Rabu, 12 Oktober 2016

Memburu harta (12)

Sore itu aku mendatangi apartemen yang pernah ditempati Fernandez empat tahun lalu. Sebuah bangunan yang tak layak disebut sebagai apartemen, yang pada umumya berkesan mewah. Lokasinya berada di perkampungan padat di tengah kota. Hanya lima ratus meter dari jalan utama.
Dengan menggunakan taksi, aku menuju apartemen itu. Aku berharap bisa mendapatkan informasi lengkap tentang Fernandez dari petugas pengelola apartemen. Paling tidak, dia tahu bagaimana cara menghubungi Fernandez.
“Maaf, data yang Anda minta sudah kami hapus. Karena kami hanya menyimpan file untuk satu tahun saja,’’ kata petugas apartemen ketika aku datang meminta informasi tentang Fernandez.
“Apakah ada orang di kantor ini yang dapat mengingat seseorang bernama Fernandez? Dia warga negara Mexico,” tanyaku tidak berputus asa.
“Maaf, saya orang baru di sini,” jawab sang petugas. “Tapi saya dapat memperkenalkan Anda dengan petugas cleaning service. Dia orang lama. Mungkin dia mengenal nama itu,” lanjutnya sambil mengangkat gagang telepon. Seorang lelaki muda dengan potongan rambut model cepak, nampak sedang memanggil nama seseorang. “Tolong datang kemari. Ada yang ingin bertemu.” Tak lama kemudian, seorang petugas cleaning service datang menghampiri. Dia adalah  seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah ketika berjabat tangan denganku.
“Apakah Ibu mengenal pria bernama Fernandez? Dia tinggal di sini empat tahun yang lalu.”
“Orang Meksiko?”
“Ya. Ibu mengenalnya?”
“Tentu. Pria yang sangat baik dan selalu royal kepada kami semua. Setiap minggu dia pasti memberi kami uang,” kata wanita itu dengan raut sumringah. “Uuhh! pria yang sangat tampan dan baik hati.” lanjutnya dengan mata berbinar.
“Baiklah. Apakah Ibu mengetahui, mungkin ada seseorang yang sangat dekat dengannya? Apakah Ibu mengenal orang itu untuk saya hubungi? Saya hanya ingin tahu keberadaan dia sekarang.”
“Banyak sekali sahabatnya yang sering datang ke apartemen. Saya sering lihat dari sudut koridor itu,” dia menunjuk sebuah tempat di sudut ruangan. “Tapi saya tidak mengenal mereka. Siapalah saya ini untuk bisa kenal dekat dengan mereka?” kata wanita itu sambil bersandar ke tembok ruang kantor. 
“Tapi, saya kenal dengan teman wanitanya yang selalu datang di akhir minggu. Wanita itu baik sekali. Kami sering ngobrol saat Pak Fernandez belum tiba di apartemen.”
“Siapa wanita itu? Apakah Anda masih mengingatnya?”
“Tentu. Tentu. Bagaimana mungkin saya bisa melupakannya?”
“Siapa namanya?”
“Susi.”
“Di mana dia sekarang?”
“Saya tidak tahu di mana dia tinggal,” jawabnya dengan ramah. “Tapi Bapak bisa menemui wanita itu bila Bapak mau membayarnya.”
“Maksud Ibu?”
“Dia wanita panggilan. Semua orang di sini tahu tentang itu.”
“Baiklah. Di mana saya bisa menemuinya?”
“Anda harus bertemu dengan bosnya lebih dulu.”
“Baik. Di mana bosnya?”
Wanita itu memandang petugas apartemen di sampingnya. Pria itu tersenyum penuh arti menatapku. 
“Anda bisa temui wanita itu di sebuah kafe di daerah selatan Jakarta,” kata officer itu sambil menulis sebuah alamat. Lalu  memberikannya kepadaku. “Temui dia di alamat ini.”
“Lantas, bagaimana saya bisa mengenal wanita itu?” tanyaku memastikan.
“Anda bisa tanyakan kepada petugas kafe. Mereka semua mengenal Susi. Bilang saja, Bapak kenal Susi dari saya.”
“Oh ok. Terima kasih.”
Pria itu tersenyum penuh arti ketika aku melangkah keluar dari gedung apartemen. Aku mengenal tempat itu. Sebuah kafe yang biasa dikunjungi orang asing. Tak heran bila sebagian besar wanita penghibur di kafe itu lancar berbahasa Inggris dengan baik. 
Ironis memang, negeri yang katanya religius, tapi tempat maksiat justru terpelihara dengan baik, bertaburan di tempat remang-remang. Para pejabat memberi izin berkedok usaha pariwisata, tapi sebetulnya melegalisasi prostitusi terselubung. Ini juga yang membuat geram para aktivis muslim yang ingin menjadikan kota Jakarta sebuah kota utopis, bersih dari segala maksiat. Sebuah upaya yang tulus namun terlalu utopis karena setan tidak pernah di musnahkan Tuhan. Ke maksiatan adalah bagian dari kehidupan sebagai ujian bagi orang beriman untuk tetap mendekat kepada Tuhan di tengah godaan nafsu yang menyesatkan
***
Malam itu aku mendatangi kafe yang dimaksud. Mungkin karena aku datang lebih ‘pagi’, pengunjung belum begitu ramai. Aku mendatangi petugas kafe untuk menanyakan wanita yang ingin kutemui. Petugas kafe itu menunjuk ke sudut ruangan. Nampak seorang wanita duduk sendirian. Wajahnya berhias senyuman menggoda. Aku tidak terlalu bisa melihat jelas kecantikannya karena suasana yang remang-remang. Terdengar alunan musik lembut menambah nuansa romantis pembangkit imaginasi syahwat. 
Aku juga paham betul. Sebagai kafe kelas atas, sudah tentu semua minuman di kafe ini dibandrol mahal. Apalagi dibanding warung pinggir jalan. Yah, sebuah ilusi antara harga dengan permak-permak yang mendempulnya. Bentuk asli dari harga itu pun tak kelihatan lagi.
Aku melangkah ke arah tempat wanita itu duduk. Namun seorang pria dengan setelan jas mendatangi wanita itu lebih dulu. Aku pun terpaksa berbelok, menyingkir.
Tempat duduk di kafe ini dirancang untuk membuat pengunjung merasa nyaman duduk berlama-lama. Kursi berbentuk setengah lingkaran yang bersebelahan dengan kursi lainnya. Menjamin tawar-menawar dan acara ngobrol basa-basi berjalan santai. 
Aku pun mengambil tempat duduk di sebelah, sambil menunggu pria itu berlalu. Dengan jarak yang lumayan dekat, aku dapat mendengar dengan jelas apa saja yang mereka perbincangkan. Samar-samar aku juga dapat melihat posisi mereka. Maklum, lampu memang dibuat muram agar nyaman untuk melampiaskan syahwat.
“Kamu sendirian, ya?” tanya pria itu basa-basi. Sambil berusaha mendekatkan wajahnya ke wanita itu.
“Bapak lihat, apakah ada orang lain menemaniku?”
“Aku kan, hanya ingin memastikan saja.”
Wanita itu tersenyum sambil melirik pria di sampingnya. Dia menyulut sebatang rokok dan mengepulkan asap rokok dari sudut bibirnya. “Mungkin malah Bapak yang sedang ditunggu seseorang?” kata si wanita, balik bertanya. “Aneh pertanyaan Bapak ini. Di sini, semua wanita tentu menunggu.” 
Pria itu tertawa kecut seakan menertawakan dirinya sendiri yang bodoh, karena sedang berada di sebuah tempat di mana semua hal bisa dibeli. “Aku baru kali ini melihatmu,” kata si pria mulai serius.
“Sama! Aku juga baru kali ini melihat Anda.”
“Boleh duduk di sebelahmu? Siapa namamu?” Kata pria itu sambil merapatkan tubuhnya ke tubuh wanita.
“Berapa Bapak bisa membayarku?” tanya wanita itu tanpa basa-basi. Datar, tanpa ekspresi.
“Apakah aku terlihat seperti sedang manawar?”
Wanita itu memicingkan mata kea rah tamunya, “Lantas untuk apa Bapak mendekatiku, di tempat seperti ini?”
“Aku tertarik dan ingin tahu saja.”
“Tertarik apa? Ingin tahu apa?”
“Kamu nampak berbeda dengan yang lainnya.”
“Di tengah kompetisi, kita harus menentukan cara unik menarik pelanggan. Aku tidak mau seperti yang lain dengan turun ke lantai bar, memamerkan tubuh untuk ditawar.”
“Jadi, sikap kamu sekarang adalah sikap menjual dengan cara yang kamu yakini benar dan efektif untuk menarik pelanggan?”
“Ya! Sebutkan berapa harganya?”
“Aku tidak mau transaksi seks walau aku memang butuh seks malam ini.”
“Mengapa?”
“Aku ingin menikmati seks tapi tidak mau membeli untuk itu.”
“Mengapa?”
“Aku tidak ingin membeli, tapi aku ingin menikmati dan di layani seperti selayaknya aku membeli.”
“Mengapa?”
Pria itu terdiam. Wanita itu mengerutkan kening. Sepertinya dia mulai kesal karena pria itu tidak bisa menjawab rasa ingin tahunya. Sepertinya ini pertanyaan yang mudah tapi juga sulit untuk dijawab.
“Mengapa?” dia mengulangi pertanyaanya.
“Aku ini orang terhormat yang percaya tentang moral. Membeli seks adalah perbuatan tidak bermoral. Itu selera rendahan. Bukan selera manusia sepertiku.” Pria itu tersenyum bangga. Seolah di telah berhasil membuka mata perempuan yang ada di sampingnya tentang siapa dia sebenarnya.
“Tapi tetap saja, Bapak tidak bisa lari dari kebutuhan seks dan selera rendahan,” balas wanita itu dengan senyum mencibir.
Pria itu tampak terkejut dan menatap tajam wanita yang ada di sebelahnya, “dengar baik-baik!” kata pria itu setengah berteriak agar wanita itu dapat mendengar dengan jelas di tengah kerasnya alunan musik. “Bisakah kamu lupakan tentang harga dan tarif untuk kencan? Kamu akan mendapatkan lebih banyak dari apa yang kamu terima selama ini.”
“Tidak bisa! Aku ini pedagang. Harga harus ditetapkan sebelum kita sepakat. Beda dengan istri kamu di rumah yang tanpa tarif tapi memeras kamu setiap hari.”
“Kamu pelacur. Ingat itu!”
“Iya, aku tahu dan ingat betul!” Jawab wanita itu mencibir dan berani.
“Aku ini orang yang paling dihormati, bagian dari segelintir orang di negeri ini. Aku ini pejabat!”
“Apa bedanya?”
“Tentu ada bedanya. Kamu hanyalah wanita murahan yang terdampar di dunia remang-remang. Siapapun bisa membeli kamu. Jangan sombong. Sangat beda denganku, seorang pejabat negara yang mewakili rakyat banyak. Aku punya misi untuk kesejahteraan mereka. Termasuk manusia terlantar seperti kamu.”
“Tetap tidak ada bedanya. Siapapun bisa membeliku, asal ada uang. Banyak tamuku cerita, bahwa mereka biasa membeli orang-orang seperti Bapak untuk kelancaran bisnisnya. Aku tidak sombong dengan profesi ini. Sedang kamu terlalu naif, bercerita tentang tugas terhormat. Padahal kenyataannya, setiap hari kamu juga melacurkan diri dengan jabatanmu.”
Aku mendengar pembicaraan itu dengan jelas dan semakin tertarik. Ternyata wanita yang pernah bersama Fernandez ini bukanlah wanita biasa. Dari gaya bicaranya, tahulah aku bahwa dia wanita cerdas.
“Kamu pelacur murahan!” balas pria itu dengan ketus. Namun tetap duduk merapat dengan wanita itu.
“Soal murah atau mahal, itu hanya soal tarif. Toh, tetap saja kamu dan aku sama-sama pelacur. Sama, kan?”
“Apa kesamaannya, heh?!” tanya pria itu lantang. Tampaknya dia mulai kesal dan marah.
“Sama-sama melacurkan diri untuk uang. Aku melacurkan tubuhku untuk uang dan kamu melacurkan jabatan untuk uang. Sama, kan?!”
“Tapi, tetap saja kamu beda denganku.”
“Apa sih bedanya antara aku dan kamu? Sama-sama mendapatkan uang dari cara yang tidak bermoral. Kamu melindungi diri dengan pangkat. Aku melindungi diri dengan parfum dan make up. Semakin tinggi pangkat seorang pejabat, semakin tinggi pula tarif komisi haramnya. Begitupula dengan kami, semakin mahal parfumnya, semakin mahal pula tarif kencan kami. Bila kamu bilang, mendapatkan uang untuk kesenangan dan kebahagiaan keluarga maka akupun melakukan profesi ini dengan alasan yang sama! 
Tapi setidaknya ada perbedaan mendasar antara aku dan kamu. Kamu bangga dengan jabatanmu tapi tidak suka disebut KORUPTOR. Sementara kami malu mengakui profesi kami di depan publik tapi masa bodoh bila disebut SUNDAL!”
“Semua orang tahu bahwa profesi kamu adalah profesi terhina di dunia,” balas pria itu emosi.
“Sebagaimana profesi lainnya, profesi ini juga punya jasa. Bahkan sesungguhnya, profesi pelacur di negeri ini harus bangga karena keberhasilannya membangun infrastruktur negeri ini, menduduki peringkat kedua di dunia setelah Ukraina. Inilah profesi yang dapat berkembang tanpa banyak fasilitas. Jangkan fasilitas, kami justru diburu sebagai pesakitan oleh petugas ketertiban kota. Kadang kami digiring ke dalam truk sampah untuk dibawa ke pusat rehabilitasi yang sebenarnya lebih pantas disebut penjara.
Sangat berbeda dengan para koruptor yang digiring ke penjara dengan mobil Land Cruiser, atau kadang kendaraan dinas Jaksa yang mewah. Dari semua perlakuan yang tidak manusiawi inilah kami tumbuh dan berkembang di negeri yang para pejabatnya ‘berlindung’ dari mimpi bernama Pancasila. Di mana ketuhanan yang maha Esa ditempatkan sebagai sila pertama.
Sangat beda sekali dengan profesi lain seperti industriawan, pedagang, atau bankir yang semuanya hidup dari banyak fasilitas Negara, tapi pada akhirnya malah menjadi beban Negara. Jangan tanya perbandingan peringkat kesuksesan profesi ini di dunia. Karena terlalu jauh panggang dari api bila berharap. Rangking profesi selain palacur di negeri ini, bisa menduduki peringkat 500 terbaik di dunia. Bahkan lembaga pendidikan pencetak generasi bangsa yang dikelola oleh para professor dan Phd, faktanya tak pernah berhasil masuk 100 universitas terbaik di dunia.”
Aku terpukau dengan kata-kata wanita ini. Sangat faktual dan runtut saat menyampaikan argumen. Dia berhasil menjadi pembela ulung bagi profesinya. Aku berusaha merapatkan duduk agar bisa semakin jelas mendengar wanita itu bicara. Si pejabat hanya terdiam kelu.
“Hm… tentu alasan yang aku kemukakan barusan tetap saja tidak akan merubah persepsi Bapak tentang profesi pelacur, bukan? Tetap saja dianggap tak bermoral untuk bisa hidup di lingkungan masyarakat yang menjunjung tinggi moral. Baik! Saya setuju. Tapi tahukah Anda, bahwa pemimpin-pemimpin dunia yang Bapak agungkan sebagai simbol moral kebangsaan dan tercatat dalam tinta emas sejarah, adalah orang-orang yang jatuh dalam pelukan pelacur?
Soekarno jatuh dalam pelukan Dewi. Wanita penghibur di pusat hiburan Ginza, Jepang. Hitler terlelap dalam kekalahan dengan damai karena di sampingnya ada seorang pelacur. Juga Napoleon yang tetap bertahan dalam penjara di Pulau Elba hingga akhir hayatnya karena ada seorang pelacur di sisinya. Mereka semua tercatat dalam tinta emas sejarah. Namun tidak dengan profesi kami yang sudah memberi andil dalam kehidupan mereka.”
“Tapi bagaimanapun, keberadaan orang seperti kamu merusak kehidupan moral kota. Cepat atau lambat, profesi kamu memang harus dikikis,” kata pejabat melunak.
“Pemerintah kota boleh men-cap kami sebagai pencemar nama baik kota. Tapi anggaran belanja pembangunan daerahnya, mereka ambil dari pajak hiburan. Mereka namakan pajak hiburan. Padahal, dunia hiburan adalah bagian dari promosi untuk melancarkan kegiatan profesi kami. Apapun namanya bentuk dunia hiburan, akan berujung pada kelangsungan profesi kami. Tidak ada dunia hiburan dapat berkembang tanpa kehadiran kami. Tidak berlebihan bila goyang Inul berhasil menahan Undang Undang Pornografi dan Pornoaksi yang sedang disusun DPR. Goyang Inul adalah bagian dari promosi ampuh untuk menggiring para remaja dan orang tua untuk membayar profesi kami.
Dalam ranah agama pun setali tiga uang. Bisa kita temukan dalam nasehat-nasehat agama, banyak cerita tentang pelacur yang bertobat. Entah mengapa profesi kami dijadikan ‘sampel kasus’ pendosa yang akhirnya bertobat. Tidak dengan profesi lainnya. Padahal bisa jadi profesi lain lebih hina dibanding profesi kami. Tapi itupun kami tidak peduli. Romatisme surga mungkin telah menempatkan kami sebagai profesi neraka, meski sebenarnya tetap mempunyai kesempatan untuk masuk surga asal bertobat. Setidaknya, kami tetap bersukur karena semua agama mengharapkan kami bertobat. 
Sangat beda dengan profesi lain yang biarpun ditegur, tapi dengan begitu banyak bahasa kiasan tanpa ada kesan menghakimi. Aku tidak tahu bagaimana cara pandang agama tentang pendosa, sehingga profesi kami begitu dibenci dengan bahasa yang vulgar.
Kadang aku iri sekali melihat para ulama begitu gemarnya datang ke rumah pejabat korup, mengisi pengajian dan ceramah agama. Ulama juga dengan mudahnya datang ke acara-acara nasional memberikan ceramah agama atau memimpin doa dan diliput banyak media massa. Tapi hampir tidak ditemukan, seorang ulama datang ke tempat kami bekerja untuk memberi pencerahan agama. Apalagi berharap agar ceramahnya di hadapan kami diliput media massa.
Mungkin di lingkungan yang katanya ‘terhormat’ itu seorang ulama bisa dapat uang saku. Sementara di lingkungan tempat kami bekerja, seorang ulama hanya akan mendapatkan malu.
Tahukah Bapak bahwa saat kami pulang ke kampung halaman, kami semua berdusta tentang profesi kami sebagai pelacur? Kemewahan yang kami bawa dari kota harus dikemas dengan cerita palsu. Kami menutup rapat cerita profesi kami dengan berpura-pura menjadi profesi lain, agar mereka tidak curiga tentang kemewahan yang kami bawa pulang. Tapi berbeda dengan para pejabat. Mereka tidak pernah malu mengakui dirinya sebagai pejabat dengan segala kemewahan yang mereka miliki. Padahal semua orang tahu bahwa hartanya jauh lebih banyak dibanding gaji asli yang harusnya diterima. Namun semua masyarakat di kampung tetap memujinya. Masyarakat tetap mengagungkan profesi itu, meski jelas-jelas ia hidup dari melacurkan jabatannya demi uang!”
Wanita itu tersenyum. Dia menghabiskan minumannya sambil berdiri lalu berkata, “Ah, mengapa sampai begini jauh aku membela profesiku? Padahal aku yakin tidak akan ada orang yang bisa menerima pembelaan ini. Tapi setidaknya, aku harus bicara, sekedar meniru para politisi seperti Anda. Walau aku sendiri tahu, kami tetap akan ditertawakan. Ya endak apa-apa, kok! Wong namanya demokrasi. Siapa pun boleh ngomong. Siapa tau entar bisa bikin partai dan jadi presiden. Wong pelawak saja bisa jadi anggota dewan. Koruptor saja bisa jadi menteri. Kenapa pelacur tidak?”
Pria itu tersenyum kecut mendengar kata-kata terakhir wanita itu. Dia merasa tersudut. Sebuah tesis gemilang dari seorang wanita yang hidup dari dunia remang-remang telah dipaparkan dengan begitu baik.
“Lebih baik aku akhiri di sini saja. Kelihatannya Bapak tetap dengan pendirian Anda untuk membeli seks tanpa mau disebut melacur. Kita akan tatap sama dalam cara dan perbuatan kita. Sama-sama pula dikutuk oleh semua orang yang masih menghargai moral. Sebaiknya Anda tetap setia kepada wanita di rumah yang selalu mau melayani. Walau dia sadar sedang ditiduri oleh pria yang setiap hari melacurkan jabatannya demi membayar dan memuaskan wanita, yang disebut sebagai istri itu. Itulah beda kami dengan wanita di rumah, istri seorang koruptor. Entah mana yang lebih hina? Tanyalah kepada rumput yang bergoyang!”
Wanita itu berdiri, lalu melangkah menjauh dari si pejabat. Aku segera mengikutinya dari belakang. Kemudian dia duduk di meja bar. Aku menyusul dan ikut duduk di sampingnya. 
“Susi?” aku menegurnya. Wanita itu menoleh ke samping dan memperhatikanku dengan seksama. “Anda mekenalku? Apakah aku pernah bertemu dengan Anda sebelumnya? Oh, maaf. Saya memang tidak pernah mau mengingat setiap tamu yang datang,” kata wanita itu ramah.
”Tidak! kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Aku mengenalmu dari petugas apartemen.”
“Mas Budi, ya?”
“Waduh! Aku tidak tahu pasti namanya.  Lupa bertanya.” Aku menyungging senyum kecil sekedar untuk mencairkan suasana.
“Ya. Pasti dia. Hanya dia yang tahu kalau aku sering ke sini. Kadang dia juga kasih order untuk melayani tamu-tamu apartemennya.”
“Oh, begitu?”
“Ya!” 
Susi kembali memicingkan mata ke arahku. Sejenak kemudian dia berdiri. “Ikuti aku” kata Susi, menggiringku untuk beranjak dari tempat duduk.
“Aku tidak ada waktu untuk berlama-lama. Hari ini aku memang sedang panik. Aku butuh uang untuk biaya putriku masuk sekolah. Jadi maaf bila aku tidak ada waktu untuk obrolan kosong. Sebutkan berapa kamu mau membayarku?”
“Berapa Anda minta bayaran?”
“Tiga juta,” jawab Susi ragu dengan harga yang dibukanya.
“Ok, aku bayar.” 
Aku langsung membuka dompet dan menyerahkan lembaran seratus ribu. Sambil memasukkan uang itu ke dalam tas kecil yang disampirkan di bahunya, dia tersenyum senang. “Terima kasih, aku suka orang seperti Anda. Tidak pernah negosiasi soal seks,” puji wanita itu sambil merapatkan tubuhnya padaku.
“Bukan seks,” jawabku singkat sambil melonggarkan posisi duduk dari pelukan Susi.
“Lantas apa?”
“Aku butuh informasi tetang Fernandez.”
Dia terdiam sambil menatap lurus padaku. Seakan dia mencari sesuatu di balik wajah dan sorot mataku. Kemudian nampak wajahnya memerah dan air matanya berlinang. “Pria yang malang!”
“Apa maksud Anda?”
“Aku sangat mencintainya, tapi…” dia menutup mata dengan kedua telapak tangannya. Susi tampak tertekan. Seolah dia sedang mengingat sesuatu yang begitu menyakitkan. Aku merasa sedikit menyesal namun, aku butuh informasi itu. Susi kembali mengangkat wajahnya dan menatapku lagi dengan mata merahnya. Sementara jemarinya sibuk mengusap air mata yang sepertinya, enggan untuk berhenti mengalir. Aku merasa iba sekaligus bingung. “Ada apa?”
“Dia terbunuh ketika kami sedang berduaan di kamar apartemen.”
“Terbunuh?”
“Ya. Seseorang telah menghabisi nyawanya dengan sangat kejam. Dia ditembak dalam jarak hanya satu meter dan terkapar dalam pelukanku.” Susi kembali tersedu.
“Oh!” Aku terkejut dengan berita ini. Dan aku semakin bingung dengan kabar duka yang misterius ini. Bayangan Fernandez berkelebat di pelupuk mata. Seorang sahabat yang begitu baik. Susi kembali menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Baiklah, aku permisi. Terima kasih untuk informasinya,” kataku kemudian dan beranjak pergi. Aku pikir tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari Susi. Jalan untuk menemukan Fernandez tertutup sudah. Aku tidak tahu lagi kemana harus mencari tahu, apa dibalik transaksi yang sedang dihadapinya.
“Tunggu!!” Susi berdiri dan mengusap airmatanya, “tampaknya Fernandez begitu berarti buat Anda?”
“Ya. Sangat berari.” Aku tetap melangkah, menuju pintu kafe.
“Kalau begitu, ada sesuatu yang mungkin berguna bagimu,” kata Susi sambil memegang tanganku, menahan langkahku.
“Apa itu?”
“Tas kecil yang kudapatkan dari simpanan pribadinya. Kupikir isinya sesuatu yang sangat berharga, ternyata cuma tumpukan surat menyurat yang tidak kumengerti. Tapi aku selalu menyimpannya, karena aku tidak akan pernah bisa melupakannya. Setelah dia pergi, hidupku berubah drastis. Menjadi pelacur murahan. Ini pertama kalinya aku mendapatkan bayaran mahal, darimu.”
Wanita itu kembali duduk. “Apakah kau menginginkan tas itu?”
“Ya, siapa tahu ada gunanya.”
“Kalau begitu, kamu harus mengambilnya di rumahku.”
”Baiklah, kita ambil sekarang?” 
Susi mengangguk dan kami melangkah keluar dari kafe. Taksi mengantar kami kerumah Susi. Suasana malam mendekap kelabu. Membuatku berkerut kening ketika taksi yang kami tumpangi mulai masuk daerah kumuh. Susi yang duduk di sampingku tampak tenang saja. Padahal, di lingkungan ini semua hal bisa terjadi dengan mudah hanya karena alasan sepele. Termasuk menghilangkan nyawa orang lain. 
Dari berita yang pernah kubaca di koran, hanya karena uang seratus ribu rupiah, penduduk sini biasa menghilangkan nyawa orang lain. Benar-benar gambaran suram sebuah negeri yang katanya kaya akan sumber daya alam. Tapi nyatanya, penduduknya bisa menjadi buas hanya karena ingin mempertahankan hidup. Lalu di mana cerita kekayaan negeri itu? Semuanya tampak suram dan menguap begitu saja. Tersembunyi di balik labirin yang sukar terkuak. Hidup seperti sebuah misteri dalam lorong panjang yang seakan tak berujung.
“Mungkin kamu baru pertama kali berkunjung kewilayah ini, ya? Tidak usah gugup, tenang saja,” kata Susi mencoba menenangkan. Seakan dia bisa membaca kekhawatiran di wajahku. Dia tidak tahu masa lalu ku ketika awal datang ke Jakarta pernah tinggal di lingkungan seperti ini. Acap melihat orang bertarung hanya karena uang receh dan masalah sepele. 
Setiba di rumah, aku langsung mengambil tas yang kuterima tanpa memeriksa isinya. Aku pun segera pamit agar bisa cepat berlalu dari wilayah itu. Aku tak menanggapi, saat Susi berusaha untuk menahanku lebih lama untuk hanya sekedar basa-basi. Aku baru bisa bernafas lega ketika taksi yang kutumpangi sudah keluar dari kampung itu dan melaju di tengah jalan raya. Aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah dan istirahat. Istriku tercinta tentu sudah menunggu dengan sayuran hangat kegemaranku

3 komentar:

  1. Jd ngga sabar lanjutannya ...apa ya isi dalam tas nya.salam. babo

    BalasHapus
  2. Saya suka sekali bacanya...
    Salam kenal pak :)

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...