Sudah hampir sebulan aku di rumah. Sementara upaya gugatan di pengadilan New York belum ada kabar lanjutan. Hidup memang misteri. Sebagaimana ancaman Amir terhadap posisiku bila melawan kekuatan group tanpa wujud itu. Apa yang harus ditakuti? Kematian? Bukankah semua orang pasti mati? Ini hanya soal waktu saja, kapan dia akan datang. Tak peduli sebegitu kerasnya manusia menghindar, namun kematian tetap saja tak bisa di elak.
Lagi pula, tak ada manusia yang berumur lebih dari seratus tahun. Kalaupun ada, itu hanya segelintir. Dan sedikit orang itu pun sama, menghabiskan setengah dari waktu hidupnya sebagai anak-anak yang tak berdaya atau orang tua yang sudah pikun. Dari waktu yang tersisa, setengahnya dihabiskan untuk tidur atau terbuang di siang hari. Selanjutnya dari sekian waktu yang tersisa dari itu, masih juga didera rasa sakit, kesedihan, dendam, kematian, kerugian, kekhawatiran serta rasa takut. Dalam kurun waktu sepuluh tahun atau lebih, boleh dikatakan tidak sampai satu jam seseorang dapat merasakan kedamaian dalam diri sendiri dan lingkungannya.
Bila demikian adanya, lalu untuk apakah aku hidup? Apa kesenangan yang dapat diperoleh dari kehidupan itu? Apakah aku hidup hanya untuk menikmati keindahan serta kekayaan? Atau untuk menikmati keindahan suara dan warna warni alam? Bukankah ada saatnya ketika keindahan dan kekayaan itu tidak lagi bisa menyenangkan hati, dan ada pula saatnya ketika suara dan warna menjadi sesuatu yang mengganggu telinga dan mata.
Apakah aku hidup untuk takut, sehingga mudah diancam oleh Amir? Aku tak ingin membiarkan diriku hidup dalam pujian demi memuaskan sahabatku. Aku harus mencari cara, bagaimana agar nama baikku tetap dikenang setelah kematian. Aku tak ingin melintasi dunia dengan berbagai hal remeh. Seperti yang selama ini ku lihat, dengar, berpikir berdasarkan prasangka-prasangka, mengabaikan kenyamanan hidup, hingga tanpa sadar ternyata aku telah kehilangan segala-galanya.
Hanya orang tolol yang percaya bahwa kehidupan dan kematian datang secara kebetulan dan tiba-tiba. Hidup adalah proses dan semua orang harus melewati proses guna mencapai tujuan. Soal kematian, adalah sesuatu yang harus disadari sebagai bagian dari takdir manusia.
Aku sadar, bagi mereka yang memahami kehidupan tidak akan mengupayakan sesuatu yang tidak diberikan oleh kehidupan. Mereka yang memahami kekuasaan Allah tidak akan mengupayakan sesuatu yang berada di luar jangkauan takdirnya sendiri. Memahami adalah puncak dari keimanan. Kelemahan manusia terhadap sang waktu. Keseharian yang terisolasi dari kedekatan dengan Allah. Walau begitu tebal awan hitam membentang di depan mata, tapi tetap saja ada hal yang sedikit menggembirakan.
Lawyerku sudah berupaya meminta kepada US Treasury untuk menerbitkan bukti bagi keberadaan transaksiku, yang didasarkan pada kontrak legal yang dibuatnya dengan pihak Global Asset Management serta legalitas yang didapat dari SEC ketika transaksi ini akan dijalankan. Meski hasilnya belum juga nampak. Dan ketika aku bertanya kepada sang Lawyer, aku selalu mendapat jawaban yang sama, “tunggu!”
Catty belum menghubungiku lagi. Email dan telepon dariku tidak pernah mendapat respon. Kecuali email dari Ester yang setiap hari datang. Ada perasaan khawatir tentang Catty tapi aku tidak bisa berbuat banyak. Chang juga tidak pernah ada komunikasi apa pun. Lien juga. Pria ex KGB pun tidak menghubungiku. Semua nampak seperti tidak pernah tejadi apa-apa setelah pertemuan terakhirku dengan Amir di Hong Kong.
Dalam penantian itu, aku teringat dengan isi salah satu dokumen yang menyebutkan kalimat dalam bahasa Sansekerta. Aku mencoba melihat copy dokumen itu kembali. Memperhatikan barisan kalimat yang tidak kumengerti. Setelah berpikir sejenak, akhirnya kuputuskan untuk mendatangi perpustakaan Nasional, coba mencari informasi tentang kalimat itu. Setidaknya dari kumpulan tulisan sejarah tempo dulu mungkin dia akan mendapatkan info berharga tentang makna di balik tulisan itu.
“Tulisan ini ada hubungannya dengan babad tanah Jawa,” kata petugas perpustakaan, ketika aku memperlihatkan copy dokumen. “Anda bisa baca buku tentang babad tanah Jawa dan sejarah masuknya Islam di Indonesia,” lanjut sang petugas ramah.
Petugas itu kemudian melangkah ke salah satu rak buku. Satu persatu buku yang berhubungan tentang babad tanah Jawa dan sejarah Islam diberikannya padaku. Ada lebih dari lima belas buku yang ditumpuk di meja baca.
Setelah seharian membaca buku tersebut, aku mencoba menarik benang merah cerita Catty tentang keterlibatan bangsa Arab dan Cina serta hubungannya dengan dinasti di Nusantara. Tulisan bahasa Sansekerta yang ada pada dokumen, meski tidak terlalu bisa dimengerti, tapi dapat dipastikan adanya hubungan ketiga bangsa tadi. Dengan adanya tulisan Arab, Cina dan Sansekerta menunjukkan bahwa telah terjalin kerjasama yang kuat antara ketiga bangsa ini sedari dulu, khususnya soal pengaturan harta bagi kepentingan ekonomi global.
Bisa jadi, kedatangan Fernandez ke Indonesia adalah untuk mencari benang merah kepemilikan decade asset itu. Apalagi dia juga berhubungan dengan Catty yang sedikit banyak mengetahui petunjuk tentang decade asset.
Lalu, apa sebenarnya motivasi Fernandez melacak decade asset sampai ke Indonesia? Apakah atas kemauannya sendiri atau untuk mendapatkan manfaat decade asset itu demi kepentingan diri sendiri? Atau memang tulus untuk menegakan keadilan?
Yang pasti, dokumen itu menunjukan bahwa bangsanya adalah bagian dari penguasa dunia tempo dulu yang menguasai harta tak ternilai. Bangsa Indonesia secara genetik memang mempunyai DNA sebagai bangsa besar. Maka tidak seharusnya berkiblat kepada budaya barbar dari Barat yang hanya mementingkan uang dan menggunakan segala cara untuk berkuasa, walaupun dengan menindas bangsa lain.
Dalam buku itu disebutkan bahwa pada Bulan XI tahun 1292 tentara Kubhilai Khan yang meninggalkan Fukien, Kiangsi dan Kukuang tiba di Sungai Mas, Jawa Timur, pada tanggal 3-3-1293. Namun pada tanggal 19-4-1293, mereka dihancurkan oleh tentara Raden Wijaya yang kemudian naik tahta sebagai penguasa pertama di Majapahit pada tanggal 12-11-1293 dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana.
Buku itu juga menyebutkan bahwa wilayah kedaulatan Majapahit berada di selatan daratan Cina, yang meliputi wilayah Republik Indonesia saat ini, Campa, Semenanjung Peninsula (Malaysia), Tumasik (Singapura), Kalimantan Utara, dan Timor Timur.
Pada tahun 1368 utusan Prabu Hayam Wuruk (1351-1389) berkunjung ke Peking guna menghadap Kaisar Hung Wu dari Dinasti Ming. Tahun 1370, Kaisar Hung Wu berbalik mengirim utusan ke Majapahit, dan berlanjut pada tahun 1375 dan 1377. Mungkin pada saat itulah terjadi kerjasama erat di bidang perdagangan dan ekonomi, sehingga harta kerajaan Nusantara ditempatkan di Eropa di bawah sistem pengawasan dari Cina.
Hubungan kerjasama itu tidak terjadi hanya di era Majapahit tapi bahkan sudah berlangsung sejak berabad sebelumnya. Dalam catatan sejarah, sebetulnya sejak sekitar abad ke-1 Masehi telah terjalin lintas budaya Cina dan Indonesia, karena memang Jalur Sutera ke Konstantinopel berpangkal pada jalur pelayaran dari Ternate dan Tidore, sebagai pusat produksi rempah-rempah.
Masuknya Islam ke Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari misi kebudayaan Cina yang mengirim Laksamana Cheng Ho dalam cerita pelayaran paling spetakuler pada tahun 1406 M.
Bahkan sebenarnya terhitung sejak abad ke-7 M, penyebarluasan syiar agama Islam ke wilayah Asia telah diprakarsai Sa’ad bin Abi Waqqas, tidak lama setelah penguasaan Mekah oleh Rasulullah Muhammad SAW. Peta syiar agama Islam di Indonesia berawal dari Aceh, Samudera Pasai, Kedah, Malaka, Singkil, Barus, Pariaman, Palembang, Bengkulu, Banten, Demak, Giri, Goa, Tanjungpura, Banjar, Kutei, Brunei, Sulu, Mindanau, Ternate, Tidore, Gorontalo, Hitu, Dompu, Jailolo, Irian, dan Bintan. Jadi masuknya pengaruh Islam dari misi kebudayaan Cina bukanlah sesuatu yang baru bagi bangsa Indonesia ketika itu.
Selanjutnya seiring semakin melemahnya pengaruh agama Hindu dan Budha dari Kerajaan Majapahit, Sriwijaya dan Sunda, bermunculanlah Kerajaan-Kerajaan Islam di bekas wilayah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Islam selanjutnya menguasai hampir sebagian besar Nusantara di era Kesultanan Mataram.
Peradaban Cina yang dikenal dengan peradaban lembah Kuning sudah ada sejak 3000 SM. Sementara Indonesia atau Nusantara sudah ada sejak 2000 SM. Lebih kuno lagi adalah Peradaban lembah Nil yang sudah ada sejak 3400 SM. Bandingkan dengan Eropa yang tercatat baru ada sejak 600 SM. Artinya bangsa Cina, Arab, Indonesia, jauh lebih dulu menjadi bangsa beradab sebelum bangsa Eropa lahir.
Itulah sebabnya bahasa Arab dengan tulisan Arabnya yang begitu indah dan tulisan Cina yang melambangkan hubungan antara manusia dengan alam, serta tulisan Sansekerta yang memadukan keyakinan ketuhanan dengan lingkungannya, sangat berbeda dengan tulisan latin yang lebih modern. Juga kemudian tidak aneh bila penyebaran pengaruh Arab, Cina dan Indonesia ke seluruh daerah taklukannya disebarkan dengan cara yang lebih beradab tanpa menggunakan kekuatan senjata. Lebih sering menggunakan pengaruh asimilasi budaya dan agama.
Dapat disimpulkan, bahwa globalisasi sejatinya bukanlah suatu hal yang baru. Ini sudah dilakukan jauh berabad-abad sebelumnya oleh bangsa Arab, Cina dan Indonesia lewat misi perdagangan dan budaya. Sebagaimana tumbuh pesatnya peradaban di wilayah jalur perdagangan sutra, yang dipelopori oleh bangsa Cina, Indonesia dan Arab. Ketiga bangsa Inilah yang menjadi pelopor lahirnya peradaban di planet bumi ini. Termasuk memberikan pencerahan bagi bangsa Eropa yang masih tergolong bangsa barbar ketika itu.
Globalisasi bagi bangsa Cina, Arab dan Indonesia ketika itu adalah cara untuk saling menebarkan perdamaian, membangun peradaban yang lebih baik di bidang perdagangan, ilmu pengetahuan dan agama.
Tapi semua itu adalah masa lalu. Rusaknya peradaban Asia belakangan ini tak bisa dilepaskan dari eksistensi bangsa Semit. Bangsa yang pernah membangun peradabannya di Arab atau tepatnya Syria (Mesopotamia). Hingga kemudian pada tahun 330 SM, peradaban ini memudar dan hancur ketika kekuasaan Persia berdiri dan serangan dari bangsa Yunani. Namun bangsa Yahudi tidak hilang dari muka bumi. Mereka justru bertebaran ke segala penjuru. Ke selatan, ke utara, ke barat dan ke timur menjadi bangsa nomaden.
Sampai suatu saat, sejarah mencatat bangsa Semit inilah yang menjadi penghasut terjadinya perang Salib, yang membenturkan Barat dan Timur. Utara dan Selatan. Membuat dunia tak lagi jadi tempat yang damai untuk ditinggali.
Dan ketika cahaya peradaban Timur mulai redup maka globalisasi dirubah maknanya oleh bangsa Barat pada awal abad 17, menjadi berupa kolonialisasi sumber daya alam yang dimiliki bangsa lain. Globalisai bagi mereka terletak pada perluasan manfaat modal dan meningkatkan nilai modal lewat pemerasan bangsa lain. Itu semua tidak lain karena pengaruh bangsa Yahudi yang ikut memberikan ‘pencerahan’ bagi kemajuan peradaban bangsa Barat, hingga saat ini.
Hari sudah beranjak sore. Aku pun segera bangkit dari Gedung Perpustakaan Nasional. Sampai di rumah, aku sudah dinanti oleh istri di depan pagar. “Ada tamu di dalam,” kata istri sambil mengikuti masuk lewat garasi samping.
“Siapa?” tanyaku heran.
Istriku hanya menggeleng. “Aku tidak pernah kenal tuh orang. Tapi dia kenal dengan Abang,” jawab istriku sambil melangkah ke dapur, menyiapkan minum untukku. Aku mengerutkan kening, bertanya-tanya siapa gerangan tamuku. Lalu segera menuju ke ruang tamu.
Tamuku adalah seorang pria baya. Berusia kira-kira di atas enam puluhan. Berkopiah hitam dengan wajah yang sangat cerah, seolah memancarkan cahaya.
“Assalamu’alaikum, Nak Jaka,” sapa pria itu, menyambutku tanpa ragu.
“Iya, waalaikumsalam,” jawabku bercampur kaget dan bingung.
Aku masih bingung. Siapa sebenarnya pria tua ini? Sapaan tadi, menyiratkan seolah dia sudah sangat kenal denganku. Tapi sebaliknya, aku tak pernah kenal siapa tamuku ini. Pria tua itu kemudian menatapku dengan seksama. Dari ujung kaki, naik hingga ke muka dan wajahnya selalu berhias senyum saat memandangku.
“Ternyata persis sekali seperti yang ada dalam mimpi saya.”
“Maksud Bapak?”
“Wajah anda!”
“Oh, ya?” Aku terkejut, mengira-ngira barangkali orang tua ini mengenalku dari orang lain yang dia kenal. “Dari mana Bapak tahu alamat saya?”
“Dari dalam mimpi.”
“Hm.... Apalagi yang Bapak ketahui tentang saya dari mimpi?” Tanyaku masih meragukan cerita pria tua ini.
“Anda lahir bulan Oktober, hari Senin.”
Tak alang-kepalang keterkejutanku saat itu. Bagaimana bisa dia mengetahui semuanya? Akupun mulai merasakan adanya keanehan, apalagi pria tua ini menjawabnya dengan enteng dan penuh senyum. Seolah dia benar-benar tahu dan yakin betul tentang diriku. Aku pun semakin heran, ketika nama orang tua, anak, dan istri disebutkan dengan tepat. Padahal aku sama sekali belum pernah bertemu dengan pria ini. Aku juga tidak tahu siapa nama orang tua ini.
“Siapa nama, Bapak?”
“Darsa.”
“Apakah semua itu Bapak ketahui dari mimpi?”
“Ya, betul!”
“Oh...”
“Tidak ada yang perlu dianehkan. Kebanyakan orang mungkin menganggap dunia hanyalah satu dimensi. Padahal sebetulnya dunia memiliki beberapa dimensi. Dan bukan hal yang sulit untuk dijangkau antara satu dimensi dengan dimensi lain bagi orang yang terpilih. Inilah makna kebijakan dari Sang Maha Pemberi. Yang Maha Agung.”
Aku tidak begitu memahami apa yang dikatakannya. Tapi sepertinya, bagi pria itu tidak terlalu penting. Dia tetap tersenyum dan menatapku dengan seksama.
“Nak,...” serunya. “Saya datang kemari hanya ingin menyampaikan sesuatu yang harus anda ketahui.”
“Tentang apa, Pak?”
“Di dalam ada terang dan di luar ada kegelapan. Berjalanlah ke arah timur dan jangan melihat ke belakang. Karena di timurlah matahari terbit.”
Mendengar ucapannya itu, rasanya kepalaku seperti di sengat lebah. Aku nyaris melonjak dari tempat duduk dan hampir saja rokok di sela jariku terlepas. Pria tua ini baru saja mengatakan kalimat yang terdapat dalam dokumen decade asset. Siapakah pria tua ini? Aku ingin bertanya tapi pria itu sudah melanjutkan kata-katanya. “Dia meminta saya untuk menuntun Nak Jaka, menemukan jalan menuju timur.”
“Siapa yang anda maksud dengan dia?”
“Ahmed Khalik.”
“Oh Tuhan!” Aku terkesiap. “Siapakah Bapak sebenarnya?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja.
“Dia menanti Nak Jaka di Danau Angsa, tempat di mana Zou pernah berkuasa,” lanjut pria ini tanpa menghiraukan pertanyaanku.
“Saya tidak mengerti.”
“Dia menanti Anda selalu.”
“Siapa dia itu?” tanyaku dalam kebingungan.
“Ahmed Khalik,” jawabnya sama.
“Pak, Ini abad 21. Ahmed Khalik hidup di abad ke 12,” sergahku tak percaya.
“Dia menanti Anda,” kata pria itu tersenyum. “Hanya itu yang dapat saya sampaikan. Saya akan selalu bersama Anda di mana saja.”
Pria itu kemudian bangkit dari tempat duduknya, “Maaf, saya harus segera kembali.”
Aku hanya melongo dan tak dapat bicara sepatah kata pun, hanya mengangguk dan membiarkan pria tua itu berlalu dari hadapan. Setelah pria itu hilang dari pandangan, barulah aku tersadar, lupa menanyakan alamat. Peristiwa tadi berlangsung tidak lebih dari lima menit. Cepat sekali. Namun memberi arti yang sangat besar bagiku. Rupanya, pengejaran mencari kebenaran telah memasuki ruang dimensi lain. Sangat membingungkan.
***
Aku seperti berada dalam sebuah ruangan bernuansa serba hijau. Dengan kabut tipis menyelimuti seluruh ruangan, menghalangi pandanganku ke depan. Namun aku dapat melihat dengan jelas, sebuah lingkaran cahaya yang berpendar begitu indahnya. Aku terpana. Cahaya itu terus berputar-putar secara teratur di hadapanku. Kemudian dengan cepat menerjang ke arahku. Aku mengedip karena silau. Semakin lama sinar hijau itu semakin mendekat dan seperti ingin mengurungku. Aku gentar lalu kulindungi wajahku dengan kedua tangan dan, gelap!
Saat mataku terbuka, aku mendapati diriku sedang berada di suatu tempat yang belum pernah kukunjungi. Sepertinya aku sedang berdiri di atas perbukitan. Di bawah sana, terdapat panorama dari hamparan tumbuhan hijau yang sejuk dan sangat indah. Tak jauh dari tempatku berdiri, sebuah danau berair bening dengan banyak angsa berenang, bercengkrama bersama burung bangau di permukaannya. Kumpulan bunga teratai yang mengambang di permukaan danau kian menambah harmoni alam. Sungguh tempat yang sangat indah. Tapi tempat apa ini? Dimanakah aku berada?
Seribu pertanyaan berlalu lalang di kepala ketika kulihat seorang pria paruh baya keluar dari balik rimbunan pohon. Dia berjalan ke arahku dengan wajah berhias senyum. Dia mengenakan pakaian serba putih. Di atas kepalanya, tersemat sebuah peci yang juga berwarna putih. Dagunya dihiasi janggut berwarna keperakan, dengan pancaran raut wajah yang sangat teduh dan bersih.
“Dialah yang selalu menanti kedatangan Anda, nak Jaka,” kata sebuah suara dari belakangku. Aku menoleh, dan nampak Darsa di sana. Pria misterius yang pernah mengunjungiku.
“Assalamualaikum, Anakku,” kata pria itu menyapa. Ternyata pria dengan pakaian serba putih itu sudah berada di hadapanku.
“Wa.. waalaikum salam,” jawabku gugup.
“Mari ikut bersamaku,” kata pria paruh baya sambil melangkah pergi. Segera aku beranjak mengikuti langkahnya. Di balik rimbunan pohon yang tadi kulihat, ternyata bersembunyi pemandangan yang jauh lebih indah. Pepohonan hijau, padang rumput, gemericik air sungai dan sebuah rumah yang terlihat kecil dari kejauhan.
Rumah itu ternyata adalah gudang tempat penyimpanan harta. Di dalamnya terdapat rak-rak penyimpanan emas batangan serta berbagai permata yang tersusun rapi di dalam gudang.
“Inilah harta itu,” kata pria paruh baya tadi.
Aku memperhatikan satu demi satu rak-rak tersebut. Di setiap rak tertulis angka-angka Arab. Aku amati tulisan tersebut, ternyata semua sama tulisannya. Aku mengambil pulpen dari saku, kemudian mencatat tulisan itu di telapak tangan.
“Anakku, kamu adalah orang kedua yang pernah datang kemari. Dulu pernah ada juga anak muda yang datang. Tapi itu sudah lama sekali. Semoga Tuhan melindungimu, Nak. Jangan pernah takut melawan kezaliman di muka bumi ini. Karena Allah selalu bersama orang-orang yang ikhlas berjuang menegakkan kebenaran. Ikhlaslah, maka bumi beserta alam semesta akan berbaiat kepadamu. Karena sejatinya, manusia terlahir sebagai khalifah di muka bumi untuk menebarkan cinta dan kasih sayang. Maka tak ada alasan bagi mereka untuk tidak mendukung perjuanganmu.”
Selesai pria itu berbicara, seketika itu pula aku seperti tersedot ke dalam pusaran waktu. Aku tak benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi namun yang pasti, aku seperti terjebak dalam sebuah lorong panjang dan gelap. Namun di depan sana, aku melihat titik cahaya dan kekuatan itu terus mendorongku ke arah cahaya. Ketika aku benar-benar telah melihat sebuah dunia yang terang benderang, pria paruh baya itu sudah menghilang. Juga gudang harta itu. Yang tampak di hadapanku hanyalah pria lain yang mengingatkanku tentang seseorang.
“Senang pada akhirnya ada seorang anak muda yang akan meneruskan misi saya.”
“Siapa Anda?”
“Saya hanyalah seorang manusia yang ditakdirkan melawan ketidakadilan dan kezaliman di muka bumi. Penjajahan hak adalah kejahatan serius yang selalu terjadi dari waktu ke waktu.”
“Penjajahan?”
“Ya,” jawab pria itu tegas. “Apa yang membuat Indonesia disebut merdeka setelah 350 tahun dijajah?” tanya pria itu. Aku hanya terpana. Masih belum mengerti arah pertanyaan orang tua ini. Apalagi, kelihatannya dia tidak butuh jawaban.
“Banyak jawaban menganalisis istilah merdeka ini dari sudut budaya dan agama, yaitu kemampuan Indonesia merdeka dari tangan kolonialis asing. Tapi banyak orang lupa tentang hal yang sangat mendasar dari sebuah kemerdekaan, yaitu persatuan dan kesatuan. Padahal, inilah kunci kemenangan bangsa ini saat melawan bahkan mengusir para penjajah.
Dengan persatuan dan kesatuan, Belanda tidak bisa menggunakan politik adu domba, hingga akhirnya harus menerima kenyataan untuk keluar dari Indonesia. Begitupula dengan Jepang. Untuk menjaga kekuatan persatuan inilah maka ruh UUD 45 terlihat sangat dominan berusaha menempatkan presiden sebagai pusat kekuasaan dalam pemerintahan dan Negara.
Tujuannya adalah, menjaga seluruh eksponen bangsa agar tetap dalam satu barisan yang kuat untuk melawan segala kemungkinan bentuk infiltrasi asing yang dapat menggoyahkan sendi-sendi persatuan bangsa dan kedaulatan negara.”
“Apa yang membuat semangat persatuan itu bisa terjalin dengan kuat, padahal Indonesia terdiri dari berbagai etnis dan ribuan pulau?” tanyaku.
“Agama dan Budaya,” jawab orang tua itu tenang. Kemudian melanjutkan, “para tokoh Agama tampil dan mencerahkan para pemuda terpelajar melalui pendekatan budaya. Budaya gotong royong dan rasa senasib sepenanggungan di bahasakan dalam sudut pandang agama. Cara ini berimplikasi sangat besar, dia berhasil menggugah semangat menegakkan keadilan melawan konolialisme dan memerangi segala bentuk topeng turunannya. Segera, Indonesia menjadi ikon perjuangan melawan penindasan kolonialisme di seluruh dunia. Lebih khususnya bagi negara-negara di Asia dan Afrika.
Semangat persatuan inilah yang kemudian oleh pihak asing dijadikan target utama penghancuran. Tak lain agar mereka dapat kembali menguasai ibu pertiwi dengan mudah. Melalui sistem demokrasi dan sistem parlementer, umat Islam kehilangan rasa percaya terhadap pemimpinnya. Sehingga dengan mudah, mereka terpecah belah dalam barisan-barisan sektoral, yang katanya lahir atas nama semangat demokrasi dan pluralisme.
Terbukti setelah Indonesia merdeka, sistem parlementer berhasil melucuti Soekarno sebagai presiden yang berkuasa tunggal sesuai nafas UUD 45. Ini terjadi hanya empat bulan setelah kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 14 Nopember 1945 saat Indonesia memberlakukan sistem politik Perlementer. Dengan demikian kekuasaan tunggal presiden berdasarkan UUD 45 telah dilucuti secara konstitsional oleh KNIP.
Sejak itulah Indonesia hidup dalam ketidakpastian dan dilanda kemiskinan parah. Tidak ada pembangunan. Susunan kabinet terus bergonta-ganti dan anggaran pemerintah mengalami krisis yang sangat parah. Keadaan ini berlangsung selama 14 tahun lamanya, dan berakhir pada 5 juli 1959 ketika Soekarno mengeluarkan dekrit untuk kembali kepada UUD 45.
Alasan Soekarno waktu itu, karena revolusi Indonesia telah di sesatkan ke jalan yang salah. Yaitu lewat jalan demokrasi liberal yang kemudian dalam era globalisasi melahirkan aliran neo-liberalisme. Sebuah paham yang tidak sesuai dengan amanat kemerdekaan, yang notabenenya berdiri di atas pondasi persatuan dan kesatuan. Suatu hal yang mustahil terwujud di dalam sistem demokrasi liberal.
Tiga tahun setelah itu, yaitu pada tahun 1962, Soekarno berhasil merebut Irian Barat ke pangkuan Ibu Petiwi. Sebuah prestasi yang sangat gemilang dari tangan seorang presiden penguasa tunggal. Ia berhasil membakar semangat persatuan bangsanya untuk memerangi dan mengusir segala bentuk kekuatan asing dari republik ini. Sejak itu pula, bangsa ini menjadi bangsa besar yang berdaulat dan disegani oleh bangsa-bangsa lain.
Jargon anti konolialisme dan anti neo-kolonialisme telah menjadikan Soerkarno disegani dan ditakuti pihak Barat. Apalagi ketika Soekarno mulai menjadikan Cina sebagai mitra untuk bersama-sama melawan kekuatan Barat.
Namun pihak Barat yang notabenenya sangat berkepentingan di Indonesia tidak ingin Indonesia bersatu dan kuat, karena bisa menyulitkan operasi mereka. Maka strategi baru pun diluncurkan, dengan menggiring kelompok Islam yang merupakan komunitas terbesar di republik ini untuk menggoyang kekuasaan Soekarno.
Cerdiknya, mereka menjadikan agama sebagai senjata makan tuan. Kalau dulu, para ulama berhasil menyatukan Indonesia dengan agama, maka saat itu pihak Barat, juga menggunakan isu agama untuk menghancurkan kesatuan. Dengan membangun kesatuan sektoral, untuk selanjutnya menghancurkan rezim penguasa yang tak disukai.
Isu Poros Jakarta – Beijing di citrakan Barat sebagai komunisme yang anti Agama. Menjadi alat yang ampuh untuk membakar semangat umat Islam agar keluar dari barisan. Kudeta terselubung pun berhasil dilancarkan. Diawali dari Penumpasan G30S, lalu pengkhianatan Supersemar, hingga titik puncaknya pada sidang MPRS, dengan hasil keputusan TAP No. XXXIII/1967, yang selanjutnya melahirkan rezim Orde Baru.
Rezim Orde Baru lalu dengan bangganya menjadikan Pancasila sebagai alat pemersatu emosi rakyat untuk membiarkan pemerintah leluasa berkolaborasi dengan pihak asing. Merampas seluruh kekayaan alam tanpa memberi manfaat yang luas bagi rakyat. Tidak ada perlawanan berarti dari rezim Soeharto terhadap pihak asing karena mekanisme bantuan luar negeri yang sebelumnya diteken, memberi ruang lapang bagi para pejabat dan kroninya untuk berpesta pora menikmati korupsi.
Namun Soeharto juga masih menjadi ancaman serius bagi asing, karena kekuasaannya yang masih begitu besar berdasarkan UUD 45. Potensi kekuatan inilah yang membuat Seoharto juga harus dijatuhkan. Konspirasi pun dijalankan lewat kekuatan moneter internasional untuk merontokkan kekuatan ekonomi nasional. Dari yang sebelumnya dibanggakan dan disebut-sebut sebagai macan Asia menjadi loyo menghadapi tekanan rupiah yang terjun bebas hanya dalam hitungan hari.
Puncak keberhasilan asing dalam melemahkan persatuan dan kesatuan bangsa ini adalah saat era reformasi yang bertekad bulat menelan penuh demokrasi ala Barat. Sistem multipartai dan keputusan Tap MPR tentang kekuasaan Presiden dalam hubungannya dengan kekuasaan DPR telah menjadikan Presiden lemah. Kekuasaan dalam pemerintahan menjadi terdistribusi secara sistematis. Akibatnya, demokrasi di era reformasi, menggiring bangsa Indonesia ke ruang terbuka untuk diperalat oleh kekuatan globalisasi dan neo kolonialisme di segala bidang.
Lalu, bisakah kini kita sadari bahwa garis politik dan ideologi Bung Karno yang anti nekolim-neoliberalisme, atau ajaran Pancasila dan Nasionalisme Kerakyatan adalah duri bagi pihak Barat yang ingin menjadikan bangsa ini kerdil?
Juga politik persatuan lintas agama, suku dan etnis yang diserukan oleh Bung Karno sebagai perjuangan menuju masyarakat demokratik, damai, dan sejahtera berdasarkan Pancasila, merupakan penghalang utama bagi kaum nekolim dan neoliberalis untuk mencapai tujuannya. Mungkinkah kini kita bisa menyadarinya?”
“Mengapa Anda bicara tentang Soekarno?” Selidikku yang mulai tertarik dengan cara berpikirnya.
“Soekarno adalah saya dan saya adalah Soekarno dan kita semua adalah Soekarno. Bila mempunyai nurani melawan ketidakadilan. Bila kita memiliki keberanian melawan sebenar-benarnya musuh umat manusia yang beradab.
Ruh Soekarno harus melekat dalam jiwa juang kita untuk mengenal siapa sebetulnya musuh kita. Ketahuilah anakku. Walaupun Allah mengingatkan kita untuk berhati-hati terhadap kaum Yahudi dan Nasrani namun kita juga dituntut untuk bijak dengan tidak memusuhi apalagi menyerang mereka tanpa alasan yang jelas.
Karena kita hanya ditugaskan memerangi penyebab terjadinya ketidakadilan yang membuat manusia hidup dalam kekufuran. Itulah misi kita.”
“Ya, memang masalahnya bangsa Indonesia tidak pernah menyadari ‘the real power’ yang mereka miliki, yaitu agama dan budaya. Seharusnya jalinan erat budaya dan agama bangsa ini, terus dipertahankan sebagai alat pemersatu untuk melawan segala bentuk penjajahan dari luar. Seharusnya kekuatan budaya dan agama dijadikan dasar untuk membangun kekuatan nasional di segala bidang. Termasuk di bidang ekonomi,” kataku menyimpulkan.
“Ya, dan pihak asing tahu betul itu. Makanya budaya gotong royong dalam kebersamaan sengaja dirusak oleh budaya individualisme. Agama dipinggirkan dalam hiruk pikuk demokrasi saat merumuskan kebijakan publik. Keadaan ini berjalan secara perlahan namun pasti dengan sistematis lewat propaganda media massa dan pendidikan di semua jenjang,” pungkasnya. Aku mendenggarkan dengan seksama dan mulai memahami arah pembicaraan, ketika tiba-tiba orang tua itu menghilang dari hadapan. Dan kegelapan kembali menyelimuti. Aku melihat sebuah cahaya putih melesat pergi. Aku diserang perasaan takut, panik dan bingung. Sekuat tenaga aku berusaha memanggilnya, Paaak.. Paaak... jangan pergi duluuu.. namun tak satu jawaban kuterima. Tubuhku menggigil tapi aku terus menggigil dan, “Bang! Bangun! Bangun!”
Seperti ada kekuatan besar yang menarikku keluar dari selimut kabut berwarna hitam. Aku menggeragap bangun dan kudapati istriku duduk di samping, tersenyum dan menyeka keringatku. “Abang mimpi ya?”
“Iya.”
“Sholatlah. Sudah subuh.”
“Ya.” Aku memandang ke sekitar. Memastikan bahwa aku berada di tempat tidur dan kejadian tadi hanyalah mimpi. Dengan langkah berat aku pergi ke kamar mandi untuk berwudhu. Tapi betapa terkejutnya ketika hendak mencuci tangan. Ini nyata! Apa yang kutulis dalam mimpi, tertera jelas di telapak tangan. Segera aku keluar dari kamar mandi dan mencatat tulisan itu di atas kertas.
Babo, siapakah Amir, Babo?
BalasHapus