Sabtu, 06 Agustus 2022

Sistem hukum kita.

 



Berdasarkan dakwaan Jaksa, Jessica yang telah memasukkan sedotan kedalam Kopi Wayan Mirna. Sehingga sedotan dijadikan alat yang misteri untuk mengungkap kepergian Mirna. Kuasa Hukum Jessica menyebut tidak ada Sianida yang diperiksa dari tubuh Mirna. Akhirnya hakim memvonis 20 tahun penjara untuk Jessica. Saya tidak akan menilai apakah keputusan hakim sudah benar atau tidak. Saya hanya akan mengulas tentang hak kebebasan hakim dalam membuat vonis atas dasar keyakinan.


Kasus kematian Mirna yang diduga karena diracun. sianida. Benar benar teater tekhnologi dan sains. Apa pasal? Karena yang jadi alat bukti adalah pendapat ahli saja. Sementara Jessica sendiri tidak pernah mengakui perbuatannya. Semua ahli yang dihadirkan jaksa maupun pengacara bukan kaleng kaleng. Hebat semua. Tentu hebat untuk kepentingan subjectif. Belum lagi publik mulai berasumsi dengan macam macam. Bahkan cerita semakin liar soal hubungan LGBT antara Mirna dan Jessica.


Separuh perjalanan sidang yang digelar berkali kali, sebenarnya skor untuk Jessica udah diatas angin.  Kemungkinan bebas. Apalagi pengacaranya memang bukan orang biasa. Otto Hasibuan dan Hotman Paris Hutapea. Namun pada jadwal sidang mendengarkan keterangan ahli Digital Forensik Puslabfor Mabes Polri, AKBP Muhammad Nuh Al Azhar. Saat itu sikap tenang dan diam yang biasa diperlihatkan Jessica tidak nampak lagi.


Jessica yang duduk sebagai pesakitan, terlihat banyak berbicara dengan pengacaranya, Otto Hasibuan. Tangannya pun sibuk membuka halaman berkas yang ada di depannya. Jessica lupa. Saat itu sikapnya sedang diperhatikan hakim dengan seksama. Benar saja, Jessica mengatakan keberatan dengan keterangan Nuh. 


“ Banyak yang saya keberatan yang mulia," ujar Jessica saat ditanya Hakim Ketua Kisworo di persidangan. Namun, Jessica enggan merinci poin mana saja yang tidak dapat ia terima. Keberatan ini akan disampaikan dalam persidangan berikutnya. “ Akan saya jelaskan pada saat saya diperiksa," ucap dia singkat.


Nah dipersidangan berikutnya, Jessica jelaskan alasan keberatannya. Jessica sebelumnya selalu mengelak mengerti komputer atau IT. Kalau sekarang dia berpendapat, itu logika saja. Namun Jessica lupa, hakim sedang focus kepada kebenaran sikap Jessica selama ini. Maka pertanyaan tidak lagi kepada sanggahannya. Hakim memuji kecerdasan Jessica. Saat itulah Jessica terpancing tentang pekerjaannya bidang komputer. Posisinya ketua team. Dia lulusan Desain Grafis di Billybue College Sidney.


Atas dasar itulah Hakim berkeyakinan bahwa pendapat ahili yang simpang siur soal alat bukti rekaman CCTV, itu bagian dari rencana Jessica sendiri. Untuk mengaburkan bukti perbuatannya. Berdasarkan bukti selama 32 kali persidangan, hakim merangkai itu semua sebagai sebuah keputusan memvonis Jessica dengan hukuman 20 tahun. Andaikan Jessica tidak menyanggah soal digital forensik mungkin ending drama pengadilan akan lain.


Kematian Brigadir J, tidak beda. TKP sudah rusak atau tidak lengkap lagi. Semua saksi yang ada di TKP tidak ada yang mengaku meliat aksi tembak menembak itu kecuali pelaku. Pelaku hanya  dijerat pasal  338 juncto Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Ini bukan pelaku utama. Kalau CCTV di rumah tidak ditemukan. Maka kalau nanti sidang terhadap pelaku utama ( kelau ada ) di pengadilan akan ada perang teori ahli forensik antara kubu terdakwa ( pengacara)  dan kubu jaksa. . Seru..belum lagi soal motif.


***

Motif atau movare atau motion yang memiliki arti gerakan atau sesuatu yang bergerak. Manusia kan bukan hewan. Pada diri manusia ada akal dan rasa. Setiap perbuatan manusia selalu ada alasan. Engga bisa manusia berbuat begitu saja tanpa alasan. Makanya setiap perbuatan itu diukur dari motif, alasan pendorong seseorang melakukan tindakan dengan tujuan tertentu. Namun alasan ini tidak bisa dipastikan kebenarannya. Yang tahu pasti hanya pelaku saja. Manusia hanya bisa menduga duga terhadap alasan orang lain berbuat.


Pada suatu peristiwa. Ada orang mati tertembak di dalam rumah. Tidak ada yang menyaksikan peristiwa itu kecuali pemilik rumah. Tida ada bukti CCTV. Dalam proses penyelidikan yang dilakukan polisi, pemilik rumah tidak bisa mengelak. Karena selongsong peluru itu berasal dari pemilik rumah. Dia mengakui bahwa dialah pembunuh. Jadi ada dua alat bukti. Pengakuan tersangka dan selongsong peluru berdasarka analisa balistik dan forensik.


Jaksa yang bertugas melakukan penuntutan kasus pembunuhan ini berpikir keras. Kalau dia kenakan pasal pembunuhan berencana. Tentu harus tahu apa motifnya. Nah kalau sudah menyangkut motif, ini soal persepsi. Apalagi terbunuhnya korban karena satu peluru di tubuhnya. Sementara selongsongan peluru di TKP ada 4. Itu bisa saja diartikan pelaku dalam keadaan loss control. Loss control atau situasi emosional, bukan perbuatan terencana. Pengacara paham sekali soal alasan psikologis untuk mematahkan dakwaan jaksa. Polisi memang sebagai penyidik focus bertugas mengumpulkan alat bukti dengan sebaik baiknya. Tapi karena tidak ada saksi lain, bisa saja pengacara berargumen bahwa terdakwa lakukan itu dengan motif membela diri karena terancam nyawanya oleh korban. Mau bantah gimana? saksi lain tidak ada. Satu satunya saksi, kini udah mati. 


Bagaimanapun dakwaan di pengadilan, itu tugas Jaksa memikirkan dan mengatur strategi.  Target jaksa adalah memastikan bahwa terdakwa masuk penjara dan terbukti bersalah. Sementara alat bukti tidak menjamin terdakwa bisa masuk bui. Walau pasal 340 tidak perlu motif tetapi hak kebebasan hakim tetap menentukan. Hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana pembunuhan berencana dalam pertimbangan hukum bisa saja melihat motif pelaku selain unsur-unsur Pasal 340. Makanya perlu Jaksa Penuntut Umum yang punya skill diatas pengacara dan bersikap prudent dalam menyusun surat dakwaan.  Banyak yuriprudensi hakim membebaskan terdakwa karena pengenaan pasal 340 motif nya  lemah.


Jadi Jaksa abaikan pasal pembunuhan berencana. Jadi pasal apa? Jaksa tahu bahwa terdakwa memilik senjata api tanpa izin. Nah daripada sibuk menyusun replik pembunuhasn berencana dengan motif yang mudah dipatahkan oleh duplik pengacara terdakwa, lebih baik dia kenakan pasal menggunakan senjata api tanpa izin. Pasal 1 ayat (1) UU RI Nomor 12 /DRT tahun 1951 dengan ancaman hukuman mati. Sidang berlangsung cepat. Hakim tidak perlu mempertimbangkan soal motif yang bisa saja sangat subjetif. Selesai pada pasal pidana penggunaan senjata api tanpa izin. Tujuan jaksa tercapai. Kasus dimenangkan Jaksa.


Demikian sistem hukum kita.


***


Kadang saya mendengar teman nyeletuk “ Ah berharap? selagi hukum tajam kebawah namun tumpul keatas, jangan terlalu berharap.” Saat dia bicara itu, saya anggap dia orang yang pesimis. Kalah bersaing. Ngapain didengar. Cuekin aja. Karena selama ini saya tidak merasa terganggu dengan sistem yang ada. Saya berteman dengan pejabat kekuasaan. 


Namun lebih sebulan saya di bombardir oleh kenyataan yang vulgar dan dibicarakan oleh semua orang. Itu berkaitan dengan hukum yang tumpul diatas. Kasus ada, tapi bingung “ apa motifnya”


“ Tuhan sedang buka aib bangsa ini. Aib para pemimpin bangsa ini. Aib kita semua yang hipokrit. Kasus polisi tembak polisi, adalah teater kebobrokan sistem hukum di negeri ini. Betapa tidak? semua pejabat dari KOMNAS HAM, KOMPOLNAS, MEnkopolhukam, bicara tentang prosedur dan meminta rakyat harus patuhi prosedur hukum. Sepertinya prosedur adalah kata kunci yang paling ditakuti oleh pejabat itu. Bahkan bicara terbuka dan jujur kawatir melanggar prosedur.” Kata teman dengan nada prihatin.


Saya mau ngomong apa lagi? Betapa tidak. Pengusaha terhubung dengan partai, partai terhubung dengan pejabat, pejabat terhubung dengan ormas, dan diantara mereka diikat hukum saling menyandera. Kompromi diantara mereka adalah keniscayaan. ya semacam crime connection yang mengakibatkan “ justice delayed is justice denied. Negara adalah satu entitas imajiner yang dipakai aparat hukum untuk hidup dengan ongkos (dépens) orang lain.


“ Motifnya hanya untuk orang dewasa.” Kata Menko Polhukam. Walau ada artis masuk bui yang video bokepnya jadi tontonan orang banyak. Karena artis rakyat jelantah, bukan istri pejabat yang bisa seenaknya menolak diperiksa dan ditanyain. Mahfud jujur. Menganggap rakyat bukan orang dewasa untuk paham keadaan negeri ini.


Ya, Negeri ini para pajabat sampai politisi hidup mewah dari kriminalitas. Mereka merasa baik baik saja karena hukum berpihak kepada mereka. Pemerintah sedang was was resesi dunia, Komarudin Simajuntak, berdiri: ia jadi merasa kuat tanpa takut, justru ketika ia merasa bahwa yang ditanggungkannya bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Josua yang tewas, yang difitnah dan dizalimi oleh orang yang seharusnya melindunginya.


***


Babak kasus polisi tembak polisi sudah masuk ke babak ke dua. Bapak pertama tentang pelecehan seksual dan terbunuhnya Yosua. Itu sudah cased closed. Mengapa? proses penyidikan tidak menemukan peristiwa pidana dalam kasus tersebut. Dampak dari proses babak pertama, ada lebih 30 Perwira kena kasus etik dan ada 6 yang kena kasus pidana. FS sendiri sudah mengakui bahwa dia pelaku utama dan karena itu dia terancam pasal 340 KUHP, yang bisa dihukum mati atau seumur hidup.


Kalau kita perhatikan babak pertama, dimana semua lembaga negara seperti Kompolnas, Komnas HAM, Komnas perempuan, penyidik Polri dan pengacara PeCe punya suara sama mendukung skenario dari FS. Artinya FS itu memang kotak pandora dari semua kasus yang pernah terkait dengan dia di kepolisian. Mereka sudah terbiasa merekayasa kasus dibawah kendali FS. Bisa karena faktor politik, bisa juga karena uang. Entahlah. Keduanya memang perlu kecanggihan rekayasa.


Kita semua prihatin dengan nasip POLRI. Bayangin aja, dari Kapolri, Kapolda, Kompolnas, Komnas HAM dan bahkan MenKo Polkam merasa dibohongi. " Enak aja ngomong dibohongi dan seakan semua kasalahan ada pada FS. Kalau begitu, betapa bodohnya kita sebagai rakyat mempercayakan ketertiban hukum kepada sistem yang gampang dibohongi. Renta sekali hidup kita sebagai bangsa." Kata Nitizen. Itu sebabnya Pak Jokowi sangat concern atas kasus ini. Beliau sampai 4 kali peringatkan.


Babak pertama selesai. Nama baik Almarhum Yosua sudah dipulihkan. Pelaku pembunuhnya sudah ditemukan. Bahkan istri FS, yang tadinya saksi pelapor dan korban pelecehan seksual, sudah dinyatakan sebagai tersangka pembunuhan berencana. Terus, apa lagi yang diperjuangkan oleh Pengacara keluarga Y ini?


Nah kasus ini sekarang masuk babak kedua. Apa babak kedua ini? yaitu motif. Semua lembaga negara dari Polri, Kompolnas dan Menko Polhukam tidak mau menyebutkan apa motifnya. Bahkan ada ahli kepolisian menilai, tidak diperlukan motif untuk kasus pembunuhan berencana. Cukup kontruksi hukum untuk membuktikan telah terjadi peristiwa hukum pembunuhan berencana. Memang benar. Tetapi pengacara keluarga Y, tahu pasti bahwa banyak kasus pembunuhan akhirnya tidak dikenakan pasal 340 oleh hakim. Mengapa ? Karena motif lemah.


Harap dicatat. Walau skenario babak pertama itu bisa dipatahkan. namun akan ada lagi skenario pada babak kedua, yaitu melemahkan motif dengan tujuan mengubah pasal 340 menjadi pembunuhan biasa. Nah dengan adanya dukungan dari nitizen dan pengacara Y, Pihak yang menutupi motif itu akan terpaksa membuka motif itu sebelum masuk ke pengadilan. Setidaknya dari adanya bukti CCTV di rumah dinas itu bisa menjelaskan motif yang sebenarnya.


Saya hanya berharap dari kasus ini bisa sebagai pintu masuk bagi DPR untuk membuat RUU revisi UU kepolisian. Agar secara sistem, tidak memberi peluang terbentuknya gang atau kelompok di dalam tubuh POLRI, yang tak bisa dikendalikan. Mari berubah agar kita punya POLRI yang menjamin rasa aman, mengayongi dan melayani. Kalau engga, negeri ini akan bubar sendiri karena pembusukan dari dalam. Akan ada Sambo sambo lain setelah ini. Semua kita lakukan bukan karena kita membenci POLRI, justru karena kita mencintai POLRI. Mengapa? Tanpa POLRI maka NKRI tidak akan tegak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...