Setidaknya ada tiga cara untuk sekolah pasca sarjana di Luar negeri dengan beasiswa :
1. Melalui agen pemberi beasiswa dalam negeri seperti LPDP.
2. Melalui agen pemberi beasiswa luar negeri seperti FullBright (US), DAAD (Jerman), Monbusho (Jepang) dll.
3. Beasiswa (dan gaji) langsung dari universitas yang dituju. Skema umumnya adalah student bekerja sebagai Teaching atau research assistant, lantas dia mendapat beasiswa serta gaji yang lumayan.
Jumlah terbanyak tentunya dari poin 3 (langsung dari kampus yang dituju) karena LPDP, DAAD, FullBright dll punya kuota yang terbatas. Sementara di US sendiri ribuan kampus menawarkan skema Teaching/Research Assistant terutama untuk jurusan sains dan teknik. Jika ditambah dengan kampus2 di Jerman, Belanda atau kampus eropa lainnya maka ada ratusan ribu kursi beasiswa untuk sains dan teknik (terutama S2/S3) yang ditawarkan dan diperebutkan oleh pelajar pelajar
Siapa yang paling banyak mendapat kursi ini? Sepengamatan saya adalah orang China, India dan Iran. Kata kawan saya dari Iran, setidaknya 180ribu pelajar Iran berangkat keLuar setiap tahunnya. China dan India mungkin lima kali lipatnya.
Lantas kenapa sedikit sekali orang Indonesia yang memanfaatkan skema ini? Padahal kita punya lebih dari 200 juta penduduk? Saya pernah posting dengan judul "Kura kura laut dari China". Postingan tersebut berisi resume satu artikel dari majalah The Economist tentang bagaimana Kemajuan China modern saat ini diawali dari gelombang pelajar China yang mendapat pendidikan dari luar China lantas kembali ke negaranya. Mereka lah otak dibalik kebesaran baidu dang kawan kawan..
Kembali ke pertanyaan diatas, Mengapa sedikit sekali pelajar Indonesia yang memanfaatkan ratusan ribu (bahkan mungkin jutaan) kursi beasiswa pasca sarjana dari kampus2 di US, eropa dan lainnya yang menawarkan skema teaching/research assistant? Bayangkan jika kita bisa mengambil kursi yang selama ini diperebutkan orang2 china, india dan iran? Bayangkan jika kita bisa mengirimkan setidaknya 10ribu pelajar Indonesia per tahun untuk mengambil PhD di Luar? Dalam dua puluh tahun kedepan efeknya akan sangat signifikan. Mulai dari mana? Jangan2 yang dibutuhkan cuma sekedar informasi dan pemantik awal. Dulu saya tidak memililo gambaran sama sekali tentang bagaimama bersekolah di US. Saya tidak terlalu cemerlang ketika kuliah S1 dulu. Saya butuh 6 tahun untuk lulus dengan IP yang tidak sampai 3,5. Pernah merasakan IP Nol koma, satu koma, dua koma, tiga koma hingga 4 koma nol.
Saya juga pernah diledekin kawan kawan ketika ngomong bahasa Inggris; grammar ancur- ancuran dengan logat medok banyumasan. Namun setelah dipantik oleh Pak Eddy Yusuf , juga kelas Toefl yg difasilitasi STKIP SURYA semua persyaratan (Toefl, GRE, research essay) bisa saya lengkapi dalam kurun kurang dari setengah tahun. Sekali lagi, jangan-jangan diantara dua ratus juta penduduk Indonesia ada puluhan ribu pelajar yang sejatinya siap dan layak untuk studi lanjut di Luar. Mungkin yang mereka perlukan "sekedar" pemantik awal dan informasi tentang jalan yg harus ditempuh; apa-apa yang harus disiapkan. Terutama informasi bahwa kuliah PhD diLuar negeri itu nggak segitunya susah lho.
Saya punya mimpi Indonesia bisa mengirim setidaknya tambahan 10 ribu pelajar per tahunnya untuk mengambil PhD di Luar negeri dalam bidang sains dan teknik dengan skema teaching/research assistant. Sederhananya, mengambil kue yang selama ini dinikmati oleh orang2 China, India dan Iran.
Alasan saya spesifik menyebut jurusan sains dan teknik adalah skema teaching/research assistant untuk jurusan Non sains/teknik tidak begitu banyak.
Jadi ide saya adalah :
1. Membuat web yang memetakan orang2 Indonesia yang sedang mengambil PhD di Luar negeri per Negara dan Area. Web ini berisi kumpulan slide presentasi dari masing2 pelajar tentang bagaimana mereka bisa mendapat beasiswa.
2. Saya tahu dan kenal dengan beberapa kawan yang sudah memulai langkah mulia ini : Ada PhD student di Lehigh University (Amerika) yang memberikan kursus Toefl gratis. Ada kawan di London School of Economic and Political science yang memberi konsultasi bagaimana membuat proposal riset yang ciamik. Akan sangat bagus jika semuanya bersinergi.
3. Idealnya memang upaya ini difasilitasi oleh pemerintah. Sebagai ilustrasi, dana LPDP untuk memberangkatkan satu orang keLuar lebih dari cukup untuk membuat pelatihan Toefl, GRE dan penulisan research essay yang bisa jadi bisa berimpak 10 orang berangkat mengambil Phd diLuar dengan dana dari luar.
Bayangkan jika Indonesia bisa mengambil kue yang selama ini dinikmati China, India dan Iran? Bayangkan jika Indonesia bisa mengirim 10ribu atau 100ribu pelajar per tahun nya keLuar untuk mengambil PhD dengan uang orang lain (beasiswa dari kampus luar)? Dua puluh tahun lagi dampaknya akan signifikan. Saya terpikir untuk menseriusi ide ini. Adakah yang berkenan membantu?
Oleh : Zulkaida Akbar.
Oleh : Zulkaida Akbar.
Babo. Saat ini semangat melongok dunia luar (negeri) di kalangan generasi muda adalah sangat tinggi melalui mimpi backpacking dan perjalanan sejenisnya. Diantara para pejalan yang terkenal di dunia backpacker ini, ada sosok Angga Dwi Putra (FB Account) yang berhasil menyabet beasiswa Sorbonne dan kembali serta bekerja sebagai staf ahli DPR. Saya pribadi tidak kenal Angga tetapi saya salut dengan tekad dia untuk mentoring generasi di bawahnya untuk meraih beasiswa di luar sembari mempertemukan banyak penerima beasiswa di negara lainnya untuk menjadi mentor serupa.
BalasHapusStatus terakhir Angga , dia resign untuk full-time menjelajah nusantara dan menjadi konsultan pendidikan luar bagi anak-anak berprestasi cenerlang di pelosok negeri.
Mungkin kesamaan fisi dia dengan babo bisa menimbulkan hal positif. Siapa tahu.
(Saya hanya S2 dan memutuskan wirausaha adalah support saya ke bangsa :-)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMenarik
BalasHapusijin share pak...
BalasHapus