Lembaga rating seperti Moody's Investor Service , S&P dan Fitch punya akses kepada data fundamental negara atau korporat. Negara atau korporasi pasti beri mereka akses. Kalau engga, surat utang tanpa rating. Pasti tidak laku dipasar. Mengapa ? Lembaga rating dapat trust dari pasar untuk menentukan rating. Dan sikap investor ditentukan dari rating itu, seperti A, AAA, AB, BB dan lain lain. Semakin bagus rating, semakin tinggi animo investor untuk membeli dan memperdagangkannya.
Fitch rating SBN Indonesia pada level Baa2 dengan prospek stabil. Itu berdasarkan sumber daya dan kebijakan pemerintah, Resiko default kecil sekali. Artinya dalam keadaan resilience membayar. Namun bukan berarti SBN itu tingkat trust nya tinggi di hadapan pasar. Pasar punya cara sendiri menilainya melalui tingkat yield, tentu dengan memperhatikan tingkat kupon, dan waktu jatuh tempo. Contoh Lehman sehari sebelum collapse rating AAA. Tapi keesokannya default. Jadi tidak selalu rating adalah kebenaran absolud.
Mengapa saya ulas soal rating ini? Karena saya ingin menyampaikan bahwa apa yang dikritisi oleh ahli ekonomi ada benarnya setidaknya senada dengan laporan Moody's 18 Maret 2025. Bersama ini saya ringkas laporan Moodys dalam bahasa sederhana agar mudah dipahami.
Pertama. Walau prospek ekonomi, PDB ril tetap akan tumbuh 5% namun dengan adanya program efisiensi secara structural demi mengamankan program MSB dan Danantara, kemungkinan pertumbuhan PDB pada semester awal tahun 2025 akan agak lebih rendah. Apa artinya?, kebijakan efisiensi dan realokasi ini kontraproduktif untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan. Kalau cara ini jadi kebiasaan. Masa depan ekonomi jadi gelap.
Kedua. Walau ratio utang terhadap PDB tergolong rendah dibandingkan negara lain namun kemudahan berhutang tidak akan seperti sebelumnya. Apa pasal ? risiko negatif paska transisi politik berupa ketidak pastian kebijakan, dimana berpotensi melemahnya aliran investasi asing, dan dampak negative terkait pada metrik fiscal. Ya basis pendapatan yang rendah. Terutama disebabkan batalnya kenaikan PPN 12% yang diganti dengan Barang Mewah. Ini tentu berkoleasi dengan kemampuan membayar utang.
Misal. karena kondisi defisit APBN dan kecilnya ruang fiskal, kita selama ini bayar utang pakai utang atau revolving. Sementara pembayaran utang yang jatuh tempo ditahun tahun mendatang sangat besar. Sementara rencana akan menaikan pajak dan royalty minerba masih belum jelas pelaksanaannya. Kalau cara cara seperti ini terus dipertahankan, , akan sangat beresiko default surat utang. Memang masa depan kita gelap.
Ketiga. Keberadaan Danantara beresiko terhadap kelembagaan dan fiscal. Mengapa? Kita sudah ada UU No. 17/2003 tentang keuangan negara dan UU No. 15/2004 tentang Perbendaharaan negara. Ini memberikam otonomi kepada kementerian keuangan untuk melaksanakan disiplin tata Kelola keuangan negara yang transfarance. Atas dasar itu selama ini kita eligible menerbitkan SBN. Dengan adanya Danantara atas dasar UU BUMN No. 1/2025 keadaan menjadi tidak pasti, terutama soal disiplin dan transfaransi.
Demikian ringkasan saya dari catatan Lembaga rating. Semoga ini bisa menjernihkan issue soal Indonesia gelap. Apakah issue itu berlebihan atau tidak, itu bukan point nya. Yang penting bagaimana kita bisa menjadikan catatan Lembaga rating itu untuk bersikap memperbaiki keadaan. Jadi engga perlu lebay sibuk membela diri dan optimis. Apalagi akan pakai data tandingan. Itu kampungan. Tanpa kerja keras dan kerja benar dengan niat baik, Indonesia gelap itu sebagai kunsekuensi logis dalam dunia kapitalis.