Dalam buku Why Nations Fail , Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara dapat ditelusuri kembali hanya pada “institusi, institusi, institusi”. Jadi kelembagaan yang ada pada Executive, Legislatf, dan Yudikatif, itu yang menentukan. Bukan geografi, budaya, atau SDA melimnpah yang menentukan. Artinya Negara akan sukses dalam arti mampu mendelivery kemakmuran kepada rakyatnya apabila lembaganya kredibel ditandai dengan tegaknya law enforcement. Sebaliknya negara akan gagal kalau kelembagaannya lemah dan tidak kredibel.
Kalau bicara tentang lembaga maka kita tidak bisa terjebak dengan separangkat aturan dan hukum yang ideal melingkari lembaga trias politik itu. Aturan tinggal aturan, kalau pemimpin lembaga itu tidak kredibel tetap saja law enforcement tidak jalan, dan lembaga tidak efektif malaksanakan misi UU dan konsitusi. Pimpinan lembaga tidak sepenuhnya salah. Karena di Indonesia yang menganut sistem presidentil, penanggung jawab tunggal terhadap semua lembaga itu ada pada presiden sebagai kepala negara. Salah presiden, maka salah semua lembaga. Dan dalam sistem demokrasi, presiden yang buruk karena lahir dari mayoritas rakyat yang juga buruk.
Kita bisa melihat data index Korupsi setiap negara untuk mengukur sejauh mana pemerintah itu punya kredibilitas untuk men-drive istitusi-institusi ekonomi dan politik yang inklusif—yaitu lembaga-lembaga yang pluralistik, akuntabel, dan berbagi kekuasaan serta peluang ekonomi dan politik secara luas di masyarakat—mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui penciptaan insentif untuk investasi, pengambilan risiko, dan inovasi. Skor Indeks Persepsi Korupsi atau IPK Indonesia ada di angka 34 pada tahun 2014 dan 2023. Peringkat RI diurutan 115 dari total 180 negara.
Apa artinya ? dari 180 negara di dunia, Indonesia berada urutan ke 115 yang sangat jauh sekali dengan negara di top 10 ICP seperti Denmark, Finlandia, New Zealand, Norwegia, Singapore, yang mampu memperkenalkan dan mempertahankan lembaga-lembaga ekonomi dan politik yang inklusif, sementara negara-negara lain yang ICP buruk seperti Indonesia, Ekuador, Malawi, Filipina, Sri Lanka, dan Turki masih beroperasi di bawah sistem ekstraktif yang hanya memberikan keuntungan bagi kelompok elit yang sempit.
Buruknya Index korupsi karena lembaga yang tidak kredibel. Dan itu juga karena rendahnya integritas Presiden sebagai Top Executive. indeks integritas nasional yang dilaporkan KPK sebesar 70,97 poin pada 2023. Sejak Jokowi berkuasa, Fakta bahwa Indeks Integritas Nasional secara umum mengalami kecenderungan penurunan, mengindikasikan bahwa semakin rendahnya komitment, semakin brengsek tata kelola negara dan semakin mudahnya korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.