Minggu, 22 Oktober 2017

Pendidikan mental ?


Dulu waktu masih ABG , kalau nonton TV lawak Bagio, saya tertawa terpingkal pingkal. Apalagi kalau Bagio malakonkan orang bodoh dan jadi korban lawakan. Papa saya hanya tersenyum. Namun setelah acara lawak selesai, papa saya menasehati saya yang sampai kini saya tidak bisa lupa “ Kamu tertawa karena melihat kekonyolan pelawak itu. Tapi kamu engga sadar bahwa apa yang dilakukan pelawak itu semata mata cari uang untuk keluarganya. Dia tidak peduli jadi bahan olokan dan ketawaan orang se Indonesia. Yang penting di bisa menghibur orang dan dia dapat uang karena itu. Itulah kehidupan. Kamu harus bisa menjadi diri kamu sendiri dan tak peduli seburuk apapun anggapan orang atas profesi kamu selagi itu halal, jalankan. Tanpa ragu. Merdekakan diri kamu tanpa harus jadi pengekor orang lain.

Pernah kalau sholat berjamaah dimana kakek ( Babo ) saya sebagai imam dan saya , nenek, juga tante saya sebagai makmum. Setelah usai sholat , kakek saya hanya wirid dan kemudian berdiri. Biasanya setelah itu, nenek saya akan ngomel ke kakek, bahwa dia mengajarkan saya sombong kepada ALlah, dengan tak mau berdoa. Tapi kakek saya hanya tersenyum. Ketika saya tanya kepada kakek atas sikapnya itu, maka inilah jawabanya yang tak pernah saya lupa “ Kakek setiap waktu berdoa dan lagi sholat itu sendiri adalah doa. Tapi doa yang paling baik adalah ketika kamu berbuat baik. Contoh ketika kamu ada kelebihan rezeki kamu bersedekah, berdoalah ketika itu, Ya Tuhan, engkau beri aku rezeki dan aku mencintai Engkau karena itu aku memberi kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Contoh lain, ketika orang menzolimi kamu atau menghina kamu, maka segeralah berdoa “ Ya Tuhan beri aku kekuatan dalam kesabaran agar aku tidak jatuh dalam kehinaan dihadapanmu karena marah dan benci.”

Itu sebabnya ketika saya gagal masuk PTN, yang dikawatirkan oleh kedua orang tua saya , bukanlah gagal jadi sarjana tapi saya gagal menjadi diri sendiri. Karena kalau saya gagal menjadi diri saya sendiri maka itu artinya mereka gagal mendidik saya dan saya memang tak pantas dilahirkan. Dan itu tanggung jawab mereka kepada Allah. Teringat surat dari kampung kepada saya di rantau “ Kamu tidak gagal. Papa tidak mendidik kamu pengecut dan bergantung kepada titel pemberian orang. Kamu putra kami, jadilah sebaik baiknya diri kamu saja. Jangan pikirkan soal kegagalan kamu. Kamu tetap kebanggaan papa“ Dan ibu saya memberi motivasi saya “ Jangan karena kamu gagal kamu menjauh dari Allah. Selagi kamu dekat kepada Allah, kamu akan baik baik saja. Tuhan tidak aniaya, anakku. Kamu sebaik baik makhluk ciptaaNya. Jadi teruslah melangkah tanpa ragu.” Ketika kali pertama saya mampu keluar negeri berbisnis dengan orang asing, saya menangis ingat kedua orang tua saya yang telah mendidik mental saya dalam kesabaran dan penuh cinta.

Dari papa , saya mendapatkan nilai nilai budaya Minang untuk mandiri dari segi pikiran maupun perasaan dalam menghadapi realitas kehidupan, Kelak ini menjadikan mental saya tidak pernah merendahkan profesi orang lain dan menaruh hormat setiap effort orang untuk mencapai sukes dan bermitra dengan siapapun tanpa melihat suku dan agama orang lain. Dari kakek , saya mendapatkan pendidikan nilai nilai agama bahwa agama itu bukan yang diketahui dan dipelajari tapi di praktekan. Agama itu bukan hafalan tapi perbuatan untuk hanya beribadah kepada Tuhan. Saya tidak akan mengatakan kepada orang lain agama saya lebih baik kalau saya tidak mandiri secara ekonomi dan sosial. Karena agama saya mendidik saya untuk menjadi manusia mandiri dan pemberi, bukan meminta, apalagi pengeluh. No way.

Walau kedua orang tua saya tidak berpendidikan tinggi namun mereka menghadirkan secara nyata pendidikan karakter di dalam keluarga. Walau mereka bukan sarjana tapi 7 orang anaknya satu orang Phd, empat orang S2. Tapi tetap dengan prinsip mandiri entah itu jadi Professional, pengusaha, dosen, PNS. Karena semua kami dididik untuk berAgama dan berbudaya dalam bentuk perbuatan bukan retorika. Kami penganut yang taat tapi juga taat terhadap sunattulah. Bahwa menjadi diri sendiri adalah perjuangan untuk meraih ridho Allah. Jadi wahai anakku dan saudaraku dimana saja berada. didiklah anak dan keluargamu jadi mahluk merdeka. Ingat kemerdekaan negara kita tidak otomatis membuat kita merdeka secara mental . Yang menjajah kita bukan orang asing atau orang lain tapi diri kita sendiri..mindset kita yang menjajah kita. Merdekakan putra putri kita agar unggul dalam persaingan global..

Kamis, 05 Oktober 2017

Jangan sedih, Uni...


Uni diam saja. Hanya memandang. Lurus. Kosong, jauh. Lebih-lebih kalau duduk depan jendela. Angin kadang memburai-burai rambutnya sampai masai, namun Uni bergeming. Matanya terus menerawang ke cakrawala. Wajahnya tambah putih, kian lesi. Tidak jarang air matanya merambat sepanjang pipi. ”Uni ! Uni !” adik-adik mengimbau, berlari mendekati, memeluk, serta menarik-narik tangannya. Uni tak hirau. Tetapi ibu terus bicara. Ibu bilang kami juga harus sering bicara dengan Uni , menyeru namanya. ”Tapi Uni diam saja,” kata adik-adik. ”Seperti tak mendengar.”
”Uni mendengar,” ujar ibu. ”Dia sayang sekali kepada kalian.”

”Mengapa uni tidak menyahut?” adik terkecil bertanya kepada Uni Ros.

” Uni sedang malas bicara,” jawab Uni Ros. ”Ajaklah terus berkata-kata.”

”Malas bicara, seperti kalau aku ngambek?”

”Ya. Begitu.”

Sambil lambat-lambat menyisir rambut uni yang sepinggang ibu berucap, ”Ai, ai, harum dan bagus sekali rambutmu, Nak. Ikal. Legam. Ah, tidak elok kita terus mengenang yang sudah-sudah sampai rambut tak terurus. Itu, paman dan bibimu tiba, Nak. Salamilah paman dan bibimu.” Uni tetap tidak beringsut. Sudah lama uni serupa patung hidup. Sejak dia di pulangkan oleh suaminya , karena Uni tidak mau dimadu untuk kesekian kalinya. Suaminya guru mengaji dan juga acap diundang orang berdakwah. Pada waktu suaminya minta izin menikah untuk kali pertama, Uni bisa menerima karena Uni belum juga hamil setelah dua tahun menikah.

Tapi ketika suaminya minta izin menikah untuk ketiga kalinya Uni tidak menjawab apapun. Suaminya tetap melangsungkan pernikahan. Dan ketika suaminya menikah untuk keempat kalinya, Uni berontak dengan suara kencang sekali. Setelah itu Uni tidak lagi bicara. Dia menutup rapat mulutnya. Mungkin karena itu suaminya memulangkan Uni ke rumah kami.
”Baru kemarin aku baru bisa berangkat,” kata Paman Adi seperti minta maaf. ”Aku sibuk sekali. Banyak rapat bisnis yang harus aku lakukan.”

” Harus tunggu anak anak untuk jaga rumah. Baru bisa kemari. Maklum kami hanya berdua saja dirumah ” istri paman menambahkan.

”Paham aku itu,” balas ibu mengangguk, lalu menoleh kepada Uni. ”Begitu keadaannya, lihatlah.”

Istri Paman Adi menghampiri uni. ”Tapi mau dia makan, Uni?

”Mau. Disuapi.”

”Disuapi?” Bibi senyum memeluk bahu Uni. ”Disuapi engkau Meriani, anak rancak? Eh, kenapa keningnya ini?” Senyum bibi tiba-tiba lenyap.

”Tempo hari dia benturkan ke kaca rias,” sahut ibu. ”Tapi tidak dalam. Sudah kering sekarang.”

”Kenapa bisa begitu Nak!” Seru Bibi. “ Tengoklah, Bang!” Kata bibi kepada Paman. Bibi merebahkan kepala Uni di dadanya. Membelai-belai rambut dekat luka. ”Masih rajin engkau mengaji, Meri? Nanti mengaji, ya. Bibi ingin mendengarmu mengaji. Pamanmu juga.” Tidak berjawab. Hanya bulu mata lentik Uni mengerjap-ngerjap. Kemudian air 
matanya membersit lambat-lambat, bagai rembesan pada panci rusak.

”Lepaskan, Nak. Tumpahkan terus. Menangislah keras-keras!” ujar bibi masih tersenyum. Kakak terisak. Bahunya bergerak-gerak. Adik-adik dan Uni Ros berlarian mendekat. ”Uni! Uni...! Mereka rangkul tangan dan tubuh Uni . Uni tersedu-sedu dalam pelukan bibi.

”Maulud Nabi kemarin sudah tak disuruh orang dia mengaji,” kata ibu seperti berbisik kepada Paman Adi.

”Buya Nawawi juga tidak menyuruh?”

”Dia tetap. Sengaja buya tua itu kemari. ’Siapa pula anak gadis sefasih engkau mengaji Meri, ia bilang. Mengajilah saat maulud, sebagai biasa’. Tapi yang muda-muda menolak. Sekarang orang-orang muda berkuasa di surau. Katanya, tak ingin menerima istri durhaka kepada suami”

Paman Adi melempar pandang ke luar rumah. Sebuah bendi lewat di muka rumah, penumpangnya tak menengok. Paman kembali melihat ibu. ”Sebaiknya Uni ikut denganku ke jakarta ,” dia bilang.

”Bagaimana aku bisa pindah, Adi ? " jawab ibu. ”Rumah ini peninggalan Uda Amsar kau. Aku ingin membesarkan anak anak dirumah yang Uda kau dapat dari kerja kerasnya. Aku akan menjaga hartanya dan bekerja keras membesarkan konveksi yang diwariskan Uda kau”

” Uni masih muda. Menikahlah lagi”

" Sudah kepala lima usiaku. Tak terpikirkan bagiku untuk menikah lagi. Bagiku anak anak adalah tugas yang harus aku tuntaskan. Ini amanah dari Uda kau sebelum meninggal. Eh siapa pula yang mau menikahi ku…"

" Uni aku hanya ingin menghindarkan Uni dari fitnah. Di kampung ini orang mudah sekali bergunjing walau sumber berita fitnah belaka. Aku sebagai adik pria Uni harus bertanggung jawab terhadap kehormatan Uni.Kalau uni tak ingin menikah lagi, Ikutlah dengan Ku ke jakarta. Ajak keempat anak anak Uni. Tinggal dirumah ku. Kami dirumah hanya berdua saja. Kedua anak kami kan sekolah di luar negeri”

”Tak mau aku. Uni tahu kau sangat peduli dengan Uni. Tapi Uni akan baik baik saja. Yang penting sering seringlah telp Uni ya and tengokin uni Ya. "
Paman terdiam lama. Menyulut rokok. Melihat pula ke luar. Orang-orang tetap lewat di muka rumah, tak menengok. Hanya melirik sedan yang disewa paman di bandara sedang Parkir di halaman.Akhirnya paman berkata " Kalau begitu biarlah Meri ikut aku ke jakarta. Biar aku yang urus dia. Semoga dia bisa tenang disana dan bisa semangat lagi hidupnya untuk memulai hidup baru. Bolehkah Uni”

" Baguslah kalau itu keputusan kau Adi. Uni hanya turut saja. Kau pamannya kau lebih berhak atas kemenakan kau”

”Sstt!” ucap bibi perlahan. Mengejutkan kami. "Tidur.” Berbisik pula pada adik-adik, ”Ambil bantal, selimut!” Lalu dia rebahkan kepala Uni hati-hati. Dia luruskan kakinya. Diselimuti.

Saat tidur begitu muka uni persis bayi. Bersih. Polos. Tak sedikit pun tersisa galau yang mendera: Ayah meninggal , diceraikan suami, diasingkan orang Kampung. Padahal, sebelumnya Uni periang, terkadang terdengar menyanyi di kamar mandi: tak ’kan lari gunung dikejar/ hasrat hati rasa berdebar…. Atau diajaknya adik-adik, aku, Uni Ros berdoa, supaya ayah dilapangkan kuburnya dan kelak kami bisa berkumpul lagi di sorga.

Lalu tiba suatu hari karena status istri tertua dari tiga istri, suaminya kembali minta izin menikah keempat, serupa badai Dan suaminya itu muncul di suatu petang, berwajah dingin memulangkan cincin kepada ibu. Tetapi, mantan suaminya maupun keluarganya selalu lewat di depan rumah dengan dagu terangkat pongah, saat uni mulai terbiasa duduk di muka jendela. Kemudian mantan suaminya itu memang tidak terlihat lagi. Kata orang ia sudah tinggal dirumah istri keempatnya di kampung sebelah. Sementara Uni semakin betah di muka jendela, menatap kejauhan tak berbatas.

”Sudah ke mana-mana kuobati,” kata ibu, memandang paman serta bibi penuh harap. ”Belum juga ia berubah. Ada kira-kira dokter di Jakarta dapat menangani?”

”Ada!” Paman dan bibi menjawab serempak. ”Tenanglah Uni,” lanjut bibi. 

”Kalau perlu kami bawa ke dokter di luar negeri. Sesekali akan kubawa pula dia umrah. Biar terbuka pikirannya”

”Kukhawatirkan justru Uni,” ulang Paman Adi. ”Ikutlah ke Jakarta!”

”Tak perlu khawatir, Adi" balas ibu. Sambil mengelus kepala paman ”Tidak semua orang jahat di kampung ini. ”

Uni terus tidur di beranda, tak bergerak-gerak seperti bayi. Napasnya lunak. Kulitnya bersih. Putih. Apa gerangan terlintas di pikirannya sehingga mukanya begitu bersih dan tenang? Apakah dalam tidurnya dia bertemu ayah? Di antara kami uni paling dekat dengan ayah. Barangkali karena perempuan, putri sulung; tapi tangannya campin pula, terampil-cekatan menangani rumah. Ayah bangga dengannya, berharap uni jadi guru tamat IAIN. Sedangkan Uni Ros diharapkan menjadi dokter”.

”Kakek-nenek kalian guru. Mestinya ayah juga. Tetapi malah jadi pengusaha konveksi. "Ayah tertawa suatu ketika. ”Syukur ada uni kalian, ya?” Kami mengangguk, turut bangga walaupun uni waktu itu baru kelas satu Sekolah Guru Atas.”

" Ayah, aku ingin punya suami seperti Ayah. Walau tak gagah rupa tapi ayah sangat sayang ke bunda dan kami. Tak seperti Angku Jafar yang kaya itu , yang punya istri empat. Tak suka aku lihat gayanya" Kata Uni.
" Apa maksud mu soal si Jafar?

" Bolehkah aku tahu pendapat ayah soal poligami " kata Uni tanpa rasa sungkan. Dan ayah memang mendidik kami sangat demokratis. Apalagi antara ayah dan Uni dekat sekali. Uni sangat manja kepada ayah.

" Pria boleh berpoligami selama dibutuhkan untuk menjaga dan mengelola harta anak yatim dari perempuan-perempuan yang ditinggal suaminya. Itupun dengan syarat wanita itu sebatang kara. Tidak punya kakak laki laki atau adik laki laki, Tidak punya paman dan ayah. Tapi jarang pria menikah lagi karena niatnya melindungi perempuan yang ditinggal mati suaminya demi menjaga harta dan memelihara anak yatim. Umumnya pria menikah lagi dengan perawan atau karena kecantikan wanita. Lebih karena nafsu rendah. Kedua, pernikahan itu harus ADIL. Adil disini bukan soal nafkah lahiriah tapi soal batin, dalam hal perasaan, emosi, cinta, kasih sayang.”

" Oh betapa ketatnya Allah memberikan syarat poligami bagi laki-laki. Jadi benar secara syar’i poligami itu bukan hal mudah bagi laki-laki, bahkan tidak mungkin. “

" Benar anaku. Coba baca Annisa ayat 129 “walan tastati’u anta’dilu baina annisa walau harastum,” kamu tidak akan bisa berbuat adil di antara istri-istrimu kalaupun kamu sangat ingin melakukan hal itu. Nabi Muhammad mengatakan “Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus.” Masya Allah, ayah tidak mau terjadi seperti sabda Rasul itu. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa poligami bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya."

Uni sangat tercerahkan dengan pitutuah ayah itu. Kelak setelah Uni menikah , Uni selalu unggul dalam debat dengan suaminya yang meminta izin menikah lagi. Tapi entah mengapa semakin Uni paham dalil soal poligami semakin menjadi jadi gila kelakuan suaminya. Tak penting Uni setuju atau tidak, suaminya tetap menikah dengan seringai srigalanya

”Rencanaku besok kembali,” ucap Paman Adi . ”Kubawa Meri sekalian. Jaga diri Uni baik baik. Kalau ada apa apa telp aku. Si Burhan kalau tamat SLTP suruh dia ke jakarta biar aku urus pula dia.”

Ibu mengangguk-angguk. Ibu bernapas lega. Besoknya, Uni dibawa paman dan istrinya. Ibu menangis. Kami juga. Rumah jadi lengang—lengang sekali. Uni telah pergi. Tidak lagi berada di tengah-tengah kami. Dekat kami. Tapi, setidaknya mantan suaminya takkan lagi bisa tersenyum mengejek melihat Uni lagi termenung di depan jendela, memandang gunung ataupun kejauhan tiada batas. Tidak dapat lagi dia atau keluarganya mengangkat dagu dengan pongah bila lewat di muka rumah kami.

Di era sekarang , akal memperluas cakrawala, dan hati memperkaya Sukma. Sorga itu janji Tuhan namun cinta Tuhan yang utama. Bukan banyak ritual agama yang dituju tapi ikhlas yang utama .Uni telah bersikap dengan ilmunya dan hatinya menerima dengan berat namun ia berusaha ikhlas. Suaminyapun telah bersikap dengan ilmunya namun bertindak dengan nafsunya. Kami dibesarkan oleh ayah yang taat beragama namun rendah hati dalam beriman. Dan keperkasaannya sebagai pria tidak ditunjukkan kemampuannya menikahi banyak wanita tapi mendidik anak dan istri dengan teladan akhlak mulia. Paman Adi pengusaha hebat namun adat dan agama tetap menjadi bagian hidupnya. Anak dipangkunya, kemanakan dilindunginya dan saudara perempuan dijaganya dari fitnah..

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...