Presiden dipilih langsung oleh rakyat berdaulat. Agar Legitimasinya kuat. Tidak bisa digugat, oleh parleman jalanan dan para pengkianat. Masalahnya, setelah itu kekuasaan terdistribusi. Maka terbentuklah oligarki yang terkooptasi. Sehingga tidak tahu lagi siapa penting pegang posisi. Semua saling mengawasi. Apa yang terjadi ? kebijakan negara jadi tidak efektif. Terhambat oleh birokrasi menjepit. Melahirkan mindset korupsi. Agenda kemakmuran jadi terdegradasi.
Sementara, begitu banyak omong kosong. Hukum pun jadi macan ompong. Tajam ke bawah kolong. Tumpul keatas menambrak ruang kosong. Demokrasi hanya sebatas prosedur formil. Orang bebas bicara namun hasilnya nihil. Atas nama konstitusi katanya. Kekuasaan boleh dikritik tapi tidak bisa ditanya. Namun begitulah sistem yang berlaku. Menjadi takdir kita untuk bersatu. Tanpa tersekat oleh agama dan suku. Untuk Indonesia yang satu.
Kita paham arti perjuangan dan perubahan. Yang harus kita lalui tanpa kehilangan harapan. Mungkin saja rakyat terlupakan. Setidaknya para elite hidup dalam kenikmatan. Dengan begitu, mereka bisa berpikir tenang. Untuk berdamai utamakan negeri tenang. Agar stabilitas politik lahir dari kekuasan yang imbang. Mau gimana lagi?. Melawan dengan revolusi kita juga yang rugi. Kalau chaos terjadi para elite dan konlomerat bisa kapan saja pergi. Tinggal kehancuran yang akan sulit bangkit lagi.
Banyak contoh negeri hancur bukan karena perang. Tapi karena rakyat yang berang. Hidup tak lagi lapang. Mencari rezeki sulit berkembang. Hilang akal sehat. Yang ada mengumpat. Kesal kepada elite atas janji yang disemai. Namun tak kunjung tunai. Mungkin harapan terlalu banyak. Kepada presiden yang tak bisa berbuat banyak. Akibat dijegal oleh elite politik bermuka minyak. Membuat rakyat semakin muak.
Kemana kita hendak berlabuh? Setiap hari kita mengeluh. Seperti kerbau melenguh. Kapan kah sampai ke penatian yang teduh. Untuk kita mengusap peluh dan membeningkan keruh..
***
Dulu ada kisah negeri bernama Utopia. Semua begitu mudah jadi nyata. Politik itu mengatur banyak orang. Tidak mungkin memuaskan semua orang. Karena itu negara diperlukan. Agar kemiskinan melahirkan kemakmuran. Begitu cerita utopia disematkan. Sebuah narasi membuat kita tercerahkan. Kitapun berela hati masuk bilik suara pemilu. Untuk sebuah halu. Begitulah sejak dulu. Dengung demokrasi bertalu talu. Setelah pemilu janji tak tunai. Bukan salah pemimpin tapi rakyat yang lemah. Berharap bantuan tunai. Akhirnya subsidi jadi politik populis citra di hadapan orang ramai.
Sistem birokrasi kita kadang juga keren. Menteri tidak tahu ulah Dirjen. Yang membuat kebijakan migor dicoleng. Oleh konspirasi pengusaha bersama aparat yang pura pura meleng. Hukum positip hanya melihat perbuatan, siapa yang melakukan. Selagi bukti tidak didapatkan. Menteri dibebaskan, yang lain dikorbankan. Lebih jauh lagi kita percaya kebenaran. Bahwa pemerintah selalu dibenarkan. Demi konstitusi diselamatkan. Jangan sampai diributkan.
Korupsi APBN itu korupsi tradisional. Kini lebih canggih dari keadaan normal. RUU jadi transaksional. Dilakukan secara genial. Sehingga semua nampak baik. Faktanya harga terus naik. Inflasi merangkak naik. Membuat rakyat jelata teracam tercekik. Oligarki politik terlalu kuat untuk diusik. Mereka tidak suka politik yang berisik. Karena itu semua hal diselesaikan secara bisik bisik. Begitulah membuat rakyat garang mengkritik. Bersuara atas nama demokratik. Namun suara mereka ditelan angin malam. Seakan beada ditempat kelam.
Kadang kita kesal. Politik negeri ini masih bernuansa feodal. Para elite hanya kumpulan pemimpin abal abal. Tak punya hati dan otak bebal. Di kepalanya hanya tentang uang yang hapal. Selebihnya diabaikan. Merasa kita semua adalah beban. Padahal pajak ini dan itu kita tunaikan. Masih juga dianggap kurang beperan. Mau gimana lagi.
Sebuah negeri adalah sebuah upaya yang dikayuh tanpa lelah. Yang penting kita jangan terbelah. Mencintai negeri tanpa lelah. Tetap bersatu walau merasa kalah. Itu lebih baik daripada bangsa kita pecah. Tetaplah menanti mentari pagi bersinar cerah. Selalu ada harapan kepada Tuhan kita pasrah.
***
Sebuah negeri yang dirahmati Tuhan. Ada 741.991 Masjid dan Musolla didirikan. Semua dimaksud untuk meninggikan Tuhan. Tidak ada tuhan selain Tuhan. Setiap hari setiap lima waktu sholat harus ditegakan. Kewajiban sholat tidak bisa diabaikan. Karena apapun alasan. Begitu Tuhan diagungkan. Maka jadilah masjid sebagai simbol persatuan. Yang dibina oleh para ustad dan ulama panutan. Mengajak orang lebih baik sholat dari pada tiduran.Untuk mencapai kemenangan.
Waktu berlalu, zaman berganti. Namun dunia semakin tidak ditapaki. Hidup semakin jauh dari dirahmati. Kemakmuran menjadi jauh untuk didekati. Orang semakin mudah saling mengkafirkan. Apapun disikapi berlebihan. Suka menyalahkan. Merasa paling benaran. Tanpa disadari. Agama sudah dipagari. Oleh politik indentitas. Merasa apapun tanpa syariat tidak pantas. Masjidpun bukan lagi tempat mendidik. Sudah jadi ajang mengkritik. Untuk jadi corong panggung politik.
Agama sebagai hal yang privat. Masjid tempat orang bermunajat. Sudah tidak lagi sakral. Agama ramai disaat pemilu digelar. Narasi penuh dengan pesan keberpihakan. Tidak lagi mencermikan kedamaian. Kebencian kepada mereka yang berbeda sudah biasa saja. Orang lain dikafirkan. Atas nama syariat, orang berbeda dianggap sesat. Tanpa terasa agama jadi riuh. Tempat orang berkeluh. Yang berbeda dianggap musuh. Entah kemana syiar Rasul yang awalnya teduh.
Ketika syariat jadi yang utama. Ketulusan menjauh untuk berderma. Ibadah sosial jadi narasi bisnis dunia. Bukan lagi jadi aksi kepentingan semua. Tapi hanya untuk kepetingan mereka yang menggalang dana. Berderet di trotoar melapalkan al Quran. Merasa Tuhan sangat dimuliakan. Padahal Tuhan hanya suka didekati oleh mereka yang berkorban. Cinta kepada mereka yang miskin terlupakan. Dengan derma harta dan kepedulian.
Akal sehat tak lagi dipakai dalam beribadah. Ingin meraih segala sesuatu dengan cara mudah. Lupa hidup adalah perjuangan akal sehat. Tidak keras kerja, rezeki sulit didapat. Begitu alam bermaklumat. Bukan salah Tuhan tidak berpihak ke umat. Tetapi umat yang gagal menjadikan agama sebagai rahmat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.