Selasa, 04 Oktober 2016

Memburu harta (4)

Tanpa janji terlebih dahulu, aku datang ke kantor Ester di Queen Road, Central Hong Kong. Hanya sepuluh menit menanti di ruang tunggu, Ester sudah menemuiku. Ester mengenakan pakaian blaser standar eksekutif dengan rok diatas lutut. Rambutnya di ikat ringkas. Terkesan sederhana dan dia  memang  wanita yang sederhana namun cerdas.
“Mari kita keluar,” katanya.
”Sekalian makan siang ya?” tanyaku. Dia mengangguk.
Kami berjalan kaki menuju Alexander building yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor Ester untuk makan siang. Ketika itu, waktu masih menunjukkan masih pukul duabelas sehingga di restoran masih banyak meja kosong. Kami memesan kopi terlebih dulu sebelum makan siang. 
“Ada apa, Ja?” Ester menatapku, “pancaran wajahmu keliatan ada beban berat?”
“Kemarin aku bertemu dengan  pimpinan Holding AMC dari New York. Mereka memberi dua opsi kepadaku. Keduanya sulit dipenuhi. Kemarin malam, clientsku mengabarkan bahwa dia tidak mungkin dapat memenuhi kondisi yang ditetapkan  oleh AMC.” Kataku menahan getir, “entahlah! Aku bingung, tidak tahu harus gimana.”
Ester menggenggam jemariku. “Eh, lihat aku. Aku disini! Masalah kamu juga masalahku. Ingat itu, Ja.” Ester  tersenyum, mencoba menentramkan hatiku. Dari sorot matanya seolah dia berkata, semuanyaakan baik-baik saja, Ja! Jangan takut!
“Kamu yang merekomendasikan aku untuk deal dengan AMC tapi setelah hampir setahun aku bekerja keras memenuhi syarat atas skema pembiayaan yang aku ajukan, hasilnya malah begini. Mengapa mereka begitu mudah berubah?” kataku dengan suara lirih, nyaris tak terdengar. Aku tak ingin kelihatan kalau aku menyesalinya. Bagaimanapun dia telah berbuat banyak  membantu dengan tulus. Aku harus ingat itu dan selalu berterimakasih.
“Jaka, kamu harus maklum. Mereka lembaga keuangan kelas dunia. Mereka punya standar sendiri sebelum memutuskan mendukung skema pembiayaan.Tidak usah dipikirkan terlalu jauh. Lupakan soal AMC itu. Sekarang mari sama-sama kita pikirkan jalan keluarnya.”
“Ada usul?” 
Ester terdiam lama. Kemudian dia berkata padaku dengan  nada hati-hati. “Bagaimana kalau setelah makan siang ini kita bertemu dengan temanku. Dia eksekutif dari perusahaan Private Equity. Mungkin kita bisa diskusikan masalah kamu.” Aku menangkap ada harapan.  Jaringan financial yang dimiliki Ester tidak perlu diragukan.  Semua networknya adalah first class. Aku bersyukur punya sahabat seperti Ester. Dia selalu membantu dan ingin agar aku keluar dari masalah. Dan tentu saja dia berharap aku sukses.
Kantor kolega Ester berada di Gedung IFC lantai 82 di  kawasan  Central, Hong Kong. Gedung ini melekat dengan Hong kong Express Station dan Mall super mewah. Kedatangan kami disambut oleh pria berwajah Asia-Amerika dengan ramah. Usianya mungkin tidak lebih dari limapuluh tahun. Sekilas kuperhatikan, pria itu mengenakan setelah jas berharga ribuan dollar. Memang sesuai dengan reputasinya sebagai pemain Private Equity berkelas dunia. 
Ester melirik kearahku sebelum berbicara. ”Ini sahabat saya. Namanya, Jaka Samora. Dia seorang  konsultan pembiayaan  dari Indonesia.”  Kata Ester memperkenalkan diriku.
Aku menyerahkan business card-ku kepadanya dengan kedua tanganku dan pria itu memberikku  kartu namanya. Ester kembali melanjutkan, “dia punya masalah karena  skema pembiayaannya ditolak oleh AMC yang bertindak sebagai penjamin emisi untuk deal dengan sophisticated investor.  Mungkin anda bisa membantunya?”
Pria yang kuketahui bernama David dari business card yang diserahkannya, menatapku dan tersenyum. “Apakah saya bisa pelajari rencana bisnis Anda dan sekalian saya juga butuh penjelasan rinci  mengenai skema  pembiayaan yang Anda buat?” Pinta pria itu dengan nada terkesan hati-hati. Menegaskan bahwa dia tidak mau terlalu cepat  mengambil keputusan. Dia sangat hati-hati bersikap. Aku mulai percaya dengan orang ini. Mengapa?  Karena semakin hati-hati seseorang mengambil sikap, semakin serius dia untuk menjaga komitmennya. 
Kepadanya aku berjanji akan menyerahkan dokumen rencana bisnis dan skema pembiayaan yang aku buat. Dia menyanggupi untuk menanda tangani perjanjian dan tidak akan membocorkan kepada siapapun semua informasi yang dia dapat kecuali mendapat persetujuan dariku secara tertulis. Pertemuan itu cepat selesai. Sebelum kami keluar dari ruangannya, dia mengundang  makan malam sehari setelah dia menerima dokumen dariku. Aku menangkap kesan bahwa dia mengajak kami makan malam untuk menyampaikan keputusannya.  Dan kami  menyanggupi. 
Ester kembali ke kantornya dan berjanji akan menemuiku setelah menyelesaikan pekerjaanya di kantor. Aku kembali ke Hotel untuk istirahat.  Benarlah, pukul delapan malam dia sudah di loby Hotel Mandarin  Excelsior menantiku untuk pergi makan malam. Dengan menumpang taksi, kami menuju Tshim Sha Shui East di Kowloon. Disitu ada banyak café berjejer menghadap laut. Ini café kegemaran kami untuk menikmati menu Prancis sambil bicara santai. “David nampak bonafid sekali penampilannya. Apakah sesuai dengan isinya?” tanyaku sambil menanti makanan terhidang.
“Yang kutahu dia memang bonafide. Dia sukses mendanai bebagai proyek international berskala diatas USD 100 juta. Semoga dia bukan orang yang salah  untuk membantumu.”
“Darimana dia dapatkan uang sebanyak itu?”
“Dari relasi yang percaya kepada reputasinya. Umumnya sumber dananya bukanlah dana  institusi tapi dana privat. Sehingga proses financial closing bisa lebih cepat. Namun cost of fund-nya cukup besar. Tapi tidak usah kawatir, skema pembiyaan kamu meng cover semua  itu.”
“Oh, dana privat? Artinya dia punya koneksi dengan orang kaya yang tak mudah diakses oleh sembarangan orang.”
“Benar sekali. “
Malam itu kami mendiskusikan banyak hal. Ester membuka mataku bagaimana bekerjanya business private equity. Kelihatan sekali dia menguasai detail  operasi business itu. Aku berharap suatu saat bisa masuk dalam bisnis jenis ini. Ester mengenggam jemariku sambil berkata, “itulah salah satu yang aku suka darimu. Selalu punya mimpi besar. Tentu besar pula kemauan termasuk besar pula nyalimu. Ya, kan?” Aku tersenyum. Menjelang tengah malam kami menutup  bill dan pulang.  Aku kembali ke hotel dan Ester ke apartemennya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...