Rabu, 05 Juni 2024

Solusi pembiayaan rumah murah




Untuk menciptakan situasi dan kondisi yang berkeadilan sosial maka sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 28 C yaitu “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya…”, dan pasal 28 H “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”  Artinya tugas negara menyediakan rumah dan pemukiman yang layak.


Kemudian sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) pada Pasal 15, Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai tugas menyusun rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman (PKP) pada tingkat kabupaten/kota, salah satunya melalui tugas penyusunan RP3KP ( Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman.). Jadi baik UUD maupun UU sudah inline. Tinggal cara pelaksanaannya saja.


Saat sekarang di Indonesia ada 36 juta orang yang tidak punya rumah dan kalaupun ada tidak layak huni. Proses pembangunan pengadaan rumah bagi kalangan bawah memang tidak mulus. Tersendat karena skema pembiayaan lewat perbankan yang tidak memungkinkan kelas bawah mengaksesnya. Karena upah atau penghasilan tidak bankable untuk dapatkan KPR. Kalapun disubsidi bunganya, bagi UMR dibawah Rp 2 juta itu memenggal 50% upah. Sementara harga rumah kenaikannya lebih cepat daripada kenaikan upah.


Dalam literasi keuangan, skema pembiayaan perumahan yang ada sekarang di dunia ada dua jenis. Yaitu Fund provider dan insurance provider. Saya akan uraikan secara sederhana dua hal tersebut.


Fund Provider.

Fund Provider ini terkait dengan Housing Development Program  (HDP) dari pemerintah atas dasar konstitusi dan UU. Yang bertugas melaksanakan HDP adalah Lembaga dibawah pemerintah atau Housing Development Institution/ HDPI ). Ini bukan subsidi bunga tapi penyediaan dana atau modal lewat pelonggaran kuantitatif (Quantitative easing SBN), yang link dengan Land Bank ( Bank Tanah) dan Research and design center for Low cost home milik negara. Jadi ketersediaan modal itu karena adanya dukungan Land Bank yang tidak mungkin ada spekulasi tanah dan Lembaga  riset yang bisa menciptakan rumah murah lewat rekayasa teknologi, seperti CKD di China. 


SBN itu tidak dijual di market. Tetapi hanya dijadikan collateral oleh  HDPI.  Collateral dalam bentuk SBN itu likuiditas nya dijamin oleh Bank Central. Walau skema pembiayaan tetap melalui bank namun bank hanya sebagai channeling. Kontraktor yang membangun rumah dapat pembayaran dari bank setelah rumah selesai dibangun namun mereka juga dapat fasilitas konstruksi loan dari bank lewat bankable process settlement.


Peserta HDP yg mendapatkan fasilitas rumah harus membayar premium atas collateral sebesar 0,5% per tahun, ya semacam CDS collateral default SWAP,  dan bank charge sebagai channeling 0,5 per tahun. Angsuran rumah hanya 15% dari upah. Agar rumah murah dan cepat konstruksinya, dibangun dengan sistem flat. 1 Flat 3/4 lantai ada 6 atau 8 rumah. Ukuran unit 36 M2 dan 72 M2. Misal, harga rumah Rp. 100-200 juta. Peserta hanya bayar bank charge dan premium collateral total sebesar 1% per tahun atau Rp. 2 juta. Itu bisa dibayar bulanan bersamaan dengan angsuran utang. 


Katakanlah upah Rp. 5 juta. Maka angsuran maksimum 15% dari upah, yaitu 750.000. Total pengeluaran setiap bulan sebesar kurang lebih Rp. 900.000. Angsuran ini bersifat tetap. Jadi kalau upah meningkat seiring waktu, porsi angsuran terhadap upah akan turun. Selama rumah belum lunas  statusnya milik negara atau HDPI. Setelah rumah lunas, rumah itu status nya jadi milik peserta. Dan cash collateral yang ada di bank dikembalikan ke HDPI. HDPI menghidupi dirinya dari premium. Bukan dari cash collateral. SBN itu harus dikembalikan ke negara setelah program pembangunan rumah murah selesai. Jadi sebenarnya walau sifatnya hutang namun SBN itu off balance sheet.


Skema ini bersifat stimulus atau rangsangan yang bisa mempercepat proses kemakmuran lewat pengaruh bergandanya ( Multiplier effect). Ya maklum dengan adanya pembangunan fisik serta infrastruktur kawasan perumahan akan memperbesar pasar domestik dan lapangan pekerjaan. Belum lagi orang kalau  sudah punya rumah hidupnya akan tentram. Gairah kerja meningkat, tentu memacu produktivitas. Lingkungan yang nyaman akan membuat mereka sehat lahir batin. Problem stunting tidak akan ada lagi.


Dana pembiayaan dari pelonggaran kuantitatif itu sebenarnya uang  dicetak atau menambah uang beredar namun dananya tidak untuk konsumsi yang habis dipakai seperti makan siang gratis, tetapi dalam bentuk aset KPR dan pergerakan ekonomi lewat angsuran rumah dari upah atau gaji peserta. Skema fund provider diterapkan di negara sosialis seperti di China, Vietnam dan sebagian di Afrika, termasuk Amerika latin.


Insurance provider

Dana nya berasal dari publik yang menjadi bagian dari sistem jaminan sosial nasional. Ini konsep OECD, yang meniru pooling fund lewat skema asuransi. Dana premium dikumpulkan itu disalurkan oleh Asset manager lewat produk investasi di bank atau pasar modal atau direct investment.  Nah dari Yield investasi ini bisa mensubsidi bunga atas KPR anggota. Tetapi akad nya syariah ( revenue basic). Kalau investasi gagal ya gagal juga memberikan subsidi bunga. Namun dengan risk management yang ada, masih tetap dapat KPR tetapi bunga sedikit komersial atau tidak 100% ditanggung. Skema KPR adalah Mortgage atau rumah sebagai jaminan. Bankable process settlement.  Nah di Indonesia, kita menerapkan skema insurance provider tapi lewat tabungan, bukan premi. Uang tabungan akan dikembalikan kepada peserta. Agak laen memang. 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...