Saya tidak yakin Jokowi itu tidak memperhatikan rencana detail dalam setiap pembangunan proyek. Background dia pengusaha. Tentu paham cost and benefit. Yang jadi masalah adalah dia dihadapkan posisi APBN yang defisit. Sementara dia perlu percepat pembangunan infrastruktur. Maklum kita sudah jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga soal penyediaan infrastruktur ekonomi. Kan begitu banyak ketinggalan kita. Darimana memulainya dengan anggaran terbatas. Darimana duitnya? Itulah pokok persoalan. Jokowi tidak duduk diatas uang tapi diatas banyak masalah yang diwariskan oleh presiden sebelumnya.
Maka yang dilakukan Jokowi adalah pertama, dia focus kepada recana strategis saja atas dasar geopolitik. Tentu berkaitan dengan visi menjadikan indonesia sebagai poros maritim dunia. Kedua, koneksitas antar wilayah. Ketiga memanfaatkan BUMN sebagai penerima tugas membangun proyek dengan skema PINA ( pembiayaan investasi non anggaran) atau dalam skema bisnis, KPBU. Diharapkan dengan tiga hal itu Jokowi bisa menyelesaikan sebagian masalah bangsa ini dibidang infrastruktur ekonomi.
Dalam pelaksanaannya memang bagus. Cepat mengambil keputusan. Cepat dibangun. Dan selesai. Namun tanpa disadari Jokowi, dalam pelaksanaanya terjadi penyimpangan yang sehingga berdampak kepada beban hutang BUMN yang semakin besar di bank maupun lewat pasar modal obbligasi. Banyak proyek seperti Palabuhan Kuala Tanjung, Palabuhan Bitung, Pelabuhan Sabang, Palabuhan Patimbang, yang selesai dibangun namun penggunaannya tidak sesuai dengan rencana strategis. Terjadi kesalahan design yang sesuai peruntukan idealnya.
Jalan Tol.
Jalan Toll yang dibangun seharusnya berdasarkan motive business semata. Pemerintah hanya memberikan konsesi bisnis dan skema KPBU, termasuk didalamnya VGF. Pelaksanaannya tergantung pasar lewat Tender offer. Siapapun yang menang tender ya silahkan bangun. Resiko ada pada Perusahaan. Pemerintah menjauh saja dari resiko. Tapi dalam prakteknya, jalan toll itu masuk program strategis nasional. Artinya jalan Tol berubah dari business menjadi tugas pemerintahan. Proyek yang tidak feasible dilaksanakan lewat penugasan kepada BUMN. Yang feasible diserahkan kepada swasta seperti ASTRA dan lainnya.
Yang konyolnya baik BUMN maupun Swasta dapatkan uang dari bank dalam negeri. Disamping itu BUMN juga dapat tambahan modal dari APBN lewat PMN. Kini semua BUMN Karya yang dapatkan penugasan bangun jalan Toll terancam default utang. Tentu ini akan memaksa pemerintah harus bailout lewat reststuktur. Klaim keberhasilan Presiden Jokowi membangun 1.900 kilometer jalan tol selama tujuh tahun, tapi pada waktu bersamaan jalan nasional yang rusak mencapai 3.848 kilometer. Padahal jalan nasional itu tugas utama pemerintah. Engga diurus.
Tujuan strategis membangun jalan tol itu sebagai sarana koneksitas antar wilayah dan peluang terbukanya pusat ekonomi baru. Itu dari awal kita mendukung. Ternyata setelah jalan toll jadi, tidak nampak dampaknya. Mengapa ? Pembangunan jaringan jalan tol tidak terintegrasi dengan simpul-simpul bangkitan seperti pelabuhan, bandara, kawasan industri atau pariwisata. Jadi memang dibangun bukan karena visi developer tapi kontraktor. Visi negara bahari terhalau sudah.
KEK (Kawasan Ekonomi kHusus).
Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus dicanangkan pemerintah dengan tujuan membangun pusat ekonomi baru yang berdasarkan potensi wilayah, baik potensi karena SDA maupun lokasi strategis. Ini seperti meniru ide special economic zone dari China yang sukses mengembangkan yang telah menerapkannya lebih dulu di sepanjang pantai Tenggara China, dengan Shenzhen, Shantou, dan Zhuhai terletak di provinsi Guangdong dan Xiamen terletak di provinsi Fujian. Sepertinya kita mau mengkoreksi kegagalan Batam sebagai KEK.
Kalau di analogikan. KEK itu semacam cluster ekonomi. Di KEK hukum dan standar sosial berbeda dengan diluar KEK ditujukan untuk investasi Asing dan lokal. Semua perizinan di keluarkan oleh otoritas KEK. Dilengkapi pusat riset sesuai cluster industri yang akan dikembangkan, pusat pendidikan dan latihan sebagai penyedia tenaga kerja sesuai dengan standar international, infrastrutkur dasar kelas 1. Dilengkapi dengan ekosistem business yang terintegrasi dari sejak logistik, supply chain, financial.
Hingga saat ini, pemerintah telah menetapkan 15 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), terdiri dari 9 (sembilan) KEK Industri dan 6 (enam) KEK Pariwisata. Dari 15 KEK tersebut, 11 KEK telah beroperasi atau sudah melayani investor. Tapi dari 11 yang boperasi hanya empat yang serius jalan ( walau jalannya sepeti wanita hamil), yaitu KEK Galang Batang, KEK Mandalika, KEK Kendal, dan KEK Sei Mangkei. Sisanya 10 KEK masih bergulat dengan masalah, dan bahkan 1 KEK diusulkan untuk dicabut karena berjalan di tempat.
Mengapa ? alasannya banyak. Kita kan jago cari alasan. Apalagi pejabatnya lulusan S3. Tapi lucunya pas mau bebaskan lahan, dan bangun, engga ada tuh kendala. Semua semangat 45. Maju tak gentar bela yang bayar. Gebyar terussss. Setelah uang habis, cerita juga habis. Mulai dah saling salah menyalahkan antar pejabat. Eh lucunya sekarang masih ada 8 loh KEK yang sedang dibangun.
Semua pejabat dan BUMN itu orang pintar dan well educated. Mereka sangat paham proses perencanaan dan tekniks.. Mereka juga paham aturan dan hukum. Mereka paham business model, financial model. Tapi ketika rencana asing terlibat dalam skema business to business yang menuntut transfaransi, mereka juga jago yakinkan menteri dan Presiden bahwa itu bisa mereka lakukan tanpa mitra swasta atau asing atau mengubahnya jadi penjaminan pemerintah lewat APBN seperti kasus Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Yang pasti pesta adalah pihak yang terlibat dalam pembangunan proyek itu. Ya dari kontraktor, pemda, kementrian, dan termasuk ring 1 presiden. Maklumnya duit dari APBN dengan pos “ penugasan pemerintah”. Mereka menikmati rente dari pembebasan tanah dan biaya kontruksi. Sementara resikonya bagaimanapun akhirnya ada pada pemerintah. Coba apa jadinya kalau utang tidak terbayar? Ya pemerintah harus bailout.
***
Pada awal kekuasaan jokowi. Saya penuh percaya diri bahwa arus perubahan akan terjadi di Indonesia. Saya tidak kawatir. Walau PDIP yang mengusung Jokowi dikroyok koalisi Merah Putih. Koalisi gemuk. Tancap terus. Menang! Kebayang engga. Partai pengusung Presiden yang menang pemilu adalah minoritas di DPR. Pastilah DPR itu jadi medan neraka bagi Menteri kabinet. Belum lagi serang oposisi dari luar parlemen semakin kencang. Tidak ada hari tanpa bully terhadap Jokowi. Tetapi karena itu pemerintah bisa bekerja efisien. Mengapa ? karena check and balance bekerja efektif.
Perencanaan dan realisasi kerja APBN dikritisi terus oleh DPR. Pada saat itu Jokowi terbang ke Beijing. DPR ribut. Karena Jokowi dituduh hutang ke China. “ Tidak. Ini dana B2B. Tidak ada melibatkan APBN.” Kata Jokowi. Kemudian rencana proyek kereta Cepat jakarta bangdung era SBY di eksekusi. Kembali tidak pakai APBN. Itu skema B2B. Ada loh Perpres Jokowi. Saya bersama ralawan berjuang melawan serangan opisisi lewat sosial media. Berusaha meluruskan. Bahwa paradigma pembangunan sekarang adalah B2B. Bukan utang. Mari berubah! Keren euiii.
Nah tahun 2016 koalisi merah putih bubar dan sebagian besar mereka bergabung ke koalisi indonesia hebat, koalisi Pemerintah. Sejak saat itu tekanan kritik DPR terus berdengung. Namun setelah tahun 2017, koalisi sudah benar benar cair bersama pemerintah. Saat itulah arah kebijakan mulai dibonsai. Tahun demi tahun, saya mulai bingung. Mengapa Jokowi tidak lagi kontrol sepenuhnya ? Sepertinya Golkar begitu efektif memanfaatkan kekuasaan Jokowi melalui LBP. idealisme pembangunan mulai bergeser. Tidak seindah awalnya.
Tahun 2020, saya terkejut membaca laporan dari BI. Ternyata 42% program pembiayaan dari China berubah skema dari B2B, menjadi utang APBN. Misal, Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) April 2019, menunjukkan status terakhir posisi utang luar negeri dari Pemerintah China sebesar 17,7 Miliar USD atau setara dengan 248,4 Triliun dengan kurs 14.000. Lebih spesifik di kelola Pemerintah sebesar 22,8 Triliun dan BUMN sebesar 225,6 Triliun.
Tahun 2021 keluar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 tentang pembiayaan kereta cepat yang dijamin oleh APBN. Padahal dalam Perpres Nomor 107 Tahun 2015, pembiayaan Kereta Cepat Jakarta-Bandung dilarang menggunakan anggaran pendapatan belanja negara (APBN). Tapi saya masih positif thinking. Bahwa Perpres itu No. 93/2021 itu dengan catatan setelah ada audit terhadap proyek dilakukan. Engga jelas hasil audit. Tidak ada yang kena kasus cost overrun. Nyatanya pemerintah akui saja biaya itu dan akui juga utang ke China.
Semua tahu, dengan proyek skema loan, tentu pemerintah atau BUMN bebas gunakan uang itu termasuk mark up. Beda dengan B2B. Dimana resiko ditanggung investor. Tidak mungkin ada mark up. Saya lebih suka bila pemilu 2024, PDIP tidak perlu koalisi mengusung Capres. Mengapa ? sangat bahaya terhadap demokrasi. Orang sebaik Jokowi saja bisa dipencudangi koalisi, apalagi yang kualitas moralnya dibawah Jokowi. Habis negeri ini dibancakin. Yakinlah. Pemerintah hebat dari hasil demokrasi karena oposisi hebat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.