Minggu, 02 Oktober 2016

Memburu harta (3)


Semburat warna merah pada mega-mega di sudut cakrawala berarak pergi. Berganti gelap yang turun perlahan, bagai jubah hitam raksasa  memeluk bumi. Lampu-lampu mercuri menyala menerangi kota. Gedung-gedung pencakar langit berhias cahaya. Di puncak setiap gedung tinggi itu terdapat billboard iklan berbagai merek yang saling berkompetisi. Dari sebuah café lantai 27 Park Lane Hotel di kawasan Causeway Bay, nampak di seberang Kowloon, sebuah dermaga tersibuk  di dunia. Suara seruling kapal yang hilir mudik bersilambat kadang terdengar  sebagai tanda bahwa Hong Kong adalah kota pelabuhan.
Hong Kong di waktu malam memang selalu memberikan panorama terindah sebagai kota kosmopolitan terbaik di dunia. Hong Kong dan malam adalah sahabat semu. Indah dipandang namun di dalamnya menyimpan gejolak kelelahan dalam kompetisi tiada akhir. Tak ada malam menyapa diiringi senyuman. Tapi justru rasa khawatir bursa Hang Seng akan jatuh keesokan paginya. Kecemasan akan emas, minyak, segala mata uang dan saham yang bisa setiap saat berjatuhan di lantai bursa. 
Dengan posisinya yang terhubung ke seluruh jaringan pusat keuangan dunia, membuat Hong Kong tak mungkin tertidur barang sedetik pun. Inilah kota kapitalis murni, yang dengan jarak hanya sejengkal terlihat Cina yang angkuh dengan sosialis abu-abunya. Seakan mengejek Hong Kong yang terjebak dalam euforia kebebasan financial namun meradang oleh harga yang melangit. 
Pukul enam  sore aku sudah berada di sini memenuhi janji yang ditentukan pada pukul tujuh malam. Tadi ketika aku datang  ke café ini dan memperkenalkan namaku, petugas café mengantar ke meja yang sudah di sediakan. Aku duduk sendiri  bertemankan segelas anggur merah. Sesekali pandangan kuarahkan ke luar jendela, mencoba mengusir rasa bosan. Di sudut lain, nampak sepasang muda-mudi asyik masyuk dalam tawa. Alunan musik yang begitu apik dibawakan biduanita cantik asal Philipina. Mengiringi suasana syahdu malam itu. Mendendang sendu lagu Imagine.
Imagine there's no Heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today
Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace
You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one
Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the world
You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will live as one.
 ‘Imaging’. Lantas, di mana Indonesia? Jangan-jangan Indonesia sudah menerima bulat-bulat kata demi kata dalam lirik lagu imaging.  ‘Imagine there’s no countries’, aku bergidik ngeri.
Selangkah lagi upayaku untuk menyelamatkan bisnis Budiman akan menuai hasil. Aku sudah sampaikan kepadanya dan dia senang sekali. Tadi siang aku di hubungi oleh Asset Manager company atau AMC bahwa pimpinannya ingin bertemu denganku. Sekretaris perusahaan menyebut yang ingin bertemu adalah pimpinan Holding yang bermarkas di New York. Aku tidak tahu mengapa justru malah pimpinan Holding dari AMC harus bertemu denganku. Padahal kapitalisasi Bond yang kuterbitkan untuk tujuan penyelesaian hutang Budiman bukanlah jumlah raksasa. Apalagi dibandingkan dengan kapitalisasi yang mereka lakukan untuk clients special. Tapi dengan hormat aku terima undangan itu. 
Tepat pukul tuju, seorang pria berkepala botak melangkah ke arah mejaku. Dia tersenyum ramah ketika kami bersalaman namun tidak mengurangi wibawanya di balik setelan jas mahal yang dikenakan.
”Felix,” dia memperkenalkan nama. “Dan anda, Jaka?” 
Aku mengangguk ramah.
“Sebaiknya kita langsung kepada pokok persoalan yang harus kita bicarakan.” Katanya tanpa basa basi.
“Baiklah,” aku menyanggupi.
“Saya terpaksa menemui Anda karena ini menyangkut hal strategis. Skema pembiayaan yang Anda ajukan sangat luar biasa. Ini bisa mejadi solusi hebat bagi perusahaan yang ingin penyelamatan dari pengambil alihan Otoritas Penyelesaian Hutang di Indonesia. Kami siap mendukung namun bagaimanapun kita harus mengikuti standard  kepatuhan yang ditetapkan oleh otoritas.”
“Misalnya?” aku bertanya serius. Berusaha menyimak dan menelaah kalimat per kalimat yang Felix ucapkan.
“Bond harus di daftarkan kepada Otoritas bursa sebelum di lelang kepada Publik.”
“Mengapa harus di lelang kepada public? Bukankah sudah ada kesepakatan bahwa Bond ini akan diterbitkan untuk limited investor sehingga tidak diperlukan izin dari otoritas Bursa?”
“Benar. Tapi masalahnya untuk penawaran kepada limited investor diharuskan sudah ada kelengkapan dokumen dari Otortitas Penyelesaian utang.”
“Maksud Anda?”
“Kami butuh approval dari Otoritas Penyelesaian utang  bahwa mereka mendukung skema ini. Kami harus mendapatkan persetujuan mengenai haircut utang dan kepastian nilai pelunasan sama dengan jumlah penerbitan bond.”
“Pak, menurut saya itu hal yang tidak mungkin bisa dilakukan. Clients saya tidak punya reputasi untuk mendapatkan approval sebelum dia bisa buktikan ada uang di tangan. Ketahuilah posisi assetnya sudah berada di Otoritas Penyelesaian Utang. Artinya dia sudah default atas utangnya.”
“Tapi kami perlu ada document itu,” kata Felix terkesan tidak peduli dengan alasanku. “Ingat, limited investor adalah sophisticated investor yang umumnya mereka tidak mau ada ketidak pastian sebelum mereka melepas uangnya. Mengertilah.” Sambungnya.
“Kalau begitu, ini sama  saja dengan mana duluan tolor atau  ayam?” Kataku dalam kebingungan.
“Saya dapat maklum tapi itulah keputusan kami. Anda punya dua pilihan yaitu masuk ke pasar public tapi harus menunggu keputusan otoritas bursa di sini atau pastikan dapat approval dari Otoritas Penyelesaian Hutang,  sebelum bond ditawarkan kepada limited investor.”
“Apakah tidak ada jalan lain selain dua opsi itu?”
“Tidak ada. Maafkan kami.”
“Bukankah penerbitan bond ini sangat secure? Pertama, akan dijamin sepenuhnya oleh asset perusahaan dengan nilai 200%. Dokumen laporan dari lembaga appraisal yang Anda tentukan menyebutkan itu. Kedua, sudah ada konfirmasi dari perusahan raksasa dibidang pangan yang mau membeli saham perusahaan setelah lima tahun di restruktur. Pelepasan saham sebesar 40% sama dengan 1,5 kali lipat dari nilai bond yang ditawarkan sekarang. Soal bunga kami sepakat dengan yang ditetapkan, namun dengan skema zero coupon. Artinya investor membayar bond setelah dikurangi bunga selama lima tahun. Saya tidak mengerti mengapa cepat sekali berubah sikap AMC terhadap saya. Padahal saya telah berusaha melengkapi semua syarat yang ada.  Proses ini telah berlangsung 1 tahun. Tolong mengerti.” Kataku setengah memelas.
“Tidak ada yang salah dari procedure yang telah Anda lalui. Semua skema struktur pembiayaan sudah benar dan karenanya kami tertarik memberikan pre commitment. Tapi bagaimana pun kami berhak menentukan sikap sebelum financial closing dengan investor kami. Mengertilah, kami hanya butuh kepastian.  Saya yakin Anda bisa mengusahakan approval dari Otoritas Penyelesaian Hutang. Pemerintah Anda akan mendukung clients Anda karena dia pengusaha pribumi yang berniat baik menyelesaikan hutang.”
Tidak tahu apa lagi yang harus aku sampaikan kepada pimpinan AMC. Sebagai AMC berkelas dunia mereka bisa bersikap dengan cara mereka, bahkan di saat last to minute sebelum kontrak ditanda tangani. Mereka berhak berubah pikiran. Aku tidak ada hak menuntun komitmennya dan tidak boleh mempertanyakan integritasnya. Inilah dunia kapitalis. Pemodal selalu benar!
“Baiklah. Saya akan terima opsi kedua. Beri saya waktu 2 minggu untuk mendapatkan surat persetujuan dari Otoritas Penyelesaian Hutang,” kataku dengan berat. Sementara aku tidak tahu pasti apakah Budiman mampu mendapatkan  surat itu. 
“Nah, mari kita makan. Senang sekali bekenalan dengan Anda.” Kata Felix yang saat itu, kurasakan begitu mencekik. Dia memanggil pelayan restoran untuk menyediakan makanan sesuai pesanannya.  
Kemudian, sambil menunggu makanan terhindang , dia bercerita pengalaman perusahaanya dalam melakukan restruktur hutang beberapa perusahaan berkelas dunia. Aku hanya mendengar dan tentu saja takjub.  Begitu hebatnya mereka menggalang dana dengan berbagai skema  pembiayan. Semua itu hanya karena janji dan reputasi yang mereka tawarkan bahwa bond yang  mereka jamin adalah aman dari segala resiko. Rating dari Bond  selalu berkatagori likuid and strong. 
Dengan santai dia berkata bahwa semua bisa diatur termasuk menentukan rating bond. Semua lembaga rating bekerja untuk fee dan tentu mereka harus patuh kepada  pemberi fee. Dan lagi soal masa depan bukan urusan mereka. Mereka hanya bicara soal hari ini.Bahwa hari ini mereka menarik dana dari public dan meyerahkannya kepada clients potensial untuk mereka pengaruhi dan akhirnya dikuasai. 
Pelayan restoran menyediakan menu ala eropa. Ketika menikmati makan malam, pikiranku terus kepada Budiman. Mampukah dia memenuhi opsi kedua ini? Masihkan dia punya reputasi meyakinakan pemeritah sejak dia gagal bayar atas hutangnya di Bank? 
Usai makan malam aku keluar dari  Hong Kong financial club menyusuri jalan ke arah Lockard Road untuk bertemu dengan sahabatku dari Australia, Mike.  Minum segelas wine bersama Mike mungkin bisa membantu melepas barang sejenak stressku. 
Selularku bergetar. 
“Ja,” terdengar diseberang suara Budiman. “Bagaimana hasil pertemuan dengan pimpinan AMC?”
“Mereka minta agar kamu mendapatkan surat persetujuan dari Otoritas Penyelesaian Hutang  mengenai haircut hutang dan skema penyelesaian hutang.”  Kataku
“Keliatannya tidak mungkin aku dapatkan.” Kata Budiman terkesan putus asa.
“Aku tahu, Man.”
“Jadi apa yang harus kita lakukan?”
“Aku tidak tahu lagi,  Man.  Mungkin sebaiknya tunggu sampai besok siang. Kalau aku ada solusi, akan kusampaikan padamu.”
“Baiklah. Jaga kesehatanmu, Tenang saja. Teruslah berjuang dan berdoa.” Kata Budiman memberi semangat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...