Seperti apa sih sebenarnya hubungan SP dengan Jokowi. AB dengan Jokowi. PD dengan PDIP terutama dengan putra putri SBY. Hubungan Megawati dengan PS. Singkatnya, antar mereka itu bukan hanya masalah politik. Tetapi juga terikat hubungan personal yang rumit. Tidak mudah mereka saling makan atau saling menghabisi. Kalau mereka berbeda pendapat atau terkesan musuhan, sejatinya mereka satu, Itu terikat dengan emosi utang budi yang sulit diabaikan.
Budaya politik kita sekarang tidak ubahnya dengan politik era Orba. Era Orba, Hubungan Golkar dan presiden, itu saling sandera moral. Hubungan sesama elite Golkar, yang berasal dari berbagai Ormas Sayap Golkar, itu juga saling terikat moral persahabatan dan utang budi. Makanya ketika era Reformasi, mereka tidak pecah. Tetap solid.
Nah semua tahu siapa yang jaga Megawati era Orba sehingga tidak sampai dihabisi nyawanya. Kalau dikaitkan dengan peristiwa Kudatuli 27 juli 1996, nyatanya Pangdam saat itu dijadikan Gubernur DKI periode kedua oleh Megawati. Dan jadi ketua BIN era Jokowi. Kasdam V jaya ( SBY) malah jadi menteri Megawati. Saat PS lari ke luar negeri dan tidak bisa pulang dari Swiss karena passport nya habis. Siapa yang atur perpanjangan passport nya dan mengirim pesawat jet pribadi jemput dia? itu TK, suami Megawati. Nyatanya PS pernah berpasangan dengan Megawati waktu nyapres 2009.
PD, Gerindra, Nasdem, didirikan oleh elite Golkar. Kalau digabung suara mereka dengan Golkar maka total suara mereka seakrang di DPR ada 43%. Artinya hampir 50% itu suara mereka yang dididik era Orba. Belum lagi ikatan historis pendirian PKB dan PKS yang di back up oleh intelijent ABRI sebagai penyeimbang kekuatan Golkar. Maklum TNI engga mau kekuatan Golkar baru terlalu dominan tanpa TNI di dalam ( karena TNI keluar dari Golkar).
Dan by process tokoh TNI dan Polri yang ada di PDIP sekarang adalah mereka yang juga pernah eksis di era Orba. Seperti Hendropriyono. Pernah jadi ketuan BIN era Megawati. Ada pula LBP yang fungsionaris GOLKAR jadi tangan kanan Jokowi.JK elite Golkar yang pernah jadi Wapres Jokowi.
Saya berusaha mencerahkan teman2, bukan hanya berdasarkan data formal tetapi juga informasi yang tidak dipublikasi. Seperti halnya hubungan personal antara AB dan Jokowi, itu berbeda antara Jokowi dan Ahok. Ikatan moral secara personal jauh lebih dekat dengan Anies. Makanya saya tidak pernah kawatir gejolak antar Partai dan elite politik. Karena mereka punya standar sendiri untuk pada akhirnya berdamai dan mengalah atau berkorban untuk kepentingan lebih besar.
Yang saya kawatirkan hubungan antar rakyat yang berbeda. Karena mereka bertikai tanpa ada dasar apapun kecuali suka tidak suka. Hanya berpatokan dengan media massa dan media sosial. Peran influencer sangat besar membentuk persepsi permusuhan itu. Memang sulit untuk didamaikan. Seharusnya kita berkaca saja dengan para elite. Mereka semua teman dan punya hubungan sejarah saling menjaga dan mencintai. Dan karena itu negeri ini baik baik saja.
***
Pak Mahfud cerita lewat youtube. Di era SBY sudah ada RUU pemilihan Kepala Daerah dan Gubernur dilakukan oleh DPRD. Alasan UU ini adalah untuk memastikan agar Pilkada terhindar dari money politik. RUU itu sudah disetujui DPR. Tetapi prosesnya SBY tidak bisa sahkan. Apa alasannya? Hasil Pemilu 2014, Koalisi Prabowo menguasai 60% suara di Parlemen di daerah. Kalau UU ini disahkan maka akan menyulitkan Jokowi yang jadi pemenang Pilpres. Karena udah dipastikan 60% kepala daerah bukan dari partai pengusung Jokowi. Pastilah kekuasaan Presiden jadi lemah.
Apa artinya? Design negara ini memang tidak solid. Kita terus melakukan trial and error. Demi kepentingan kekuasaan, UU yang bagus sekalipun harus dihapus. Bahkan prinsip hukum bahwa kepentingan rakyat adalah hukum tertinggi. Nyatanya pada akhirnya kepentingan kekuasaan lebih utama. Misal, kasus yang sedang melilit tubuh Polri. Itu karena UU kepolisian yang begitu sarat dengan kepentingan Oligari. Sehingga Presiden pun terkesan lemah di hadapan Polri. Ya istilah otority, memang tidak ada di sistem kita.
Kalau diibaratkan Perusahaan. Walau dirut ( Presiden) dipilih langsung oleh pemegang saham ( rakyat ), namun dia tidak punya hak menentukan Anggaran tanpa persetujuan Komisaris perusahaan ( DPR). Yang milih komisaris (DPR ) adalah Pemegang saham ( rakyat langsung). Namun dalam pelaksanaannya komisaris lebih kuasa dari pemegang saham, Dirut yang dipllih langsung pemegang saham, terus direcokin komisaris.
Dirut yang kita pilih itu tidak berhak memilih kepala cabang ( Gubernur, bupati, dan walikota). Tidak berhak memilih kepala SATPAM ( Panglima TNI dan Polri) tanpa persetujuan Komisaris . Kalau SATPAM ngeyel, dia engga bisa pecat begitu saja tanpa persetujuan komisaris. Bahkan walau punya hak memilih dewan direksi ( menteri kabinet ), tetap saja dia harus memperhatikan usulan dari proxy pemegang saham (Partai.). Auditor ( BPK) dan controllership (MA) dipilih dan diangkat atas persetujuan dari Komisaris. Dia engga punya hak penuh atas itu.
Nah bayangkanlah. Kalau anda pemegang saham perusahaan. Apakah sistem seperti itu bisa membuat anda nyaman?. Mau protes gimana kalau perusahaan rugi dan dikorup? Lah, dirut hanya puppets kok dalam sistem itu dan lebih konyol lagi adalah, sistem itu tidak bisa menentukan siapa yang salah selagi dia tidak terbukti korup. Semua benar kebijakannya. Ya salah adalah anda sebagai pemegang saham. Kok mau saja menyerahkan bisnis kepada sistem yang membuat anda bego. Kenapa bego? mereka yang urus bisnis terus pesta dan anda sebagai pemegang saham kebagian onani doang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.