Kamis, 01 Agustus 2019

Saling menguatkan...


Aku mendekat, kurapikan kain yang menutup kakinya. Kuraba keningnya. Aku lega merasa ada kehangatan disana. Kuamati wajah Mira sekali lagi. Aku senang. Dia tertidur. Aku kembali ke sofa menonton tivi. Acara TV biasa saja. Pisah-cerai artis. Heboh, aneh, bagai pernikah seperti bursa saham. Kadang hot kadang down. Tapi aku terus menonton dalam gelisah. Aku tidak tahu apakah aku sanggup hidup tanpa Mira. Aku malah berharap agar aku lebih dulu panggil Tuhan daripada Mira. Pikiranku kembali kepada Budi. Siapa tahu Budi ada lagi di tivi. Atau Amir, Aini telp soal abangnya.
Di saluran lain film kartun, masak-memasak. Ah. Masakan Mira tentu mampu bersaing kalau tak lebih sedap. Tiga puluh delapan tahun seleraku dimanja, asam urat kolesterol pun tak singgah. Cuma umur, terus menua. Tak bisa lagi merasa sedap masakan Mira. Gigi udah banyak tanggal.
”istrimu hebat sekali masaknya. Pantas kau selalu ingin cepat pulang selepas jam kantor” Kata teman kantorku waktu ku jamu makan malam di Rumah.
Gimana engga hebat. Dari kecil Mira sudah dididik orang ibunya yang jago memasak.” Masakan Mira tak bisa berbanding lain !” puji Uni ketika aku disuruh pulang dengan alasan ibu sakit, tahunya mau dijodohkan. Umurku 28 waktu itu. Keluarga berharap agar aku segera menikah. Tak elok bujang hidup sendiri di rantau, kata mereka.
“ Apa iya sehebat itu Mira. Mana lebih lamak masakan restoran Sederhana. “ kataku merendahkan. Tapi ibu cepat sekali menjawab“ Jangan mencumeeh kau. Ibu saja takjub,  berharap Mira jadi menantu ibu.”
Ayah ikut-ikutan. Saat kami berdua, diajaknya aku bicara, istilah dia, ”obrolan antarlelaki”. Bahwa cinta seorang lelaki diawali dari tengah, dari perut, naik ke dada, baru turun ke bawah. Tak sebaliknya: dari dada atau hati dulu macam anak baru baliq. Apalagi dari bagian tubuh bawah.
”Mengapa begitu?” tanyaku.
”Karena perut itu pusat, keseimbangan. Penyakit asalnya dari perut. Pun nafsu, keserakahan. Karena itu, perut harus kita jaga dengan makanan sehat sekaligus sedap. Karena itu lelaki memerlukan perempuan yang pandai memasak, cerdas, baik, selain cantik. Ya, seperti ibumu. Juga, Mira.”
”Memang kalau dari payudara dulu , kenapa” tanyaku.
“Cinta kau mudah guyah,” ujar ayah. ”Dada itu emosi, perasaan. Dan perasaan rentan terhadap cuaca, mudah berubah.”
”Kalau dari bawah dulu?”
Tiba-tiba ayah melotot. ”Ongok kau!” Ayah bilang. ”Dari tadi aku kasih permisalan, tak juga paham kau. Semakin lama tinggal di kota berubah jadi kampret kau. Dengar ! Bejat, tahu. Juga tolol. Kalau kau berpatokan ke bawah saja, kau akan seperti hewan. Lubang bawah itu kenikmatan hanya sesaat, mungkin sekian detik saja. Setelah itu selesai. Tapi kalau itu diotakmu, kau akan berdalil poligami, tak puas-puas walau udah tiga istri sampai empat istri, bak minum air laut!.
”Oh. Eh, pernah Ayah minum air laut? Maksudku, waktu muda.”
”Tak suka aku!” Ayah kembali membelalak. ”Kau? Mau? Sudah?”
”Ah, akupun tak suka, Yah,” kubilang.
Muka ayah cerah. ”Makanya, lekas kau dekati si Mira” katanya. Aku tahu, memang Ayah paling bersemangat menjodohkan aku dengan Mira, apalagi Mira ponakan ayah sendiri.
***
Mira bergerak. Matanya perlahan terbuka. Dia lihat aku sejenak, lalu beralih melihat tivi. ”Ada lagi?” tanyanya. Suaranya lirih seperti bisik. Matanya redup, hatiku teriris.
”Tidak.”
Cukup sekali anak kami, Budi, terlihat di tivi diapit pengacara, aparat KPK. Sejak itu semangat hidup Mira jadi jatuh. Dia rapuh sekali. Jangan lagi tampak, di TV oleh Mira.
Anak, setelah dewasa, beranak pula, memang tidak lagi di bawah-asuh orangtua. Tapi, siapa yang dapat menghapus hubungan emosi antara anak dan orang tua. Apalagi ibu. Derita anak adalah derita Ibu.
”Amir dan Aini?” suara Mira lemah menanyakan kedua anaknya.
”Mereka belum telp Mir. Pindah ke kamar, ya. “
“ Kenapa mereka tidak telp “ suara Mira lemah sekali.
“ Mungkin tidak ada yang perlu dikabarkan. Kekamar ya Mir” kataku
“ Aku masih ingin di sini.”
”Kalau begitu tidurlah kembali. Dokter menyuruhmu istirahat. Tuhan juga.”
Ia berusaha tersenyum kepadaku. Manis sepeti awal ketika aku melamarnya menjadi Istri. ” Dari mana uda tahu Tuhan menyuruhku istirahat,” dia bilang dengan wajah canda.
”Tentu.” Kutinggalkan tempat dudukku, aku dekati dia. ”Bukankah Tuhan mita kita menjaga diri kita terlebih dahulu sebelum menjaga orang lain. Karenanya Tuhan minta kita Ikhlas.”
“ Tapi Budi bukan orang lain, Uda.”
” Ya, Uda tahu. dia anak kita. Tapi bukan diri kita. Tidurlah.”
Mira menarik napas, telentang lagi. Matanya perlahan terkatup. Bulu matanya lentik dilindung alis lengkung halus. Kulitnya putih, bersih. Tubuhnya masih ramping. Aku kecup keningnya dengan sayang. Serasa baru kemarin kami menjadi pengantin.
Tak lima menit, matanya terbuka lagi. ”Aku ingat ayah Uda,”
”Ya, ya. Aku mengerti. Tidurlah kembali. Istirahat.”
“ Ayah sangat percaya aku bisa menjaga perut Uda. Dan, setiap hari aku tak lupa untuk ingatkan Uda jangan bawa uang haram ke Rumah. Selezat apapun masakanku tetap saja itu akan jadi sumber penyakit. Iya kan Uda. “
”Ya. Tentu. Marina, istri Budi, juga pandai memasak sepertimu.”
“ Tapi, kan dia sibuk pula sebagai pegawai BUMN. Apa iya dia ada waktu memasak untuk Budi. Mengingatkan Budi agar uang halal saja yang dibawa pulang. Jangan jangan diapun tak beda dengan Budi. Sama sama sibuk?”
”Kalaupun sibuk tentu dia pesan pembantu apa yang mesti dimasak. Dia ajari mereka memasak, agar yang disantap tidak hanya sedap tetapi juga sehat.”
”Kalau begitu, kenapa Budi berurusan dengan KPK.”
”Tidur sajalah kembali. Istirahatlah,” kubilang.
”Mataku tak bisa pejam, Uda. Pikiranku terus kepada Budi , putra tersayangku.”
” Sayang itu pilihan. Tetapi cinta kepada Allah segala galanya. Jangan kau larut sampai berprasangka buruk kepada Tuhan. Jaga kesehatamu. Dokter menyuruhmu istirahat.”
”Ya, Tuhan juga.” Ia senyum. ”Tapi, menurut Uda, apakah Budi tidak selalu makan di rumah?”
” Tak tahu aku. Tapi akupun sering tak makan dirumah. Di kota macam Jakarta, tak mungkin orang makan siang di rumah lalu kembali ke kantor. Kota itu bukan lagi big village, seperti waktu kita tinggal di situ.”
Mira menarik napas. Aku bangkit dari sofa, mendekati Mira. ”Tidurlah kembali. Istirahat,” kataku membujuk. ”Atau, kusuruh Sinah bikin teh? Hangat-hangat. Mau?”
” Aku hanya ingin dekat Uda. Aku kangen anak-anak, menantu, dan juga cucu.”
”Aku suamimu dan juga sahabatmu. Kita menua bersama. Cukup lihat aku saja. Soal anak dan cucu, cukuplah rindu kita titip dalam setiap doa. Aku janji, jika sembuh nanti, kita tengok mereka ke Jakarta.”
”Mereka dulu anak-anak yang manis. Budi, Amir, Aini. Tapi Budi memang lain. Dia paling pintar dibanding adik adiknya. Dia selalu juara kelas. Mudah sekali diterima di PTN. Lulus dengan cepat dan cepat pula berkarir di Kementrian. Aku sangat bangga dengan Budi. Kadang membuat Amir dan Aini cemburu karena aku sering mengulang ngulang kehebatan Budi dihadapan mereka agar mereka meniru kakaknya.”
”Ya aku tahu. Kau selalu merendahkan Amir yang hanya tamatan SMU jadi pedagang kain di Pasar. Tetapi dia sehat dan hidupnya rukun dengan istrinya. Aini hanya tamat sekolah Guru. Walau tak jadi PNS guru tapi punya suami guru. Hidup mereka juga rukun dan bahagia. Senang hati melihatnya. Bagiku semua anak sama. Semakin lemah semakin besar perhatianku kepadanya. Dan semakin kujaga perasaannya. Semakin kusyuk aku berdoa untuknya. “
MIra tersenyum kepadaku. Manis sekali. ”Uda tahu,” dia bilang, memegang lenganku. ”Itu yang membuatku dulu tidak ragu menerima Uda waktu kita dijodohkan. Ketegaran, dan kesabaran Uda. Uda bukan pejabat tinggi, tetapi Uda pekerja keras dan jujur. Mira, yakin semua uang yang Mira terima itu halal. Lantas kenapa Uda suka dengan aku.”
”Kau pandai memasak.'Kataku tersenyum. " Tidurlah sekarang, kau perlu istirahat.”
Perlahan, matanya pejam kembali. Satu, dua, lima, sepuluh menit berlalu.
***
Mira masih tidur di sofa ruang tengah. Aku masih duduk di sofa mengamati Mira, sesekali melihat ke tivi. Alangkah lengang petang. Betapa sunyi siang di ujung hari. Adakah anak-anak, terutama Budi, tahu, bahwa ayahnya, lelaki tua ini tak sesabar dan setegar yang dilihat ibunya? Adakah dia tahu ada yang remuk di dalam, justru di penghujung usia?
Apa laku Budi di kantor sehingga uang itu menjelma nafsu serakah, dimakan, mengalir dalam darah? Mengapa tak ia jaga perutnya, seperti ayahnya, juga kakeknya? Seberapa banyak uang korupsi yang dimakannya sampai sampai masakan ibunya sedari kecil tidak lagi berbekas dalam darahnya. Entahlah. Anak akan menjadi cobaan orang tua sepanjang usia.
Tak lama lagi, seiring tiba senja, stasiun-stasiun tivi akan berlomba menyiarkan berita. Umumnya mengenai korupsi. Apakah anak itu, Budi, bakal muncul lagi di sana; seperti kemarin. Dan aku ayahnya bisa sekuat bayangan ibunya.
Aku alihkan mata dari tivi, menengok ke arah MIra. Dia masih tidur di sofa, di ruang tengah, tak bergerak.
Napasnya halus, lunak. Dadanya bak tak beriak. Mukanya bersih, putih. Atau, pucat? Tidak, tidak. Kulit MIra memang putih, bersih, dan di saat tidur mukanya tampak semakin putih. Namun aku mendekat juga. Kuraba keningnya, lalu merasa lega karena kehangatan mengalir di sana.
Di luar, hari terus berenang menyelesaikan petang. Seperti umur, serupa usia; tidak henti menarik garis menuju batas. Tivi memainkan gambar-gambar. Tik-tok jam di dinding. Sesaat lagi berita-berita. Dadaku kian berdebar. Aku lihat berganti-ganti dari MIra ke tivi, dari tivi ke Mira.
Lalu telepon berdering. Jantungku bergetar hebat.
”Halo? Ayah?”
”Ya. Aini ? Ya, ini Ayah. Ada apa?”
“ Uda Budi sudah jadi tersangka, Ayah. Dia pakai rompi orange. Tadi Aini lihat di TV.”
Badanku lemah. Aku berusaha melangkah dengan sisa tenagaku mendekati Mira. “ Uda, jangan tinggalkan Mira. Uda…” hanya itu suara sayup terdengar. Aku tidak sadarkan lagi.
Ketika sadar. Yang pertama kulihat adalah Mira. Aku berada di rumah sakit. Aku genggam jemari Mira dengan air mata berlinang. " Aku tidak mengkawatirkan Budi, Mir. Tidak. Aku mengkawatirkan kamu, Mir. Aku takut sekali. Takut kamu pergi lebih dulu manakala mendengar kabar Budi di penjara. Entah bagaimana aku kalau kamu pergi. Siapa yang akan memberikan senyum ketika aku bangun pagi." Kataku.
Dia tersenyum manis sekali. “ Uda sempat masuk ICU 8 jam. Dan sekarang sudah lewat masa kritis. Maafkan aku Uda. “ Mira berurai airmata. “ Karena selama ini aku membuat Uda tertekan meliat kekawatiranku terhadap Budi. Aku lupa bahwa anak anak itu bukan milik kita. Mereka milik Allah. Tugasku adalah menjaga Uda sampai akhir usia. Karena itulah pertanggungan jawabku dihadapan Tuhan. Kita akan hadapi cobaan ini dengan ikhlas. Kita akan doakan selalu Budi agar dia bertobat. Bukankah anak akan menjadi cobaan kita sepanjang usia. “
Senja menjemput malam. Manusia akan selalu diuji dalam susah senang. Iman pun akan turun naik bagaikan bursa saham. Yang penting bagaimana melewati hidup sampai pada penghujung jalan untuk menjadi sebaik baiknya kesudahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...