Jumat, 22 Januari 2021

Pemimpin lahir karena situasi.

 



Banyak orang bilang bahwa politik itu menentukan siapa yang akan berkuasa. Saya tidak percaya. Saya tetap percaya bahwa kekuasaan itu berasal dari Tuhan. Ada prinsip philsafat yang mudah dipahami. Anda tahu? Warnanya orange. Rasanya manis. Tapi apa yang terjadi kalau anda tidak punya perasa? tidak punya mata. Masihkah jeruk itu berwarna orange dan rasanya manis.? Ya engga.  Apa artinya? orange dan manis itu hanya konsepsi dan persepsi kita saja. Sejatinya, ada pada lidah dan mata. Namun lidah dan mata, itu menterjemahkan jadi persepsi karena informasi yang ada diotak kita.  Namun, otak  atau pikiran kita bergerak tidak begitu saja. Ada kekuatan yang membuat itu terjadi. Sampai disini berhenti bahasan akal. Itulah eksistensi Tuhan.


Politik dan kekuasaan sama saja.  Waktu membuat teks proklamasi dan Hatta minta semua peserta ikut tandan tangani. Namun semua peserta rapat engga mau. Mereka serahkan kepada Soekarno Hatta yang teken. Apa pasal? Mereka engga berani. Situasi ketika teks proklamasi disusun kita dapat ancaman dari penguasa perang Jepang. Setelah itu, Soekaro jadi presiden tak tergantikan sampai ia dilengserkan lewat peristiwa G30S PKI. Andai Soekarno tidak berani teken. Mungkin kita tidak pernah merdeka. Andaikan ada yang lain ikut teken, belum tentu Soekarno jadi presiden. Tuhan ciptakan situasi, selanjutnya proses politik terjadi dengan sendirinya.


Soekarno jatuh, tetapi bandul politik bukan kepada senior TNI tetapi justru kepada Soeharto. Jenderal low grade. Tidak seperti Jenderal Nasution. Mengapa? situasi politik inginkan TNI terlibat. Saat itu orang udah muak dengan konplik politik antar golongan di era Orla. Sementara pembangunan ekonomi terabaikan. Butuh militer mempersatukan. Walau Nasution lebih senior, semua tahu bahwa Nasution Jenderal yang politisi. Engga netral. Andaikan tidak ada konplik antara golongan dan Nasution tidak masuk ke Politik , mungkin Soeharto tidak pernah jadi presiden. Yang jadi presiden adalah Nasution.


Ketika Soeharto jatuh, proses konstitusi memberikan peluang kepada Habibie sebagai presiden. Tetapi usai pemilu 1999 kehendak berlaku lain. Kekuasaan jatuh kepada Gus Dur. Mengapa ? karena kekuatan islam yang walau terpecah namun akhirnya bersatu dalam poros tengah.  Itu karena PDIP tampil sebagai pemenang Pemilu. Kekuatan politik islam punya dendam politik kepada Soekarno yang pernah bubarkan Masyumi. Andaikan yang menang Golkar dalam Pemilu, belum tentu Gus Dur jadi presiden. Andaikan PAN yang dipimpin tokoh reformasi Amin Rais yang menang pemilu,  Gus Dur tidak akan jadi presiden. Gus Dur tampil karena situasional. Sama juga bila akhirnya Megawati jadi presiden, karena situasional. Dan itu peran Tuhan.


SBY tampil sebagai pemenang pilpres langsung. Itu juga karena situasi politik akibat kegalauan kekuatan politik islam tampilnya dinasti Soekarno dipanggung kekuasaan. Itu jadi pemicu menjadikan pigur TNI sebagai Pemimpin.  Andaikan tidak ada krisis wallstreet dan indonesia masuk dalam putaran krisis anggaran dan defisit primer, tidak mungkin Jokowi dicalonkan sebagai Presiden. Andaikan situasi makro ekonomi sehat, tidak mungkin Jokowi jadi presiden. Andaikan semua elite politik punya nyali sebagi negarawan menhadapi krisis, tidak mungkin Jokowi dicalonkan sebagai presiden. 


Jadi situasi krisis itu adalah eksitensi Tuhan lahirnya pemimpin sesuai dengan tantangan zaman. Ketika pemimpin terpilih maka hukum Tuhan (sunnatullah ) berlaku. Naik karena Tuhan, jatuhpun  karena Tuhan. Sama seperti hukum gravitasi sebagia pemicu terciptanya semesta. Hidup memang berproses. Peradaban tidak dibangun dalam semalam. Baik dan buruk selalu bersanding. Semua hanya senda gurau saja. Pada akhirnya kita semua akan kembali ke Tuhan dalam keadaan telanjang. Tanpa idiologi, agama dan golongan. Hanya kita dan Tuhan saja. Paham ya sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Inflasi momok menakutkan

  Dalam satu diskusi terbatas yang diadakan oleh Lembaga riset geostrategis, saya menyimak dengan sungguh sungguh. Mengapa ? karena saya tid...