Jumat, 13 Januari 2017

Kemandirian Pembiayaan Daerah..


Di China, tersebutlah dimana sang kepala daerah kehillangan akal untuk mendapatkan dana guna merealisasikan impian membangun pasar rakyat berskala modern berstandar International. Pasar ini bukan ukuran kecil tapi berukuran raksasa denggan menyerap lahan lebih dari 80,000 meter persegi. BIla bangunan ini selesai akan menampung pedagang kecil berjumlah 40,000 unit. Lantas mengapa perbankan atau lembaga keuangan tidak bersedia memberikan pinjaman guna merealisasikan impian ini ?  Bukan karena permintaan kios yang kurang minat. Bukan!. Tapi karena syarat yang ditetapkan Pemda yang membuat perbankan dan investori institusi  berkerut kening. Mengapa ? Pemda tak ingin kios itu dijual karena kawatir akan memberikan peluang orang berduit menguasai kios dan menyewakan kepada pedagang kecil dengan harga selangit. Pemda juga tak ingin kios itu disewakan karena kawatir hanya pedagang yang qualified secara financial yang mampu sewa, sementara yang tidak qualified tidak bisa menyewa. Itulah  penyebabnya hingga project impian itu dinyatakan tidak feasible oleh perbankan.

Ditengah keterbatasan sumber pembiayaan itu, ditengah tatapan sinis lembaga perbankan, project itu dalam jangka waktu tidak lebih dua tahun sudah terbangun. Dari mana pemda mendapatkan uang itu ? Apakah dari APBD yang dananya bersumber dari Pusat? Tidak. Lantas darimana ?. Karena Pemerintah pusat melarang PEMDA menarik pinjaman dari manapun maka PEMDA membentuk LGFV ( Local Government Fund Vehicles ). LGFV ini semacam agent fund raising namun bukan lembaga resmi pemerintah. Caranya LGFV menerbitkan bond berbasis revenue. Nominal perlembar revenue bond itu Rp. 20,000. Untuk memenuhi anggaran pembangun sebesar Rp. 4 triliun maka 200 juta lembar revenue bond dilepas kepublic. Karena nominal bond itu kecil maka dipastikan kelompok atas,menengah maupun bawah dapat menyerapnya. Sumber revenue berasal dari komisi penjualan atas setiap produk yang dijual oleh penghuni kios. Pemda menetapkan komisi sebesar  5 %. Untuk memastikan system komisi ini berjalan efektif dan efisien.  40,000 kios terhubung secara IT melalui cash management yang dikelola oleh BUMD. Setiap pemilik kios memiliki kartu PayPal yang memungkinkan mereka dapat membayar komisi pemda secara online.

Per bulan rata rata turnover transaksi di pasar itu mencapai Rp. 4 triliun dan bila 5 % komisi pemda maka jumlah revenue Pemda sebesar Rp. 200 miliar. Bila anggaran membangun pasar itu mencapai Rp. 4 triliun maka di pastikan dalam dua tahun revenue pemda itu sudah bisa meluniasi  revenue bond. Sebelum pemda melunasi , pemda menawarkan opsi dalam bentuk penyertaan koperasi. Artinya public bisa menukar revenue bond itu dalam bentuk penyertaan koperasi. Mekanisme dan adminisrasi dilakukan secara IT system , sehingga public mempunyai akses untuk  mengetahui prospek pengelolaan pasar itu dan ketika tawaran opsi revenue bond ditukar dengan penyertaan koperasi maka serta merta public menyetujuinya. Mengapa public begitu antusias dengan skema revenue bond ini? Karena yield ( imbal hasil ) jauh lebih tinggi ketimbang mereka menempatkan dananya di bank yang berbasis bunga/RIBA.

Sementara akumulasi dana dari pengelolaan pasar itu dapat pemda gunakan untuk membangun infrastruktur ekonomi lainnya sepeti PDAM, Listrik, Jalan toll. Setelah selesai dibangun maka Pemda dapat menerbitkan bond berbasis revenue .Setelah berjalan dua tahun dan provent mendatangkan yield maka  dapat ditukar dalam bentuk penyertaan koperasi. Tanpa disadari semua infrastruktur ekonomi yang berhubungan dengan orang banyak dibiayai oleh masyarakat sendiri. Kalau dulu nenek moyangnya mengajarkan membangun sarana prasarana kampung secara gotong royong melalui kekuatan phisik namun kini gotong royong dirancang oleh para ahli keuangan, insinyur , akuntan, dan IT. Mereka diayomi oleh pejabat Negara yang bersih dan amanah. Maka jadilah negeri yang makmur sejahtera dibawah lindungan Tuhan. Karena semua terbangun tanpa Riba. Karena sudah meluas penggunaan LGFV ini maka Pemerintah Pusat mulai berpikir untuk melembagakan LGFV ini agar pihak investor terjamin keamanannya dan penggunaannya lebih terkontrol. Rencananya tahun 2015 Daerah sudah boleh menerbitkan municipal bond.

Mungkinkah ini terlaksana di Indonesia ? apakah mungkin public dari segala golongan mampu  menjadi investor bagi keperluan penyediaan infrastruktur ekonomi? Jangan pernah meremehkan kekuatan komunitas. Kata pejabat China.  Saya tertegun dengan kata kata itu. Dia benar! . Betapa tidak. Data pelanggan selular di Indonesia kini mencapai lebih 250 juta. Hitunglah berapa kekuatan dana dari komunitas itu bila harga per unit telp selular itu minimal Rp. 500,000 dan belanja pulsa per bulan Rp. 20.000. Kelompok menengah Indonesia juga dahsyat kalau dilihat dari data pelanggan blackberry yang berjumlah kl 4 juta dan mereka harus menguras dana perbulan diatas Rp. 100,000, Mereka semua adalah investor potensial untuk menyerap revenue bond bernominal dibawah Rp 20,000 perlembar. Ini peluang bagi Pemda untuk menjadikan mereka sebagai financial resource.

Padahal UU mengenai municipal bond berbasis revenue ini sudah lama di syahkan oleh DPR. Sementaca China Municipal bond baru akan diterapkan 2015. Peraturan Pemerintah mengenai petunjuk pelaksanaan , juga sudah diterbitkan. Peraturan Menteri Keuangan yang menyangkut aspek tekhnis penerbitan municipal bond juga sudah dikeluarkan. Lantas mengapa sampai kini municipal bond berbasis revenue itu tidak efektif sebagai financial resource ? Padahal rakyat indonesia berbudaya gotong royong. Mengapa sampai kini pemerintah masih pusing memikirkan sumber dana asing agar infrastrutkur terbangun? Mengapa ? Jawabnya hanya satu., yaitu selama ini apara pemda tidak punya reputasi dihadapan rakyat karena memang tidak punya integritas sebagai pejabat yang amanah. Rakyat lepas dari orbitnya dan pemda asyik dengan dirinya sendiri.Semoga kedepan Skema municipal bond berbasis revenue ini dapat diterapkan oleh PEMDA.

1 komentar:

  1. luar biasa ...........

    aku jadi banyak ter inspirasi dari tulisan seperti ini , luar biasa

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Mengapa negara gagal ?

  Dalam buku   Why Nations Fail  , Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara d...