Saya bersatire dalam postingan di DDB, “ PDB kita USD 1,3 Triliun. Marcap Apple usd 3,363 Trilion. Artinya Apple hampir 3 kali lebih kaya dari Indonesia. Padahal Apple bukan negara.” Sebenarnya ini kiasan tentang betapa timpangnya perbedaan walau esensinya dalam ekonomi sama. PDB itu persepsi terhadap financialisasi ekonomi negara dan Marcap juga adalah persepsi terhadap financialisasi korporat. Walau dua hal keliatan berbeda namun esensinya sama, yaitu pasar.
Dulu waktu sains belum ditemukan. Kemakmuran suatu wilayah atau negara ditentukan oleh sumber daya alamnya. Makanya terjadi kolonialisasi secara phisik. Yang kuat menjajah yang lemah. Yang kuat menguasai bangsa yang kaya akan SDA. Namun berjalanya waktu, manusia terus bertambah dan kebutuhan meningkat. Sementara sumber daya tidak berubah dan akhirnya menjadi terbatas. Maka terjadilah revolusi industry.
Peradaban modern tercipta, sains diagungkan. Hak privat dihormati. Dan korporat menjadi sumber daya tersendiri, sampai akhirnya sulit membedakan antara negara dan korporat. Karena keduanya saling mempengaruhi. Aliansi antara bisnis dan politik tak bisa dihindari terutama dalam system demokrasi dan globalisasi. Lewat ekosistem seperti itu, lahirlah oligarki. Negara dan korporat disini, namun rakyat nun jauh disana. Rasio GINI semakin melebar. Hasrat dan gairah kapitalisme mendapatkan fuel dari adanya laba.
1000 ton CPO itu sama dengan produksi 240 hektar kebun sawit. Nilai jualnya USD 740.000. Setara dengan harga jual 560 unit Iphone 16. CPO perlu setahun menghasilkan produksi sebanyak itu. Sementara Pabrik Foxconn di Shenzhen hanya perlu 10 menit jam kerja menghasilkan 600 unit iphone. Tahu berapa gaji buruh Foxconn per bulan? 7000 yuan atau Rp. 15 juta. Bandingkan buruh kebun sawit hanya Rp. 1,8 juta. Itulah perbedaan yang sangat timpang antara yang kaya SDA dengan industry padat modal dan sains.
Kita ekspor nikel olahan dalam bentuk Pig Iron dan Ferrosteel. Kita bangga. Sampai di China dan Jepang, ditambahkan unsur krom (Cr) dan mangan (Mn), bahkan molibdenum (Mo) dan niobium (Nb). Material katode (contoh NMC- 811). Tahu berapa perbedaan harga? 315% dari produk nikel yang kita ekspor. Di LME (harga NMC-811 sekitar US$ 29.000/ton). Itulah perbedaan value added yang sangat timpang, yang kita hasilkan dari industri yang low sains. Dan lebih timpang lagi kalau dibandingkan dengan produk high tech, seperti serbuk nikel nano (nickel nano powder), bahan dasar industri microchip dan telp selular.
Itulah gambaran sekilas tentang perbedaan produksi berbasis sains dengan produksi berbasis SDA yang low sains. Ini bukan hanya berlaku bagi negara. Tetapi juga korporat. Saling terkait. Bisnis yang hidup dari SDA tidak akan sustain bahkan destruksi terhadap lingkungan alam, social dan moral etik negara. Sementara bisnis yang bertumpu kepada R&D akan sustain terhadap perubahah demand and supply, dan penghormatan terhadap nilai nilai kemanusiaan.
Makanya kalau negara maju mengalami krisis karena permintaan drop, secara fundamental ekonomi mereka tetap resilience. Nilai tambah yang tinggi tidak sampai membuat mereka rugi, hanya keuntungan berkurang. Beda dengan negara yang bergantung kepada SDA. Kalau permintaan drop, mudah sekali ekonomi kontraksi. Ujungnya pendapatan pajak negara juga ikut berkurang. Upaya mensejahterakan rakyat semakin sulit karena ekspansi social APBN berkurang.
Kata kuncinya agar bisa menjadi negara industry ada pada belanja riset. Riset yang terstruktur dan terprogram dengan target yang jelas. Nah perhatikan apa yang kita lakukan terhadap riset selama ini ? Pada 2017, alokasi anggaran riset sebesar Rp 24,9 triliun atau 0,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka itu pada tahun 2023 anjlok menjadi Rp 6,5 triliun atau 0,03 persen terhadap PDB. Sangat jauh dibandingkan dengan Anggaran riset Malaysia dan Singapura masing-masing sebesar 1,26 persen dan 2,19 persen terhadap PDB.
Kalau anda membanggakan kekayaan SDA. Itu cara berpikir jadul. Masih terkurung di abad sebelum adanya revolusi industry dan globalisasi. Dan kalau masih berharap SDA sebagai sumber kemakmuran dan menjadi negara maju, maka yakinlah anda sudah jadi korban propaganda misleading. Itu artinya pemerintah tidak punya visi membangun secara modern dan tidak punya visi pembangunan manusia yang bermartabat. Ya, tidak visioner. Tentu juga takut keluar uang belanja riset. Mereka hanya memikirkan seusia kekuasaannya saja. Bagaimana menikmati kemelimpahan sumber daya untuk diri dan kelompoknya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.