pulang? Jam berapa sekarang?” Lien keluar dari balik selimut. Berdiri dan melangkah ke arahku dengan tubuh berbalut lingering. “Kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Lien memegang keningku.
Belum sempat aku bertanya bagaimana Lien bisa masuk ke kamar, aku merasa ada tekanan besar dari perutku dan mendorong sesuatu yang mengendap di sana untuk keluar. Aku berlari ke toilet dan menumpahkan seluruh isi perut ke kloset.
“Seharusnya kamu tidak memaksakan diri sampai mabuk,” Lien mengusap punggungku. Lalu, dia menuntunku ke tempat tidur. Antara sadar dan tidak, aku merasa Lien membuka pakaian lalu menyelimutiku. ”Good nite my dear.” Lien melangkah ke luar kamar, menuju kamarnya sendiri yang berada tepat di sebelah kamarku.
***
Kedatanganku beserta team Chang, di Wuhan disambut senyuman seorang wanita muda. Ia memperkenalkan diri sebagai petugas Humas dari Pemda. Sebuah mobil van VW sudah menanti di depan kuridor Bandara.
“Kita akan menempuh perjalanan sejauh 300 km,” kata Chang yang duduk di samping supir. Lien duduk di sebelahku. Sementara Huang, Yu, Wu duduk di kursi belakang.
“Ya, kita tidak akan menginap di Wuhan,” kata Lien.
Kendaraan melaju menuju Hanyang. Salah satu kota di provinsi Hobey dengan Wuhan sebagai ibukotanya. Wuhan adalah kota yang sangat indah dengan panorama lembah sungai yang berkelok-kelok. Wuhan masa kini merupakan gabungan dari tiga kota berdekatan yang terletak di lembah Sungai Yangtze.
Wilayah kota Wuchang dan Hanyang merupakan dua kota pertama yang bergabung dan memiliki benteng pertahanan bersama. Kota lain yang kemudian bergabung adalah Hankou. Pada tahun 1920-an, Wuhan pernah menjadi ibu kota pemerintah Kuomintang yang dipimpin Wang Jingwei sebagai lawan dari Chiang Kai-shek.
Wuhan juga dikenal sebagai pusat perkembangan teknologi pertanian di Cina yang berperan besar menjadikan Cina sebuah negara yang kuat dengan sektor pertanian yang tangguh. Di kota ini terdapat dua lembaga pertanian terkemuka di Tiongkok: Universitas Pertanian Huazhong dan Lembaga Penelitian Tanaman Minyak dari Akademi Ilmu-Ilmu Pertanian Tiongkok.
Aku pernah punya mimpi membangun pusat riset bidang pertanian di Indonesia. Fakta geografi global menyebutkan, potensi wilayah untuk pertanian sebagai penyangga pangan dunia hanyalah 27% dari total wilayah bumi. Wilayah itu berada pada lintasan equatorial. Dan dari 27 % wilayah ini, 11 % nya terdapat di Indonesia, atau sekitar 40,7 % dari seluruh total wilayah potensi pertanian di dunia.
Tapi, yang menjadi pertanyaan adalah, potensi yang sedemikian besar di negeriku, kok malah negaraku jadi pengimpor pangan dan produk pertanian lainnya dari negara lain? Benar-benar tak masuk akal.
Pembangunan sektor pertanian, sangat erat kaitannya dengan teknologi, sarana, pendanaan, kebijakan makro ekonomi dan strategi pembangunan nasional. Namun sebagaimana diketahui, sektor pertanian terabaikan ketika negara mulai mengalihkan strategi pembangunannya ke sektor industri dan manufaktur. Walhasil sektor pertanian hanya dijadikan pelengkap bagi sektor industri. Kalau tidak mau disebut sebagai penyedia lahannya.
Akibatnya terjadi ketidak adilan dalam pendistribusian modal dan sarana di sektor ini. Dan pertumbuhan ekonomi hanya menghasilan perputaran uang di kota saja. Sementara masyarakat desa tertinggal, tetap dalam kemiskinan. Implikasi kebijakan ini membuat lahan pertanian semakin berkurang karena dialih-fungsikan menjadi lahan industri. Yang pada akhirnya, memicu arus urbanisasi dari desa ke kota.
Ini sangat ironis bila melihat jumlah penduduk Indonesia, di mana 62% penduduknya hidup dari sektor pertanian. Tapi sistem yang ada, membuat potensi besar ini menjadi sia-sia dan hanya jadi bancakan bagi industri pangan asing.
Dalam perjalanan, aku begitu menikmati suguhan panorama yang begitu indah. Sehingga tidak terasa waktu dua jam sudah berlalu. Ketika kami sampai di tempat tujuan, mobil Van VW itu kemudian berhenti di pinggir jalan.
“Tempatnya tidak begitu jauh. Kita sebaiknya jalan kaki. Karena orang yang akan kita temui ini, tidak pernah mau menerima tamu yang datang dengan kendaraan,” jelas Lien.
“Siapa orang itu?”
“Dia adalah keturunan terakhir dari dinasti Zhou. Dinasti yang pertama kali membangun tembok Cina.”
“Kamu yakin?” aku menaikkan alis, bertanya dengan sedikit keraguan.
“Yakin sekali! Seyakin kami menerima takdir.”
Kami semua keluar dari mobil dan hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk sampai di depan rumah. Di hadapan kami, tampak sebuah bangunan kuno bergaya tiongkok.
“Sudah tak terhitung berapa banyak kami membawa tamu kemari, tapi tak satupun dari mereka adalah tamu yang diudang. Pintu gerbang rumah ini pun tidak pernah terbuka,” kata Huang.
“Bukan yang diundang?” aku menangkap pesan aneh di balik kata-kata ini.
“Ya. Hanya tamu yang diundang yang bisa masuk ke rumah ini.”
“Siapa yang kamu maksud dengan tamu itu?”
“Kamu!” jawab Chang.
“Apa yang akan terjadi bila pintu rumah ini tidak terbuka?”
“Artinya kamu bukanlah orang yang diundang. Masalahnya selesai dan kita pulang.”
Sebuah sikap yang sulit dimengerti. Di era komputer seperti saat ini, rupanya orang-orang ini masih mempercayai takhayul. Tapi beginilah orang Timur yang memang tidak pernah lepas dari budaya mistik. Aku hanya termangu dalam penantian di depan gerbang. Sudah lebih dari setengah jam kami berada di depan gerbang namun pintunya belum juga terbuka. Wajah Lien dan Chang nampak tegang. Namun Huang, Yu dan Wu terlihat tenang saja. Sepertinya mereka terlalu biasa menghadapi penantian ini.
“Sampai kapan kita harus terus berada di depan gerbang ini?” Aku mulai tidak sabar.
“Tunggulah sampai satu jam,” kata Lien.
“Lihat, pintu mulai terbuka!” Chang setengah berteriak. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Dan akhirnya mengalihkan pandangan kepadaku.
“Ternyata kamulah tamu yang diundang itu!” Mereka menatapku dengan perasaan kagum.
“Jak, jemputlah takdirmu,” kata Lien sembari menepuk bahuku. Pintu gerbang itu terbuka lebar. Dari balik pintu, keluar seorang pria setengah baya.
“Masuklah,” kata Huang.
“Bagaimana dengan kalian semua?”
“Kami akan menunggumu di luar,” jawab Chang sambil tersenyum. Roman wajah mereka berlinang air mata. Menyiratkan keceriaan tak terbendung atas penantian yang sangat panjang ini.
Kemudian aku melangkah pelan memasuki pintu gerbang. Ada sedikit keraguan, namun segera kutepis. Inilah takdir yang harus ku jemput. Jadi tidak ada lagi yang perlu kukhawatirkan.
Bangunan itu berada sedikit lebih tinggi dari jalan. Dia dikelilingi tembok yang tingginya, lebih kurang dua meter. Ketika aku sampai di depan pintu, pria setengah baya yang menantiku berkata, “Masuklah tanpa ragu. Karena takdirlah yang membawamu kemari.”
Aku terkejut dan segera memandang pria yang menyambutku itu. Dia berkata dalam bahasa Indonesia yang fasih. Dari mana orang ini bisa bahasa Indonesia? Di negeri ini, jangankan bahasa Indonesia, bahasa Inggris pun hanya pejabat dan kaum terpelajar saja yang bisa.
Gerbang lalu tertutup. Dari dalam, terlihat bahwa bangunan ini berada di areal yang cukup luas. Ada tiga bangunan di sana. Satu sama lainnya saling terhubung dengan sebuah paviliun.
Pria itu mengiringi langkahku menyusuri jalan berkerikil menuju bangunan utama. Aku melirik jam tangan dan melihat waktu telah menunjuk pukul tuju malam. Lampu minyak menyala menerangi ruang utama rumah itu. Semua benda berkesan kuno, tapi terawat dengan baik.
“Silahkan duduk, Anakku,” kata pria itu. Ternyata, aku tidak dibawa ke ruang utama. Kami berdua berhenti di ruang baca yang menghadap ke taman. Aku duduk di kursi antik terbuat dari kayu. Kami saling berhadapan. Wajah pria setengah baya itu begitu teduh dan terus berhias senyum. “Penantian yang sangat melelahkan,” katanya kemudian.
Aku mencoba menjaga posisi duduk sesopan mungkin. Entah mengapa, aku seperti terhipnotis dengan pancaran aura pria ini.
“Anakku, lihatlah pohon di sana.” Orang tua itu menunjuk ke arah pohon tinggi yang rimbun berjuntai. “Pohon itu, dulu yang menanam adalah temanku, Soekarno.”
“Teman?” aku terkejut mendengar ucapnya itu. Aku ingin memastikan sekali lagi bahwa apa yang baru saja kudengar adalah benar.
“Ya. Sahabat terbaik yang pernah saya kenal. Dulu dia juga pernah datang kemari. Kamu bisa lihat fotonya,” kata pria tua itu menunjuk sebuah foto yang terpasang di dinding. Aku menoleh ke belakang untuk melihat sebuah foto klasik.
“Itu yang berdiri di sebelah Soekarno adalah saya,” kata orang tua itu. Aku memperhatikan sekilas wajahnya. Ternyata tidak ada perubahan sama sekali dengan yang ada di foto.
“Kamu tidak usah terkejut. Usia saya sekarang seratus dua tahun.”
Aku mengangkat alis. “Tapi, Anda masih…”
Orang tua itu tersenyum, “Jangan menilai hanya dari apa yang kamu lihat. Karena penglihatan tidak selalu menunjukkan kebenaran.”
“Oh,” lidahku kelu dan aku semakin terhipnotis dengan pria yang ada di hadapanku ini.
“Soekarno adalah satu-satunya pemimpin modern di awal abad 20 yang berani menyatakan perang kepada Barat. Soekarno tidak pernah membenci pribadi siapa pun. Soekarno hanya melawan sifat yang anti perdamaian dan kemerdekaan. Pembelaan Bung Karno terhadap kaum tertindas, pun tidak hanya untuk negerinya namun juga kepada negeri-negeri tetangga.
Itulah sebabnya, mengapa dia dipuja habis oleh bangsa Arab yang tengah menghadapi serangan Israel kala itu. Bung Karno dianggap sebagai pemimpin kaum Muslim. Padahal, di dalam negeri sendiri dia lebih dianggap sebagai kaum abangan dari pada kaum santri.
“Memangnya, sejauh mana pemahaman Soekarno tetang Islam?” tanyaku hati-hati.
“Dia adalah penggali Pancasila dan menempatkan kata ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ sebagai sila pertamanya. Sila yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Sebagai seorang muslim, dia sangat bijak menyikapi pluralitas agama. Dia berpegang pada ayat, lakum dinukum waliya din.
“Bagaimana dengan Komunis yang kerap dikaitkan padanya?”
“Anakku, Soekarno hanya memilih pandangan, sistem politik mana yang paling ‘cocok’ dengan ‘kepribadian’ dan ‘budaya’ khas bangsa Indonesia. Bangsa ini konon sangat mementingkan kerja sama, gotong-royong dan keselarasan. Maka dalam pidatonya, ia mengecam ‘individualisme’ yang lahir dari liberalisme Barat. Karena individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini bisa kita lihat dari pertarungan antar partai.
Itulah makna komunisme yang diyakini Soekarno, di mana demokrasi itu seharusnya dipimpin dalam satu barisan yang kuat. Ia butuh komando yang jelas. Ia pun mencanangkan sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Ia mementingkan ‘persatuan’ demi ‘revolusi’.
Soekarno mengenal betul kelemahan bangsanya yang mudah dipecah-belah dan sangat paham kekuatan musuhnya yang piawai mengadu domba. Sebenarnya, pihak Baratlah yang berada di balik upaya perpecahan itu.”
Orang tua itu terdiam, air matanya berlinang. Seakan sedang terbayang memori indah masa lalu. “Itulah yang harus kamu pahami tentang Soekarno,” pungkasnya kemudian.
“Bapak sangat mengagumi Soekarno dan mengenal betul siapa Soekarno?”
“Saya mengenal dia dengan nurani saya,” jawab orang tua itu. “Kehadiran kamu di sini adalah takdir yang saya terima dengan suka cita. Bahwa revolusi ini belum usai. Baiklah, saya ingatkan kamu tentang isi pidato Soekarno ketika pertama kali berbicara di depan PBB. Waktu itu, dia berkata:
Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme, telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Tetapi, perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?
Ternyata, sampai kini pun, suara pekikan Soekarno tentang anti-neokolonialisme itu tetap relavan.
Nah, Anakku. Bila ada pesan yang datang kepadamu, maka terimalah takdir itu. Jemputlah hari esok dengan keberanian. Saatnya melawan tanpa ragu. Negerimu membutuhkan keadilan dan kemenangan dari peperangan yang sesungguhnya. Perang melawan kekufuran. Perang melawan kekuatan dari balik kegelapan. Soekarno adalah simbol perlawanan sejati melawan kekuatan jahat itu dari waktu ke waktu. Kamu harus melanjutkan walaupun dalam bentuk berbeda. Di tanganmu ada kekuatan raksasa untuk mengalahkan musuhmu. Saya doakan perjuanganmu ini diridhoi Allah.”
Orang tua itu berdiri. “Sekarang, pulanglah. Temanmu sudah lama menunggu di luar.”
Aku ikut berdiri dan melangkah mengikuti orang tua itu. Aku menatap dengan seksama beberapa foto yang menempel di dinding. Ada foto seorang pria yang membuatku terkejut, Darsa.
Orang tua itu memperhatikanku. “Oh, ya. Itu gambar salah satu sahabatku.”
“Darsa?”
“Benar, Anakku.” Orang tua itu tesenyum penuh arti. Seakan dia juga tahu hubunganku dengan Darsa. “Dia wafat tahun 1984. Saya kehilangan dia. Karena dia bukan hanya sahabat, tapi juga kerabat saya. Leluhur saya dulu pernah datang ke Jawa untuk mensyiarkan agama Islam dan menikah dengan wanita Jawa. Salah satu keturunanya adalah Darsa. Ia juga sangat dekat dengan Soekarno.”
Aku maju selangkah dan menatap orang tua itu. “Wafat?”
“Ya.” Orang tua itu kembali menepuk bahuku, “Pulanglah!”
Beliau mengantarku sampai ke pintu gerbang. Ketika hendak berpisah, ia memeluk erat tubuhku sambil berbisik, “Selalu gunakan nuranimu dalam mengambil keputusan, laksanakan dengan akal dan bertarunglah dengan menggunakan nafsumu. Insya Allah Tuhan akan memberkati langkahmu.”
Dari jauh, team Chang menyaksikan peristiwa itu dengan rasa kagum. Ketika aku sampai di hadapan mereka. Satu persatu dari mereka menyalamiku. Tapi aku belum juga bisa memahami makna pertemuan itu. Kecuali saat aku terkejut dengan adanya photo Darsa di sana. Adakah kaitan antara kedatangan Darsa ke rumahku, di alam mimpi, menyelamatkanku dari lubang ajal, hingga mempertemukanku di alam mimpi dengan seseorang yang membawaku ke suatu tempat di mana harta itu tersimpan? Petuah orang tua tadi tentang Soekarno menjadi semacam penegasan atas apa yang disampaikan seseorang di dalam mimpiku.
“Ja, malam ini kita kembali ke Wuhan dan keesokannya menuju Guangzhou,” kata Chang.
“Ada apalagi di Guangzhou?”
“Ada tamu dari Beijing yang ingin menyerahkan sesuatu padamu,” kata Lien menjawabnya.
“Apa itu?”
Chang berkata, “Bukankah Anda pernah bertanya, siapa pemilik asli dari aset itu?”
“Ya, betul.”
“Tamu itu akan menyerahkan dokumen decade asset itu kepadamu,” kata Huang. “Dengan kesaksian kami di sini tentang Anda sebagai yang terpilih, maka Anda berhak menyelesaikan misi ini sampai tuntas. Dan dokumen itu layak Anda gunakan. Kami siap mendukung Anda!”
Alhamdulillah.... Bergetar & menitik airmata. Bak cerita Dongengan Negeri Diatas Awan.
BalasHapusSemoga kesehatan, keselamatan, kekuatan, kesabaran, kesejahteraan & kebahagiaan senantiasa mengikuti langkah Sang Pemegang Amanah.
Salam Hormat Santun Selalu.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus