Di satu wilayah banyak terdapat tanaman herbal dan singkong. Banyak pedagang dari kota datang membeli panen singkong dan tanaman herbal. Pedagang semakin kaya. Industri berkembang. Pemodal semakin Makmur. Pemda dapat PAD. Mencatat pertumbuhan ekonomi tinggi. Namun petani tetap miskin. Begitu cerita dari waktu ke waktu. Pemuda dari kota datang ke desa. Dia ingin mengubah keadaan. Orang desa mendengar rencananya, dan termotivasi ingin berubah walau dalam batas putus asa. Mereka membentuk koperasi.
Koperasi itu membuat industry kecil dengan sarana apa adanya. Petani gotong royong membangunnya. Walau dengan sederhana, namun bisa mengolah singkong jadi gula cair atau molases. Ampasnya dia olah jadi kemasan pengganti plastic atau disebut dengan plastic biodegradable. Daun herbal diolah dengan mesin pengering ( cold drier ) menjadi powder. Sehingga tahan disimpan tanpa kehilangan kualitas saat masuk proses industry pharmasi.
Produksi molases mereka jual ke pabrik minuman ringan low calorie. Umumnya produk untuk konsumsi kelas menengah atas. Yang memang sedang trendy. Product kemasan dijual ke super market kelas menengah atas yang peduli kepada eco-green. Begitu juga daun herbal yang sudah jadi powder atau ekstrak. Mudah dijulal kepabrik pharmasi. Karena pasokan terjamin. Mereka bisa dapat kontrak jangka Panjang. Nilai tambah berlipat.
Awalnya jalan itu berat dan tentu tidak mudah. Namun mereka telah sepakat untuk berubah. Apa yang terjadi kemudian? Mereka mendapatkan kepastian pasar dengan harga yang mereka sepakati sendiri dan mendapatkan laba dari pengolahan hasil pertanian. Mereka bisa memotong rente tataniaga dan menghasilkan produk yang kompetitif sehingga diterima oleh pabrik pengolahan akhir. Dalam tiga tahun desa miskin berubah jadi desa Makmur.
Cerita diatas bukan karangan. Tetapi itu terjadi di salah satu desa di China, di Hunnan. Apa yang terjadi pada desa itu, disebut dengan pertumbuhan iklusif. Apa itu pertumbuhan inklusif ? memberi akses kepada siapapun untuk menikmati pertumbuhan ekonomi. Dari kegiatan beproduksi, membeli, menjual dan meraih laba. Soal besar kecil tentu bergantung kepada kontribusinya. Namun semua dapat akses yang sama pada sumber daya yang sama. Ada keadilan terhadap sumber daya. Beda dengan tambang batubara atau nikel yang hanya diakses oleh pemodal besar. Masyarakat setempat hanya jadi buruh dan penonton.
Kalau Pemerintah ingin mencapai pertumbuhan 8% dengan mengandalkan mesin pertumbuhan, seperti industry ekstraksi mineral tambang atau Industri IT atau sumber daya alam lainnya, dan dengan metode seperti sebelumnya yaitu lewat spending APBN, belanja pembangunan infrastruktur dan membagikan Bansos, yakinlah 8% itu terlalu tinggi ngayalnya. Era Jokowi saja dengan utang naik berlipat atau 3,5 kali dari stok utang taun 2013 hanya bisa mencapai pertumbuhan tidak lebih 5%. Itupun bukan pertumbuhan inklusif.
Saran saya, kita jangan lagi focus kepada tingginya angka pertumbuhan berdasarkan angka pasar atau financialisasi PDB, tetapi focus kepada pertumbuhan inklusif. Tidak perlu terlalu tinggi ceritanya dengan bergaya seperti negara maju lewat industry canggih-yang kita sendiri belum kuasai-. Hanya memberi peluang asing menjarah SDA kita. Cukup dengan menerapkan kebijakan berbasis kepada kearifan local, semangat gotong royong dari semua sektor. Memberikan akses kepada siapapun untuk menjadi makmur dengan sumber daya yang ada. Itu down earth. Pasti sukses dan mensejahterakan.
Caranya? Sederhana. Mulailah dengan tebang semua bisnis rente. China pada tahun 2008, menggunakan 3000 batalion tantara rakyat ( kader partai, pasukan cadangan) untuk mengawal kebijakan reviltalisasi ekonomi desa. Tahun 2018 China berhasil mengangkat 800 juta rakyat dari kubangan kemiskinan. Tidak sedikit para elite partai, kepala desa, aparat hukum mati di tebas pedang hukum anti korupsi. Kini walau pertumbuhan ekonomi Cina tidak lagi tinggi, namun pertumbuhan inklusif terjadi.
***
Banyak negara maju seperti AS, Eropa, Jepang, China, Korea sejak beberapa tahun lalu terutama paska Pandemi melakuan perubahan orientasi ekonomi. Dari Sustainable growth kepada degrowth. Pengerti degrowth disini bukan anti pertumbuhan. Tetapi anti pertumbuhan dengan konsep Produk Domestik Bruto. Lebih tepatnya degrowth adalah pertumbuhan inklusif. Yang secara kualitatatif dirasakan keadilan bagi semua.
Mengapa ? Ukuran pertumbuhan yang disepakati sebelumnya oleh ekonom adalah PDB. Pertumbuhan PDB merupakan ukuran data tahunan barang dan jasa yang dapat dipertukarkan di suatu negara. Bahkan PDB per kapita, yang merupakan ukuran yang lebih baik daripada PDB bruto karena memperhitungkan jumlah penduduk di negara tersebut, merupakan ukuran kesejahteraan yang cacat.
Misal, di negara Indonesia, 1 orang berpenghasilan USD 5 juta per tahun. 99 orang berpenghasilan USD 5000 per orang/tahun. Sementara Singapore. Penghasilan 1 orang USD 1 juta tapi 99 orang berpenghasilan USD 90.000/ prang. Karena Populasi penduduk Indonesia lebih besar dari Singapore dan tentu PDB Indonesia lebih besar dari Singapore. PDB Singapore USD 500 miliar dan Indonesia USD 1,4 trilun. Tetapi jelas distribusi kesejahteraan Singapore jauh lebih tinggi. Mengapa ? Kelemahan utama PDB per kapita adalah mengabaikan dimensi distribusi PDB.
Mahbub ul Haq dan Amartya Sen mengembangkan HDI (Human Development Index ) pada tahun 1990 yang diadopsi oleh UNDP (Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk memantau kemajuan yang sebanding di berbagai negara serta kemajuan dari waktu ke waktu di negara yang sama. Jadi index HDI lebih fair atau masuk akal daripada PDB. Nah menurut Global HDI tahun 2023, Indonesia menempati peringkat 114 dari 193 negara. Padahal dalam hal PDB kita peringkat 8.
Memang HDI meningkatkan PDB per kapita dengan memasukkan literasi dan harapan hidup ke dalam PDB per kapita. Meskipun ini merupakan peningkatan teoritis dan kebijakan yang masuk akal dalam ekonomi pembangunan, namun hal ini tidak sepenuhnya menangkap keseriusan dalam desain PDB yang salah dan gagasan pertumbuhan ekonomi yang semata-mata didasarkan pada desain ini. Apalagi karena sifat PDB adalah financialiasi sumber daya yang tidak memperhitungkan kerusakan lingkungan. Kalau kerusakan lingkungan sebagai diskonto terhadap PDB, Indonesia tidak masuk 8 besar PDB dunia tetapi mungkin 20 pun tidak.
Kebijakan pertumbuhan ekonomi berbasis ESG belakangan ini telah menimbulkan fenomena bagi negara maju untuk tidak lagi menjadikan pertumbuhan PDB sebagai orientasi. Mereka mengembangkan konsep degrowth. Ini sebagai ujud nyata kesadaran bahwa selama ini pertumbuhan PDB disertai dengan penggunaan sumber daya berlebihan berdampak serius kepada kerusakan lingkungan, yang justru mengancam pertumbuhan berkelanjutan. Bagi negara berkembang, tentu tidak perlu menganut konsep degrowth tetapi inclusive growth, Itu lebih bijak. Artinya partumbuhan berkeadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.