Minggu, 12 Maret 2023

Populisme dan Media Sosial.

 


Dalam sistem kapitalisme, pertumbuhan ekonomi selalu menghasilkan kesenjangan. Itu terjadi dimana saja. Karena faktor free will dan spirit berkompetisi. Yang kalah bersaing jatuh miksin, bisa karena berbagai faktor, seperti faktor subjetif. Karena merasa penghasilannya tidak cukup memuaskannya. Ada juga kemiskinan relatif. Karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan. Padahal dia sarjana atau tamatan SMU. Sementara mau wiraswasta tidak punya sumber daya. Mau dagang kaki lima diusir satpol PP. Mau kredit bank tidak ada collateral. Adanya tataniaga impor kedele, jagung, bawang putih, gula, garam, membuat petani semakin lama semakin terpuruk. 


Ada juga kemiskinan struktural. Sumber daya tersedia, tetapi negara merampasnya dari masarakat. Contoh, tadinya orang bisa hidup dari hasil hutan. Lah hutan dibakar dan ditebang untuk buat kebun sawit dan tambang. Tadinya ada tanah pertanian, tetapi digusur untuk bangun kawasan industri dan perumahan mewah. Ada juga kemiskinan karena faktor budaya. Dianggap mencari harta dunia itu tidak penting. Diantara lautan kemiskinan itu terdapat segeliintir orang yang kaya raya. Lewat sosial media mereka ini menampilkan gaya hidup hedonisme. Sangat vulgar diperlihatkan lewat unggahan foto ataupun video tanpa batasan. Sikap hedonisme ini menimbulkan kecemburuan sosial bagi mereka yang kalah bersaing menikmati kue pertumbuhan ekonomi. Kecumburuan sosial inilah yang menjadi bahan bakar bagi pengusung politik populisme.


Moffitt dalam bukunya the global rise of populism: Performance, political style, and representation, mengatakan begitu besarnya pengaruh sosial media. Lanskap politik telah diubah oleh hadirnya media sosial. Transformasi ini telah menghasilkan meningkatnya populisme di seluruh dunia. Selanjutnya, peran aktif khalayak lewat  media sosial menjadi peluang besar bagi aktor populis untuk menyebarkan pesan atau agenda politiknya


Proliferasi populisme melalui media bukanlah hal baru. Mudde menguraikan lewat “ Populist radical right parties in Europe”, secara historis di Eropa, partai-partai radikal-kanan populis dan para aktor politik telah menggunakan media, misalnya, TV, radio, media cetak sebagai platform untuk menyampaikan pesan mereka sejak Perang Dunia II. Namun, media sosial menjangkau audiens yang lebih besar dengan konten politik melalui Facebook, Twitter, YouTube, atau Weibo. DeLuca A, Lawson S, Sun Y, dalam The many framing of the birth of a protest movement. Communication, Culture & Critique,  audien sekarang dapat dijangkau dengan kecepatan yang lebih tinggi dan dalam rentang waktu yang singkat.


Mudde dan Moffitt senada menyimpulkan bahwa peran media sosial sangat penting bagi gerakan populisme karena mewakili strategi politik dalam bentuk baru dan menarik. Dalam hal ini, jejaring sosial lebih cocok sebagai metode untuk menciptakan jejaring sosial yang dirancang untuk memfasilitasi difusi perilaku yang diinginkan di antara kelompok orang. Namun, sifat media sosial dalam wacana politik harus dikonseptualisasikan dalam konteks teori demokrasi. 


Moote, McClaran, & Chickering dalam jurnalnya tentang Applying participatory democracy theory to public land planning. Environmental Management, mengatakan bahwa sebagian besar,  teori demokrasi menganut gagasan keterlibatan manusia dalam pengambilan keputusan non-aktivis, atau disebut sebagai demokrasi partisipatif.  Inti dari teori demokrasi partisipatif adalah peran publik atau warga negara dalam evaluasi rasional atas pro dan kontra suatu isu. Ini terutama terjadi ketika individu berpartisipasi dalam pengambilan keputusan atau menawarkan hadiah.


Namun, Wirth, W., Esser, F., Wettstein, M., Engesser, S., Wirz, D., Schul dalam jurnalnya, A theoretical model and research design for analyzing populist political communication, dengan diperkenalkannya media sosial, masyarakat yang terkena dampak didorong untuk menyuarakan pendapatnya meskipun mereka tidak harus terlibat dalam proses demokrasi. Lebih khusus lagi, diskusi ide yang koheren telah digantikan dengan penyebaran ide-ide yang terfragmentasi, yang mengakibatkan penyebaran populisme.  


Untuk tujuan ini, menurut Betz, dalam Radical right-wing populism in Western Europe,  media sosial dalam wacana politik sarat dengan abentuk patologis demokrasi. Demikian pula, meskipun penyebaran populisme melampaui masyarakat Eropa, Mudde, sependapat bahwa populisme telah menjadi arus utama dalam politik demokrasi Barat.


***


Yang namanya media sosial tetaplah product tekhnologi dengan aplikasi yang bisa didesign sesuai tujuan. Misal Bot media sosial yaitu, botnet, bot. Bot sering digunakan untuk menyebarkan keyakinan populisme dan propaganda secara komputasi. Aplikasi ini memang ideal untuk menyebar luaskan pesan kepada kelompok homogen. Ia memang dirancang untuk memanipulasi berita lewat narasi dan video. Distribusi pesan melalui botnet populer karena fanatisme pengguna terpilih yang menunjukkan keinginan tak terpuaskan untuk mengkonsumsi dan sharing tanpa peduli informasi itu valid atau tidak.


Yang membuat kawatir adalah banyak dari pesan-pesan ini membawa narasi yang memecah belah yang cenderung mengubah keterlibatan sipil menjadi dikotomi, mengadu domba satu kelompok orang dengan kelompok lain tanpa memberikan ruang konsensus atau kompromi. Selain itu, situs web dan bot berita palsu menarik traffic dan mendorong keterlibatan secara kolektif dan meluas atau viral.


Di tengah hidup yang berkompetisi, ketidak adilan yang divulgarkan oleh kehidupan hedonism para ASN lewat sosial media, lemahnya law enforcement, korupsi yang gagal diberantas, rasio GINI yang masih lebar, menjadi amunisi aktor politik menawarkan populisme. Dan publik mudah sekali diajak untuk berpartisipasi melawan pembangunan ekonomi yang tidak ramah kepada mereka. Apalagi aktor populisme punya banyak bukti memperkuat argumennya sebagai antitesis dari rezim yang berkuasa, katanya gagal meningkatkan PDB yang berkualitas. Gagal memerangi korupsi dan gagal memerangi kemiskinan. Anies punya itu semua, karena partai pengusungnya bukan bagian dari partai yang mendukung penguasa.


Solusi mengatasi populisme?

Tahun lalu hampir semua seleb di China kehilangan “like dan subscriber atas setiap tampilannya di media sosial. Mengapa? pemerintah buat aturan melarang berita tetang artis menyediakan pilihan “ like or subscribe.” Otomatis rating seleb tidak bisa diadakan lagi. Ini sebagai bagian dari kampanye menghapus budaya Fandom.


“ Kalau mereka kerja sebagai artis atau penyanyi itu wajar saja mereka dapat uang, dan kaya. Tetapi kalau cuman nama dijual lewat sosial media, acara sampah, mereka kaya karena like or subscribe, itu sudah jadi racun kebudayaan. Bisa merusak mental anak muda” kata teman saya di China waktu kami chat. 


Memang sejak adanya dunia internet. Banyak sekali kegiatan yang kena ban pemerintah China. Kegiatan cari dana amal lewat sosial media. Mau ormas agama atau sosial. Engga ada urusan.  Dilarang keras. Apa pasal? karena pemerintah China anggap penggalangan dana sosial lewat sosial media itu lebih banyak buruk dampaknya bagi kesehatan mental rakyat. Makanya disana tidak ada seleb sosmed yang dapat duit dari like atau iklan. Termasuk dilarang buat konten hedonisme.


Bahkan pemerintah buat aturan agar provider ecommerce Ojol harus menjamin pendapatan driver diatas UMR. Termasuk harus tanggung biaya asuransi bagi driver. Karena pemerintah engga mau provider ecommerce kaya hanya modal tekhnologi, yang pada waktu bersamaan mengorbankan driver. Pemerintah juga menghapus rating terhadap para provider ecommerce. Karena itu bisa menipu bursa.


“ Jadi apa yang diinginkan sebenarnya dengan adanya internet dan ecommerce? tanya saya.


“ Untuk memudahkan berkomunikasi dan bertransaksi saja. Soal bisnis dibalik itu tetap harus mengikuti standar modal. Kerja  real ya pantas kaya. Engga bisa ongkang kaki modal cuap dan gaya, dapat uang. Itu aja. Makanya pemerintah  buat aturan keras soal kerahasiaan data pelanggan. Kalau terbukti, tidak ada ampun, provider itu ditutup. Tetapi bukan hanya lewat aturan, pemerintah siapkan tekhnologi yang menjamin kerahasiaan pengguna internet.” Kata teman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...