Usai pengumuman QC , Prabowo langsung tampil di media TV mendeklarasikan kemenangannya. Bukan hanya sekali dia tampil mendeklarasikan itu, tapi tiga kali. Dengan deklarasi ini jelas Prabowo telah melempar bensin ketengah tumpukan kayu bakar. Politik langsung memanas. Prabowo menuduh KPU curang. Kampanye negatif untuk men-distrust KPU terjadi massive. Para pengamat politik dan ekonomi yang mengaku independent namun sebetulnya berada di kubu Prabosan juga menyampaikan ketidak percayaan kepada KPU. Bahkan menuduh pemilu kali ini adalah pemilu terburuk dalam sejarah reformasi. Sosial media pun meramaikan postingan yang men-distrust KPU.
HRS juga ikut memanaskan situasi politik paska Pemilu dan QC. HRS lewat video menuduh KPU telah melakukan kecurangan sistematis dan massive. TKN berusaha tidak terprovokasi akan semua hal itu. Jokowi telah mengirim utusan khusus untuk bertemu dengan Prabowo tetapi belum bisa bertemu. Pihak Asosiasi Lembaga Survey berusaha menyejukan suasana dengan mengundang BPN dan Lembaga Survey untuk sama sama membuka data hasil perhitungannya masing masing. Tujuannya agar ada klarifikasi kepada publik. Tetapi BPN malah menolak untuk hadir dalam pertemuan itu. Sementara keadaan semakin memanas. Sekarang bukan hanya distrust kepada KPU tetapi juga distrust kepada pemerintahan JOkowi yang dianggap curang dalam Pemilu.
Saya yakin, situasi memanas setelah adanya QC tidaklah datang begitu saja. Atau bukan hanya sekedar sikap emosional kubu 02, tetapi memang by design untuk mengarah kepada situasi chaos. Terbukti sebagian besar akun sosial media yang gencar men-distrust KPU itu berasal dari Jawa Barat yang memang basis Massa 02. Sampai hari ini pihak 02 tidak bisa menunjukan bukti exit poll yang menjadi dasar kemenangannya. Justru kubu 02 mengundang publik untuk membentuk team pencari fakta atas kecurangan pemilu itu. Ini secara tidak langsung minta rakyat tidak mempercayai konstitusi atas terbentuknya Bawaslu. Tentu gerakan rakyat pendukung 02 semakin punya amunisi untuk melakukan gerakan inkonsitusional.
Narasi saya diatas hanya berdasarkan berita media massa yang saya amati ada benang merah, yang memang terstruktur untuk menciptakan chaos paska Pemilu. Polri telah memerintahkan pasukan Brimob yang ada diluar Jakarta untuk memperkuat pasukan keamanan yang ada di Jakarta. TNI pun sudah menetapkan siaga penuh menjaga segala kemungkinan terjadi. Apel siaga sudah diadakan minggu lalu. Sikap POLRI/TNI ini bukan paranoid. Tetapi didasarkan oleh laporan intelijen. Tentu TNI/POLRI tidak mau ambil resiko. Bahwa potensi chaos itu memang ada dan Dampaknya memang terasa, rupiah yang tadinya sempat menguat akibat effect kemenangan QC Jokowi, sekarang mulai melemah lagi.
Teman saya yang dekat dengan kalangan intelijent mengatakan bahwa Prabowo-Sandi sangat menyadari potensi chaos ini akan terjadi. Mungkin mereka tidak berpikir sejauh itu. Menganggap mereka bisa kendalikan massa pendukungnya. Tetapi mereka lupa bahwa mereka bukan pengendali massa, tetapi justru massa pendukungnya yang pegang kendali. Makanya Sandi bersikap tegas bahwa dia mempercayai KPU dan Bawaslu. PAN, PKS, Demokrat dengan tegas dapat menerima hasil QC dan akan patuh kepada keputusan hasil real Count KPU. Sekarang posisi sudah jelas. Kalau chaos terjadi, ini bukan antara institusi partai Politik peserta pemilu, tetapi antara TNI/POLRI dengan gerombolan yang sedari awal tidak mempercayai PEMILU dan ingin mendapatkan peluang terbaik menjadikan indonesia seperti Suriah. Medan konplik.
Apapun yang terjadi, saya yakin TNI/POLRI sudah kalkulasi dengan baik. Namun sebelum terjadi, maka sebaiknya Prabowo tampil sebagai negarawan. Kuncinya ada pada Probowo sendiri. Kini saatnya Prabowo berkorban untuk kesekian kalinya demi persatuan dan Kesatuan. Ingat pak, kalau chaos terjadi, yang pasti jadi korban adalah anak bangsa. Padahal mereka datang ke bilik suara, karena percaya dengan sistem negara ini. Liatlah ketika Ahok kalah dalam QC pilkada DKI, PDIP langsung menenangkan massa pendukungnya dan Ahok langsung tampil di TV dengan mengakui kekalahannya. Kita sebagai rakyat hanya butuh aman dan damai. Kalah menang itu biasa. The difference between a politician and a statesman is that a politician thinks about how to be win in the election, while the statesman think about the next generation. Statesmen speak out to achieve good for their people, not to win votes. Statesmen promote the general good rather than regional or personal self-interest. Statesmen are leaders who uphold what is right regardless of the popularity of the position.