Di Indonesia ini setelah ada era internet dan sosial media, semua orang begitu mudah diketahui sikap hidupnya, termasuk soal Politik. Dan itu sah saja. Apalagi kita menerapkan sistem demokrasi liberal. Selagi tidak menyinggung SARA, orang tidak dihukum karena perbedaan pemikirannya. Karenanya opini dalam hal sudut pandang menjadi ajang perang literasi. Itu bagus. Saling mencerdaskan dan mengkoreksi. Karena itu demokrasi jadi hidup dan bernilai.
Namun kadang tanpa disadari perang literasi yang menjebaknya kemasalah SARA. Apa itu SARA? adalah akronim dari Suku Ras Agama dan Antar golongan. SARA adalah pandangan ataupun tindakan yang didasari dengan pikiran sentimen mengenai identitas diri yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Yang digolongkan sebagai sebuah tindakan SARA adalah segala macam bentuk tindakan baik itu verbal maupun nonverbal yang didasarkan pada pandangan sentimen tentang identitas diri atau golongan.
Agar bisa paham dalam literasi. SARA dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni, Pertama, Individual. Di mana tindakan SARA dilakukan oleh individu atau golongan dengan tindakan yang bersifat menyerang, melecehkan, mendiskriminasi, atau menghina golongan lainnya. Kedua, Institusional. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan oleh institusi atau pemerintah melalui aturan atau kebijakan yang bersifat diskriminatif bagi suatu golongan. Dalam hal ini negara sudah mengaturnya dalam UU HAM Ketiga, Kultural. SARA yang dikatagorikan di sini adalah tindakan penyebaran tradisi atau ide-ide yang bersifat diskriminatif antar golongan.
Masalah SARA itu sangat serius. Bisa menghancurkan persatuan dan kesatuan. Terjadinya konflik horisontal. Untuk menghindari ini ada hukum yang harus dipatuhi, yaitu UU 40/2008 tentang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. UU ITE mengatur tentang ujaran kebencian dan fitnah dan KUHP, UU 1/1946. Artinya ? siapapun salah besikap, masuk penjara.
Bagaimana terhindar dari ancaman pidana terhadap pelanggaran UU berkaitan dengan SARA? Focus sajalah kepada perang literasi. Contoh ada pendapat orang di sosial media yang menurut anda salah. Ya respon dengan cerdas. Perkaya pengetahuan dalam berliterasi. Sehingga, anda bertambah cerdas, orang yang membaca bisa juga ikutan cerdas. Kuncinya? jangan focus dengan personal orang yang berbicara atau penulisnya, tetapi focus esensi yang dia sampaikan. Mengapa ? Secara personal orang itu dilindungi oleh UU HAM atas kebebasan berbicara dan berpendapat.
Jadi apapun agama, suku dan ras atau golongannya, dia berhak berbicara dan berpendapat. Berbeda dengan mereka jangan liat personalnya tetapi sikapnya. Mungkin orang yang anda tuju tidak bisa menerima literasi anda. Ya engga apa apa. Toh tujuan literasi dalam sosial media bukan terarah kepada dia saja. Tetapi kepada orang lain yang mau dicerahkan. Pada akhirnya yang menang, bukan lagi orang perorang atau golongan atau suku atau agama, tetapi akal sehat. Kebenaran menemukan jalannya sendiri. Itulah nilai demokrasi.
SARA dan politik.
Saya panggil Florence dengan sebutan “ Ubi” Itu mengarah kepada kulitnya yang putih. Walau dia etnis tionghoa, putihnya dia berbeda. Lebih putih. Dengan saya sebut itu, saya bersatire tentag kekurangan dia dan etnis dia. Apakah dia marah? engga. Dia juga paggil saya dengan sebutan “ padang jelek” Sebutan itu menyerang pribadi saya dan suku saya. Apakah saya tersinggung? engga. Kami menikmati perbedaan itu dan kami tetap bersahabat diatas perbedaan suku, etnis dan agama. Udah lebih 30 tahun persahabatan kami. Dari remaja sampai ubanan.
Saya bergaul dengan berbagai etnis di China. Ada teman saya orang Iran. Dia syiah. Dia sering bilang kesaya “ Enakan saya. Bisa nikah mut’ah. Udah selesai, cerai. Kasihan aja sunny harus repot punya istri banyak untuk sunah rasul. “ Saya tidak marah. Saya anggap itu perbedaan tanpa harus membuat persahabatan saya rusak. Buktinya waktu saya sholat di rumahnya, dia malah minta saya jadi Imam dan dia mak’mun.
Ada teman di China, kalau saya sehabis sholat dia candain saya “ Tadi saya barusa dapat telp dari Tuhan. Dia sibuk engga ada waktu ladenin kamu sembah dia. “ Saya senyum saja. Tetapi pernah saya travelling ke Hunnan bersama dia. Di tengah jalan darat, saya tanya tempat sholat dan buka puasa. Dia paling sibuk mendatangi rumah penduduk agar saya bisa sholat. Setelah sholat, pemilik rumah hidangkan makanan untuk saya buka puasa.
Bertahun tahun sejak sebelum kemerdekaan sampai Orla kita tidak pernah ada istilah SARA. Kejahatan SARA terbesar ya Soeharto. Dia melakukan diskriminasi secara politik lewat uu dan aturan kepada Etnis China dan eks keluarga PKI. Tahun 1999 UU HAM dikeluarkan. Namun soal SARA jadi masalah besar. Terutama sejak ada politik identitas. Terjadi perang antara agama di Ambon. Antar suku di Jakarta. Nah barulah tahun 2008 keluar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Masalah SARA mengemuka lebih terkait dengan masalah politik. Orang indonesia itu secara personal tidak pernah pusing dengan perbedaan Suku, Agama, Ras, antar golongan. Mengapa? di masyarakat kita banyak terjadi pernikahan antar agama, suku, ras dan golongan yang berbeda. Jadi perbedaan itu hanya jadi bahan lucu lucuan saja. Bangsa ini kaya humor. Misal, saya sering ditanya oleh nitizen soal Abu janda. Saya katakan jangan benci secara personal. Focus kepada esensi tulisan dan tayangan youtube nya. Walau hanya sekali ngobrol langsung dengan Abu janda, saya tahu dia orang yang suka becanda dan engga punya bakat membenci orang secara personal.
Mas Arya ( Abu Janda)
Suatu waktu saya diminta datang pada acara dialogh forum kebangsaan. Acara diselenggarakan di Makam Pahlawan Kalibata. Sebelum acara dimulai saya diajak oleh panitia ke ruangan untuk para undangan khusus. Di dalam ruangan itu ada Mas Sumanto al Qurtuby, Bu Sukmawati Soekarno putri, Mas Enha, Mas Eko Kuntadhi, Mas Permadi Arya ( Abu Janda). Walau sebentar bincang bincang dengan Mas Arya, saya bisa cepat tahu bahwa dia memang punya selera humor. Dia tidak punya bakat membenci siapapun.
Beberapa postingan dan video nya sering saya terima lewat WAG. Narasi dan gaya bicaranya disesuaikan dengan target siapa yang di tuju. Misal dia berpolemik dengan Ustad Tengku Zul, dia gunakan gaya bicara orang semutera. Terkesan kasar tetapi bagi orang sumatera itu biasa saja. Dia memang kreatif sekali membuat konten. Dia militan sekali berpolemik dengan pengusung khilafah dan kaum radikalisme.
Kecintaannya kepada Jokowi itu engga becanda. Semua tahu, betapa brutalnya kebencian kaum oposisi kepada Jokowi. Dia hadapi dengan berani. Dia tulus. Kenapa saya simpulkan dia tulus? Dia bukan politisi. Bukan pimpinan ormas atau pengurus ormas islam. Dia juga tidak tergabung dalam aktifis resmi pendukung Jokowi. Dia independent. Arya sama dengan mayoritas pemilih Jokowi yang inginkan indonesia bersih dari kaum intoleran dan radikalisme.
Kini karena issue SARA dia dilaporkan ke Polisi oleh KNPI dalam kasus “ Islam Arogan “ dan Natalius Pigai dalam kasus rasis. PB Ansor, NU, dan Muhammadiyah buang badan. Mereka minta Arya untuk belajar agama lagi. Bahkan ibu Susi mantan Menteri Jokowi juga minta umat islam unfollow Arya. Suka tidak suka, kasus Arya ini ada aroma politik. Arya bukan siapa siapa. Apalah dia bila dibandingkan KNPI dan Pigai pejabat Negara anggota Komnas HAM.
Saya berharap kasus Arya ini ditempatkan dalam kuridor hukum. Ini ujian kepada Pak Sigit, Kapolri yang baru. Sebaiknya MUI, dan Ormas islam , Parpol jangan lagi bersuara atas kasus ini. Mari sama sama hormati proses hukum. Karena, ingat walau Arya bukan siapa siapa, tetapi kasus Arya sudah jadi berita nasional. Rakyat memperhatikan kasus ini. Saya yakin Pak Jokowi ingin semua pihak menghormati proses hukum.