Kalau anda mendengar istilah kelas menengah di Indonesia, jangan berpikir mereka seperti kelas menengah di luar negeri seperti di Korea, China atau Singapore atau Malaysia. Kelas menengah di Indonesia itu, income nya berkisar dari Rp, 2 juta sampai Rp 9 juta sebulan. Kalah income nya dengan TKW-ART di Hong Kong dan Singapore.
Nah dengan kondisi kelas menengah seperti itu, memang sulit untuk naik kelas. Bahkan mudah tergelincir jadi kelas bawah. Coba perhatikan data BPS. Tahun 2019 kelas menengah Indonsia ada 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Lalu, pada 2024 hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13%. Artinya ada sebanyak 9,48 juta warga kelas menengah yang turun kelas
Yang miris, kelas menengah itu sebagian besar orang muda. Itu digadang gadang sebagai bonus demographi yang akan mengantarkan Indonesia jadi negara maju pada tahu 2045. Faktanya selama 10 tahun ini trend nya bukannya bertambah malah terus turun jumlahnya. Jadi kalau ada istilah middle income trap, itu terlalu romantis menggambarkan situasi kelas menengah Indonesia. Tepatnya low income trap.
Apa penyebab nya.?
Pertama. Mesin ekonomi Indonesia itu di-dominasi oleh bisnis rente. Bisnis yang memanfaatkan akses kepada kekuasaan untuk dapatkan konsesi bisnis. Sehingga penghargaan kepada pekerja rendah sekali. Karena pengusaha menempatkan akses kepada kekuasaan sebagai sumber daya terpenting. Sementara SDM tidak begitu penting. Perhatikan data GINI rasio kepemilikan Lahan 0,54-0,67. Sangat buruk atau timpang.
Kedua. Karena design ekonomi Indonesia mayoritas non-tradeable tentu daya serap angkatan kerja sangat rendah. Ini menempatkan posisi tawar pencari kerja sangat rendah di hadapan pemberi kerja. “ Mau terima kondisi gaji seperti itu ya silahkan kerja. Kalau engga, noh diluar banyak yang nganggur siap gantikan kamu.” Kira kira begitu
Ketiga. Walau belanja APBN sudah diatas Rp 2000 triliun, namun tingkat pemborosannya sangat tinggi. Data BPS, ICOR Indonesia 6,2%-6,5%. Ekonomi hanya tumbuh 5%. Seharusnya bisa diatas 7% kalau ICOR bisa ditekan jadi 4% seperti era SBY. Pemborosan ini tidak menghasilkan industry atau tumbuhnya sector produksi. Maklum uang korup tidak leluasa digunakan. Kebanyakan disamarkan dalam bentuk property yang non tradeable.
Keempat. Walau PDB kita lebih 50% ditopang oleh belanja domestic. Namun karena struktur APBN kita terbelit utang. Mesin ekonomi lebih diarahkan kepada perolehan devisa. Dan itu berasal dari komoditas berbasis SDA yang tingkat serapan tenaga kerja rendah. Ketergantungan kepada factor eksternal sangat tinggi. Ekses terhadap outward looking policy. Sementara future ekonomi global yang uncertainly telah makan korban. Banyak industri yang tumbang. PHK meluas. Sehinga sulit bagi Indonesia melakukan transformasi ekonomi berbasis Industri kreatif yang padat karya
Jadi empat itu penyebabnya. Lantas apa solusinya ? Sangat sulit dapat solusi kalau kita masih ingin melanjutkan strategi pembangunan yang ada selama ini. Tetapi akan sangat mudah kalau ada kekuatan politik untuk melakukan perubahan menekan ICOR serendah mungkin lewat penguatan peran KPK dan BPK. Karena cukup itu aja dilakukan. Selanjutnya biarkan rakyat urus dirinya sendiri. Ekonomi akan tumbuh dengan model baru, atas dasar kemandirian. Rakyat Indonesia itu unique dan sangat tangguh asalkan engga diganggu oleh komprador dan oligarki rente.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.