Pembantu Jokowi.
Jokowi itu orang sederhana. Bukan hanya dari segi penampilan. Cara berpikir juga sederhana. Jadi sebenarnya kalau jadi pembantu Jokowi itu enak. Mengapa ? Dia nothing to lose dan tidak ada kepentingan personal. Benar benar untuk rakyat. Tinggal pembantunya kerja menterjemahkan secara detail perintah Jokowi itu. Asalkan dilakukan dengan niat baik, pasti sukses.
Yang jadi masalah adalah, para pembantu itu punya agenda sendiri. Entah itu karena faktor bisnis atau karena karena faktor politik. Nah disaat mereka menjabarkan tugas dan tanggung jawabnya. Mereka mulai berpikir bagaimana ngakali Jokowi. Setidaknya, kerjaan keliatan lancar namun dibalik itu deal dengan teman teman tercapai. Ya dualisme. Apa yang terjadi dari sikap pembantu yang dualisme itu. Banyak agenda Jokowi yang sukses tetapi dalam jangka panjang bisa menimbulkan masalah.
Misal, pembangunan jalan tol di sumatera sukses,. Namun menimbulkan hutang gigantik bagi BUMN. Belum lagi proyek Bandara, Pelabuhan, KEK. Karena proyeknya B2B. Sulit mengawasi seperti halnya proyek APBN. Apakah terjadi mark up atau tidak, sulit ditangkap KPK, Karena itu bisnis. Lihat aja contoh terdekat. Kasus Formula E yang dilakukan secara B2B oleh Jakpro. Yang jelas kalau gagal bayar, pasti negara bailout lewat APBN. Mengapa itu terjadi ?
Saya ambil pendapat ahok saja, Karena saya percaya ahok. Menurut Ahok kebiasaan direksi BUMN “main mata” dengan meneg BUMN. Komisari engga bekutik. Karena yang milih komisaris adalah Meneg BUMN. Jadi wajar saja, Kalau direksi BUMN mementingkan lobi kepada Meneg BUMN daripada bicara dengan komisaris. Hebatnya, resiko ada pada komisaris yang teken persetujuan atas nama pemerintah.
Nanti kalau ada masalah. Menteri buang badan. Salahkan direksi. Dengan bangga pecat direksi dan ganti komisaris. Sama seperti Anies, buang badan dan salahkan Jakpro, soal formula E. Salahkan Sarana Jaya soal rumah DP 0. Padahal keputusan apapun BUMD tergantung kepada Anies.
Kalau andan nonton youtube pidato pengarahan Jokowi kepada dirut BUMN dan kemudian bicara khusus kepada dua BUMN besar yaitu PLN dan Pertamina. Sebenarnya sudah jelas. Kalau punya malu. Mundur aja. Karena itu kali pertama Jokowi marah dan dpublikasi. Ingat 1/3 PDB kita berasal dari BUMN dan semua proyek strategis dikerjakan BUMN. Kalau BUMN bermasalah, negara ini demam.
***
Rasionalisasi BUMN.
Sejak tahun 2008 sudah ada 70 anak perusahaan BUMN ditutup. Catat. Bukan BUMN tetapi anak perusahaan BUMN. Status hukumnya beda dengan BUMN. Sebenarnya ,motif berdirinya anak perusahaan BUMN itu ada tiga. Pertama. Memudahkan leverage sumber daya BUMN tanpa menggangu neraca BUMN sebagai induk. Contoh Waskita bangun jalan tol. Kalau waskita pinjam uang ke bank untuk kontruksi akan mengganggu posisi neraca. Nah dibuatkan anak perusahaan yang sebenarnya bertindak sebagai SPC untuk pinjam ke bank dengan skema non recourse loan. Yang teken hutang anak perusahaan tetapi uangnya untuk Waskita membangun jalan toll.
Kedua, Penugasan negara. Contoh Garuda Bangun hotel di Papua. Ini sebenarnya penugas negara dalam rangka meningkatkan kunjungan wisatawan ke wilayah potensi yang kurang sarana akomodasi. Kan engga mungkin swasta berani invest di hotel bintang V di Papua. Dengan adanya hotel itu, route terbang ke Papua menjadi bernilai. Ada value business tourism pada maskapai penerbangan.
Ketiga, efisiensi sumber daya. KS butuh bahan baku berupa biji besi. Karena diperlukan stok besar untuk menjaga stabilitas produksi baja. Tanpa stok, pabrik dengan investasi besar itu beresiko collaps. Kalau KS yang langsung stok, dikawatirkan akan menggangu neracanya. Nah untuk itu, diperlukan anak perusahaan. Mengapa ? stok itu perlu investasi besar dan jelas beresiko. Karena harga biji besi volatile di market. Jadi anak perusahaan disamping sebagai stokis bahan baku juga jadi trader di pasar. Sementara KS hanya focus pada core value nya saja.
Memang banyak anak perusahaan yang merugi dan tidak produktif. Tapi tidak bisa solusinya tebas semua. Kalau hanya tebas semua dan berbangga dengan core value BUMN untuk mencapai laba, jangan jangan sudah sudah ada swasta yang akan menggantikan anak perusahaan yang ditutup itu. Pasti lebih sadis kalau swasta yang menggantikan. Mengapa?. Pasti rente. Contoh, berapa banyak aset tanah PT Sarinah yang dikelola anak perusahaan pindah ke konglomerat. Ya, aset BUMN dipreteli lewat anak perusahaan dan kemudian pada waktu bersamaan jadi sapi perah lewat skema kemitraan bisnis. Kan kalau BUMN rugi, ada APBN yang bailout.
Saran saya. Yang harus dilakukan adalah audit menyeluruh management BUMN tersebut. Kemudian, focus kepada tiga hal itu untuk melakukan langkah rasionalisasi. Dengan langkah rasionalisasi itu kan bisa tahu. Mana yang masih relevan dengan tiga hal itu dan mana yang tidak. Yang tidak relevan, ya tutup saja. Tetapi kalau masih bisa dimanaatfkan, ya terus aja.Bila perlu anak perusahaan itu dijadikan mitra UMKM untuk mendapatkan akses kepada sumber daya BUMN. Kalau tekhnologi kurang atau skill kurang atau modal kurang. Udang investor strategis untuk jadi mitra. Sehingga tetap menjadi banper BUMN mengelola sumber dayanya.
***
Pembangunan LRT jabotabek.
Proyek LRT ( Light rail Transit ) Jabotabek awalnya digagas tahun 2015. Namun akhirnya tahun 2017, proyek ini oleh pemerintah pusat diserahkan kepada PT. Adhi Karya dalam bentuk proyek penugasan. Dengan pendanaan dari Tiga BUMN, yaitu Adhi Karya, PT. kAI dan Multi Sarana Infrastruktur. Maka dibentuklah konsorsium untuk mengelola Proyek LRT yang menelan biaya Rp. 31 triliun. Darimana sumber dana ? berasal dari equity sebesar 30% dan sisanya hutang bank dalam skema non recourse loan.
Agar proyek ini layak, proyek ini bukan merupakan bagian dari public service tetapi komersial. Jadi semacam B2B. Namun ketika kredit diajukan. Ketiga BUMN itu tidak layak dapat kredit. Apa pasal? DER ( debt to equity ratio) mereka sudah jeblok. Bingung kan. Udah tahu engga qualified tetapi maksa jadi investor. Gimana solusinya ? Mereka datang ke Pemerintah pusat. Diusulkan agar Proyek LRT dapat jaminan dari pemerintah. Kalau gagal maka APBN yang tanggung. Untuk itu perlu Perpres. Masalah selesai. Proyek start dibangun.
Pinjaman dari bank atas proyek LRT belum juga cair. Terpaksa Adhi Karya mencari dana lewat skema EPC Loan atau kredit kontruksi. Dengan jaminan pembayaran dari pinjaman proyek LRT yang akan didapat dari bank. Dampaknya cash flow Adhi Karya kejepit. Sempat minus Rp. 2 triliun lebih. Akhirnya setelah pemerintah turun tangan, pinjaman bank bisa cair. Sehingga pembayaran kepada Adhi Karya dapat dilaksanakan sampai 8 kali termin. Eh muncul lagi masalah. Anggaran proyek membengkak 2,6 triliun, boss. Equity harus ditambah agar kredit bank tidak tersendat. Akhirnya negara gelontorkan dana APBN lewat PMN sebesar Rp. 6,9 triliun.
Kemudian, kalkulasi punya kalkulasi, Konsorsium datang kepada pemerintah. Bahwa proyek LRT engga bisa pure komersial. Harus ada subsidi. Kalau engga, proyek ini akan terus merugi. Bank engga mau lanjutkan kredit. Jaminan pemerintah terpaksa dicairkan. Akhirnya mau tidak mau, Menteri Keuangan setuju memberikan dana PSO. ( public Service Obligation). Artinya pendapatan proyek ini dijamin untung oleh negara. Konsorsium tersenyum lega. Dapat cuan dari kontraktor, dan bisnis dijamin engga rugi.
Hebatnya, dari awal mereka begitu meyakinkan bahwa LRT ini proyek B2B. Setelah proyek berjalan, mulai create story. Minta jaminan pemerintah. Setelah diberi jaminan, minta lagi PMN untuk mencukupi keperluan modal agar skema Non Recourse Loan dari Bank dapat terpenuhi. Setelah diberi PMN, minta lagi subsidi dalam bentuk PSO, agar proyek engga rugi. Udah begitu, sampai saat ini proyek tersebut tak kunjung selesai. Bahkan proyek molor hampir 2 tahun dan ditargetkan rampung pada 2022 itu juga mengalami kecelakaan saat proses uji coba rangkaian kereta beberapa waktu lalu. Apes banget.
Apa yang dapat kita simpukan dari cerita diatas? Dari awal memang targetnya bukan bisnis. Tetapi ciptakan proyek ongkos, yang akhirnya negara yang tanggung semua. Mereka jenius ngakalin negara. Dan kejeniusan itu dibayar oleh pemerintah dengan gaji besar dan fasilitas wah. Makanya perencanaan bisnis engga ada. Hanya sebatas itu kemampuan BUMN kita. Sama seperti emak emak di rumah. Belanja doang pintarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.