Selasa, 25 Oktober 2016

Maaf teman, kita berbeda..


Kata orang bijak, waktu bisa berkata jujur. Waktu juga bisa memperbaiki. Waktu bisa membuat orang bijak. Waktu bisa membuat orang berubah. Ya waktu akan mampu mengurai segalanya, membuat air keruh menjadi kembali bening. Ingatanku seolah segar kembali menoleh ke puluhan tahun lalu, sewaktu rezim ORBA. Ingatan tentang kamu. Kita pernah sama-sama di lempar ke dalam truk polisi karena dianggap menolak asas tunggal Pancasila dan berkata tidak pada kekuasaan. Kita di perlakukan lebih dari anjing kurap. Bukan hanya di tampar dan di tendang tapi juga di permalukan harga diri kita. Tubuh di telanjangi dan di lecehkan di tengah  tawa mereka. Padahal kita berjuang untuk kehormatan kita sebagai manusia yang beragama. Kita bukan hanya kriminal tapi juga pembangkang yang pecundang. Ya benar kita pecundang. Karena revolusi yang kita harapkan terjadi tapi ternyata tidak ada sesungguhnya revolusi. KIta hanya di manfaatkan oleh petualang politik yang cepat lari dan cuci tangan ketika kita menyabung nyawa demi obsesi dan provokasinya. 

Setelah peristiwa itu kau masih kuperhatikan tetap rajin dalam aksi-aksi selanjutnya. Masih kokoh merapat dalam barisan. Masih berteriak sambil mengepalkan tinju. Dan tetap lantang menyanyikan mars pembangkan ketidakadilan para penguasa; kita pasti menang! Kadang aku menerka-nerka, betulkan kau waktu itu bicara atas nama orang-orang kalah, bukan karena gelisah mencari jati diri. Bila saja sempat kutanyakan hal ini padamu, pasti matamu seolah keluar dari kelopaknya, lalu dengan ganas menyerangku sambil mengutip kalimat Mark sampai Andre Gunder Frank. Sumpah, kadang aku suka pada bagian dirimu itu. Berapi-api dan gagah. Pantas saja kau sering mendapat tugas sebagai koorlap sewaktu aksi. Kau seperti Budiman Sujatmiko, yang mengaku malu pada kawan lain yang telah menyerahkan nyawa untuk perjuangan ini.

“Aku hanya orang biasa yang mencoba membuktikan bahwa sekarang ini adalah abad pembaharuan. Juga berusaha dengan cara apa pun agar kita tidak hanya di pandang pengangguran banyak bicara,” kataku dengan nada satire. Lalu aku pasti akan terburu menghentikan satire itu, khawatir kalimatku kepanjangan. Bila tidak, kau pasti dengan sukacita siap berperang kata denganku. Bisa hancur berantakan pertemanan kita bila kuladeni segala keberangasanmu itu. Padahal paling tidak, perlu waktu satu bulan berjauhan sebelum kita saling menyapa lagi.

Kau memang tipe pria yang mengandalkan mulut besar. Aku paham itu. Tak mungkin rasanya kau bisa terlibat dalam organisasi kampus, LSM, dan organisasi lain di masyarakat bila hanya mengandalkan bicara dan bentuk akal sehat. Tak ada suatu hasil terbaik tanpa konkret diperjuangkan, no pain no gain! ujarmu. Wajahmu terlihat bersemangat ketika bercerita tentang seorang Nelson Mandela, yang gelisah melihat ketidakadilan kaumnya pada penduduk asli Afrika Selatan. Dia menghantam apartheid dalam sajaknya sehingga ia kemudian harus rela kerap terjaga tengah malam karena pengerebekan keamanan setempat untuk ditahan. Hal yang seharusnya tidak ia alami bila hanya menulis hal biasa tanpa menyinggung apartheid.

Mungkin kegelisahan semacam itu yang membuatmu tabah menyusuri perkampungan dan gang kumuh kota ini untuk memberikan penyuluhan akan hak hak mereka sebagai warga negara. Tapi mereka hanya mendengar tanpa tahu mengapa mereka harus di advokasi. Mereka hanya butuh makan dan hidup layak tanpa harus di gusur tempatnya mencari nafkah. Itu saja. Kamu tidak pernah menyampaikan dengan jujur bahwa pembangunan butuh ketertipan dan ketertipan itu apabila semua warganya sadar akan hukum.  Bahwa mereka tidak bisa tinggal dan berniaga di tempat yang memang tidak sesuai dengan UU Tata ruang. Mengapa ? Karena kamu memamg tidak punya solusi. Hidupmu saja dari donasi orang lain. Tapi kamu gunakan sikap tidak tertip itu dengan janji sosialisme mu yang akan membuat semua boleh karena semua adalah hak rakyat. Kamu tidak mencerahkan rakyat tapi hanya memperbodoh mereka saja. Karena dari kebodohan itulah, orang ramai dapat berkumpul dan politik sorak memuaskan egomu.

Namun saat kita punya kesempatan menghabiskan waktu di cafe, aku juga kadang suka mendengar celoteh tentang  pengalaman mu bertemu dengan orang pinggiran. Tentang seorang anak perempuan belasan tahun yang di jual ibunya, atau bagaimana cara perempuan di sana yang sukses menghabiskan uang tamunya, para lelaki tua yang sebetulnya sangat pelit pada anak-istrinya. Kita lalu tertawa bila pada episode lucu, dan meringis pada episode yang tragis.
“Mereka, bagaimanapun adalah orang yang berani hidup. Karena berani mati itu adalah kelemahan dan paling dungu di dunia. “ kataku
“Aku suka pada mereka yang berani hidup!’ itu kan maksudmu?” ujarmu menimpali.” Itu kan penggalan syair Chairil Anwar. Tahu aku itu.”

Aku heran kenapa masih bisa mengingat begitu banyak hal konyol dalam dirimu. Mungkin kau memang kawan  paling aneh yang pernah kutemui. Yang selalu ingin mengemudikan motor bila kita pergi berdua. Yang mengajariku tentang Tuhan, sementara bulir arak terserak di seputar bibir mu. Mungkin kau membayangkan saat itu serasa bagai seorang Abunawas, hedonis yang berputar arah menjadi seorang sufi lalu membuat syair menggetarkan dalam Al I’tiraf. Atau seperti Sutardji Calzoum Bahri yang bersyair tentang Tuhan dengan mulut penuh busa bir.
“Aku mungkin brengsek, namun bukan seorang ateis,” ujarmu sambil melempar botol dari tanganmu.

Sekarang, setelah belasan tahun berlalu. Kekuasaan negeri ini pun sudah beberapa kali berganti. Kurasa segala kebadungan, kebrengsekan, dan kenekatanmu pasti sudah banyak berkurang. Berubah seperti juga banyak kawan seperjuangan kita dulu pun berubah. Sebagian ada di partai, sebagian memakan mentah-mentah apa yang dulu mereka maki-maki, dan sisanya tak punya cukup alasan lagi untuk tetap berjuang. Tapi, kuyakin kau dalam hal ini masih tetap seorang pemberontak. Seperti kuduga sebelumnya, sikapmu memilih tinggal di luar negeri sebenarnya bukan sekedar mencari suasana baru. Mesti banyak hal kau lakukan di sana. Saat kita bertemu kembali kemarin, inilah ceritamu...

“Setelah dari Cina, selama bertahun-tahun aku hidup seperti hippies. Berkeliling ke beberapa negara di Eropa sana. Bergabung dengan NGO international. Berteriak sebebasnya, melakukan semua yang kuingin, sampai kemudian aku rindu pulang dan menyadari bahwa tempatku memanglah bukan di sana. Alangkah bodohnya aku jika meninggalkan negeri yang sering membuat iri bangsa-bangsa lain ini,” dengan datar kau bercerita.

Agak lama kita kemudian terdiam tanpa kata-kata. Masing-masing terdiam dalam benaknya sendiri. “Lalu sebenarnya apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku agak kaku. Sebenarnya kalimat itu terdengar terlalu kaku untuk kedekatan kita, terutama setelah lama tidak bertemu. “Aku ingin bergabung dengan kaum buruh melakukan gerakan nasional. Hak buruh harus di perjuangkan dan kini saatnya di Era Jokowi buruh harus menagih janji itu. Dan tidak boleh ada siapapun melecehkan kehormatan agama kita. Termasuk Gubernur atau presiden sekalipun ” perlahan sekali kau bertutur. 

Tapi tahukah kamu, kawan. Berapa keras perjuangan kaum buruh di Eropa dan kini sebagian negeri itu bangkrut. Mungkin saja karena negara kalah dengan kaum buruh dan memaksa pengusaha mengikuti kehendak buruh.  Seharusnya yang di perkuat bukanlah bargain kesatuan untuk menggalang demo tapi kesatuan sikap memperbaiki etos kerja agar bisa bersaing dengan buruh negara lain. Kalau pengusaha tidak bisa membayar upah yang layak, ya pindah ke negara lain yang mampu membayar lebih tinggi. Ini era global. Bukan hanya pengusaha bisa merambah keluar negeri, buruh juga bisa. Ingat dunia buruh juga adalah dunia bisnis. Harga tidak pernah berdusta. Etos kerja seadanya, upah juga seadanya. Berhentilah jadi orang pengeluh dengan tangan di bawah. Kita harus mampu menempatkan diri kita equal, bukan karena regulasi tapi karena kita memang pantas equal.

Di era demokrasi , membawa isyu agama untuk terjadinya revolusi adalah pekerjaan orang tidak waras. Mengapa ? Memaksa rakyat berkiblat dengan satu agama di larang oleh HAM International. UUD kita menjamin keberadaan agama. UU kita melarang orang menistakan agama. Jadi kalaulah benar ada penguasa yang melecehkan agama maka ia akan berhadapan dengan pedang hukum. Biarkan sistem yang bekerja melaksanakan amanah UU. Kalau kamu tidak percaya dengan sistem hukum sekarang, maka tirulah teman teman kita yang kini sudah masuk kedalam sistem. Mereka berjuang dari dalam sistem untuk merubah sistem menjadi lebih baik. Memang tidak mudah namun mereka berada di tempat dan jalan yang benar untuk obsesinya. Perjuangan ekstra parlementer hanyalah pekerjaan orang pengangguran yang banyak bicara. Orang yang gagal menjadi bebas di era kebebasan.  

Apakah kamu tetap seperti dulu yang menginginkan revolusi terjadi? Apakah usia tidak membuatmu mampu meliat kenyataan? Kita adalah generasi gagal. Kita terjebak dengan arus politik dari orang orang yang sakit jiwa. Di saat orang mata sipit berjuang meraih kemakmuran dari rezim ORBA kita malah sibuk melawan dan berontak. Ketika si mata sipit makmur, kita marah. Padahal mereka mendapatkannya dengan kerja keras. Mungkin saja mereka berkolusi dengan penguasa. Tapi itu juga sebuah effort yang sesuai dengan kebijakan makro ekonomi negara menciptakan pertumbuhan agar APBN mampu melaksanakan fungsi sosial terhadap rakyat yang selalu menadahkan tangan. Kalaupun rezim ORBA tumbang , itu bukan karena gerakan demontrasi. Bukan. Itu hanya bersatunya elite partai dan tentara yang bosan dengan seorang diktator. Terlalu lama berkuasa juga tidak sehat. Gerakan mahasiswa hanyalah kayu bakar, api penyulutnya adalah karena para elite dan tentara sudah bosan dengan diktator. Makanya bukan revolusi yang terjadi tapi reformasi. 

“Seperti yang kubilang, aku memang bukanlah orang taat. Hanya saja aku tidak muda lagi. Kita pernah melewati masa masa muda kita. Apa  yang kita dapat ? Tidak ada. Kita hanya jadi martil untuk menaikan seseorang keatas panggung dan setelah itu kita di lupakan. Mungkin aku tidak bisa jadi matahari , namun setidaknya aku bisa menjadi lentera untuk memberi cahaya orang lain menuju ke mata air. Menjadi pengusaha juga adalah hero dalam bentuk lain. Kita memberi kesempatan orang mempunyai harapan dalam dunia yang kita ciptakan sendiri. Cita cita kita dulu untuk memperjuangkan keadilan demi agama tegak, dapat kita lakukan di lingkungan perusahan yang kita bangun. Ini lebih konkrit.”

“ Aku maklum. Kamu menua dan keyakinanmu tidak lagi sekuat dulu ketika muda. " Katamu dengan nada seakan merendahkan diriku.

" Terimakasih atas penilaian mu terhadapku. Namun harus kamu ketahui bahwa kita harus berubah karena waktu. Ingat kata Tan Malaka, bahwa revolusi terjadi bukan karena sebuah ide yang luar biasa, bukan karena tokoh atau seruan agama, tapi karena situasi dan kondisi yang memungkinkan revolusi terjadi. Aku tidak melihat situasi dan kondisi sekarang seperti era Kolonial yang mengharuskan terjadinya revolusi. Tidak melihat seperti era ORLA. Tidak. Kini semua serba terbuka. Lembaga Presiden bukan lagi lembaga sakral yang suci dari demo. Presiden bukan lagi dewa yang tidak boleh di kritik secara bebas. Semua boleh bicara apa saja. Kritik boleh di sampaikan dengan cara apa saja. Kebebasan itu adalah berkah yang harus di syukuri agar kita cerdas dalam hidup, dan menjadi bagian dari perubahan yang lebih baik. Tapi kalau kebebasan itu membuat kita terisolasi oleh paranoia akibat provokasi petualang politik maka kita hanyalah sampah kemajuan dan perubahan. Kapanpun akan di bersihkan oleh kekuatan hukum, akan di gilar oleh perubahan itu sendiri. Percayalah."

" Terserah kamulah. Namun setidaknya aku senang kita bisa bertemu. Aku juga bukan termasuk orang yang taat. Namun guru mengajiku mengatakan bahwa mungkin kita tidak bisa menjadi sempurna namun dengan silahturahmi kita sudah membuka lebar pintu maaf dan berbagi cinta. Bukankah itu hakikat agama ? 

Alangkah hebatnya teman ini. Untuk kesekian kalinya ia mengajariku tentang memaafkan dan kelapangan hati. Tanpa mengindahkan besok dia akan ikut bergabung dalam demo akbar karena pintu maaf tertutup sudah, yang ada hanyalah amarah. Karena agama tidak lagi di pakai untuk mendekatkan diri kepada Tuhan tapi menciptakan legitimasi agama untuk berontak dan marah dalam kebencian. Entahlah...maaf teman, kita harus berbeda. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...