Politik itu sebelum ada sosial media, hanya ada dalam remang remang dan bisik bisik. Kekuatan politik dibangun secara sistematis lewat kader partai di akar rumput dan kolaborasi dengan pemilik media massa, tentu juga tak ketinggalan dukungan moral dari patron atau tokoh masyarakat. Tapi era sekarang berbeda. Begitu besarnya pengaruh sosial media yang mampu mengubah lanskap politik. Transformasi ini telah menghasilkan persepsi yang bertolak belakang dengan fakta. Yang miris justru rakyat awam menjadikan sosial media sebagai referensi untuk menilai kebijakan pemerintah.
Moote, McClaran, & Chickering dalam jurnalnya tentang Applying participatory democracy theory to public land planning. Environmental Management, mengatakan bahwa teori demokrasi berorientasi kepada partisipasi publik. Karenanya design konten politik tidak berubah. Yang berubah hanya salurannya saja. Konten yang mudah dijual di tengah lautan massa yang miskin literasi adalah narasi tentang musuh bersama. Itu ciri khas dari kaum populis, seperti yang ditelaah oleh Jan-Werner Müller dalam bukunya, What is Populism?
Pendapat Muler itu senada dengan Wirth, W., Esser, F., Wettstein, M., Engesser, S., Wirz, D., Schul dalam jurnalnya, A theoretical model and research design for analyzing populist political communication menyimpulkan secara tersirat bahwa pihak yang mengkritisi pemerintah mendapat serangan character assassination. Contoh di Indonesia, di stigma radikal, anti toleransi dan anti pancasila, kaum radikal kanan atau kiri. Ya apa saja lah. Pesan lewat sosial media terus diulang ulang sehingga menjadi persepsi publik.
Ketika politik dalam negeri sudah dikuasai. Oposisi jinak. Tidak ada lagi yang harus dimusuhi. Maka pihak asing dijadikan musuh bersama. Framing pemeritah tersinggung kepada Eropa begitu gencarnya lewat madia massa. Rakyat awam larut dalam narasi itu. Padahal sikap Eropa itu karena mereka anggota WTO dan Indonesia sudah meratifikasi WTO. Jadi sengketa Sawit dan Nikel atau mineral , itu hanya masalah internal anggota WTO. Lain halnya kita tidak pernah ratifikasi WTO. Yang lucunya, Eropa yang kita lawan itu adalah negara yang memasok pesawat tempur bekas untuk TNI-AU kita.
Lucu kan. Tapi apa peduli pemerintah soal kelucuan itu. Toh rakyat engga akan sampai mikir terlalu jauh dibalik kelucuan itu. Drama semacam itu menurut Dr Moffitt, dalam bukunya “The Global Rise of Populism”, membuat si pemimpin terlihat sangat heroic dan kuat seperti “strongman” leaders. Rakyat awam tidak akan paham bahwa mereka sedang berada disituasi dimana bobroknya institusi demokrasi dan buruknya index CPI, tingginya ICOR. Karena media massa dan sosial media serta lembaga Survey yang bias dan korup
Sepertinya Jokowi sangat yakin bahwa dukungannya secara simbolik kepada PS seakan ticket PS untuk jadi penghuni istana berikutnya. Müller menyebutkan bahwa pemimpin yang di framing merakyat merasa dialah satu satunya orang yang dapat mewakili harsrat rakyat banyak dan layak menentukan suksesi kepempinan. Baliho PS terpampang disudut kota, berdampingan dengan Jokowi. Seakan menyiratkan bahwa Prabowo identik dengan Jokowi. Publik tidak perlu lagi pertanyakan apa prestasi PS secara nasional yang bisa diarasakan langsung oleh rakyat. Pilih PS sama saja pilih Jokowi.
Kesimpulannya. Indonesia masih masuk dalam kategori flawed democration atau demokrasi cacat. Betul kata Hitler “ What good fortune for governments that the people do not think” Mengapa ? ya mudah di framing bahwa pemerintah tidak pernah salah. Yang salah adalah mereka yang mengatakan pemerintah salah. Laporan Indeks Demokrasi Economist tahun 2022, skor kita 6,71 poin dari 10. Peringkatnya turun dari 52 menjadi 54 dari total 167 negara. Makanya jangan kaget bila tingkat kepuasan rakyat mencapai 69,3%.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.