Selasa, 29 Juni 2021

BEM-UI berpolitik.

 




Asal kata kritik adalah kritikos. Itu bahasa Yunani. Kata kritikos diambil dari kata krenein yang berarti memisahkan, mengamati, menimbang, dan membandingkan. Jadi kalau diartikan bebas, kritik itu adalah hasil analisa atas keadaan dan diungkapkan agar orang lebih paham, dengan tujuan memperbaiki. Makanya orang mengkritik itu orang baik. Dia punya hati untuk mencintai dan berharap keadaan baik baik saja. Abraham Lincoln pernah berkata “ Dia memiliki hak untuk mengkritik, yang memiliki hati untuk membantu." 


Jadi kalau ada yang bilang “ tugas kami mengkritik. Bukan memperbaiki atau solusi. Tugas memperbaiki itu ada pada pejabat atau penguasa yang dikritik ”. Itu artinya dia tidak bicara kritik tetapi protes. Protes berbeda dengan kritik. Kata protest diketahui pertama kali digunakan pada 1300-an.  Menurut Merriam-webster, pro- pada protest bermakna ‘maju tampil’ layaknya orang keluar dari barisan. Artinya,  protes adalah berbicara menentang sesuatu atas dasar penilaian negatif, pemrotes menginginkan perubahan atas apa yang mereka tentang.


Memang protes tidak perlu solusi. Harga BBM naik. Anda demo, bisa teriak apa saja. Sebagai tanda protes. Anda tidak suka dengan rezim  Jokowi, anda bisa protes apa saja, dengan cara apa saja.  Aksi teroris itu sama dengan protes. Mahasiswa membuat  Meme Jokowi dengan sebutan “ the King of lips service” itu juga bentuk protes. Singkatnya, protes itu dilakukan dengan tujuan manarik perhatian orang banyak dan disampaikan dengan mengabaikan etika, moral dan norma. Protes memang berpolitik dengan cara terbelakang dari segi spiritual dan emosional. 


Makanya UU mengatur protes agar tidak merugikan orang lain atau membuat orang lain tidak nyaman. Mengapa ? Ketika anda protes dengan cara diluar batas moral dan kepatutan kepada pemimpin yang dipilih secara demokrasi,  maka pada waktu bersamaan orang yang memilih pemimpin itu pasti tidak nyaman. Ini bisa jadi kasus pidana. Mengapa ? Protes itu hak demokrasi namun jangan sampai dalam melaksanakan hak itu anda membuat orang lain tidak nyaman. Bisa panjang urusannya.


Masalahnya di Indonesia. Banyak orang tidak bisa bedakan kritik dan protes. Kritik , output nya adalah rasa hormat dan cinta . Protes, output nya adalah penjara dan kebencian. Dalam memaknai dua hal saja sulit bagaimana mau perang literasi atas dasar akal sehat. Mungkin karena kebencian dari politik identitas terhadap rezim sekular, yang tersisa hanya kebencian. Akal sehat terselip  di sempak.


***

Saya tidak mengerti mengapa para oposan khususnya aggota DPR dan pengamat seperti Rizal Ramli dll begitu hebatnya membahas seputar kebijakan Rektor UI, Ari Kuncoro memanggil Badan Eksekutif Mahasiswa UI yang mengunggah meme Presiden Joko Widodo. BEM UI menyebut Jokowi The King of Lip Service lantaran dinilai tak menepati janji-janjinya, semisal untuk memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan karena itu mulai ramai dipersoalkan mengenai rangkap jabatan. Ari Kuncoro juga merupakan Wakil Komisaris Utama/Independen PT BRI (Persero) Tbk. 


Sebagai rakyat jelantah saya punya pendapat sebagai berikut. Saya tidak melihat Jokowi ingkar dengan janjinya. Sebagai goodwill dia sudah sampaikan. Tetapi proses revisi ITE, penguatan KPK dan lainnya berkaitan dengan UU, itu butuh waktu. Proses politik yang tidak mudah. Jokowi bukan Soeharto yang Inpres nya lebih kuat dari UU. Walau dia sudah berjanji namun untuk mengubah UU dia harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Harus melalui kajian akademis, sosialisasi, keputusan BaMus DPR  yang terdiri dari semua partai  ( Fraksi ) yang ada di DPR. Mengeluarkan PERPPU juga tidak mudah. Karena harus ada alasan negara dalam keadaan genting.


Makanya, ungkapan terhadap Jokowi “The King of Lip Service ( Raja pembual/ tukang ngibul ) itu sudah masuk penghinaan. Mengapa? Karena tidak berdasar. Sebagai mahasiwa seharusnya mereka paham bagaimana proses politik merevisi UU itu. Sebagai mahasiswa seharusnya mereka tahu  bahwa menurut MK, Presiden sebagai kepala negara adalah  simbol negara.  Artinya postingan mereka di sosial media sudah masuk ranah pidana. Menghina simbol negara. 


Pertama. BEM harus bisa membedakan mana kritik dan mana penghinaan. Tidak sulit untuk pahami itu. Anak SMU juga bisa kok.   Saya termasuk pengkritik Jokowi. Silahkan baca blog saya. Berkaitan dengan polemik Presiden sebagai simbol negara, itu yang harus didengar adalah apa kata ketua MK. Bukan pengamat. Kecuali kalian mau jadi oposan atau pemberontak dalam sistem demokrasi. 


Negara kita menganut sistem presidentil. Presiden sebagai kepala pemerintahan, juga sebagai kepala negara. Sebagai kepala pemerintahan Presiden itu sama dengan Ketua DPR, MA, dan lainnya.  Namun sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol negara. Liat aja perlakuan pengawalan terhadap presiden berbeda dengan pejabat tinggi lainnya. Yang dikawal oleh Paspamres itu bukan presiden sebagai kepala pemerintahan tetapi presiden sebagai kepala negara. Mengawal presiden adalah mengawal simbol negara. 


Kedua. Jabatan Wakomut BRI, Ari dan juga pernah menjadi Komisaris Utama PT BNI (Persero) Tbk. Itu dasarnya adalah bukan karena dia rektor UI tetapi karena dia sebagai personal yang dikenal ahli ekonomi dan tidak ada benturan kepentingan dengan posisinya sebagai Rektor. UU melarang rangkap jabatan hanya untuk ASN, tidak untuk BUMN.  Kalau itu dianggap melanggar statuta UI, sesuai Nomor 68 Tahun 2013, maka yang berhak menentukan salah atau tidak adalah Majelis Wali Amanat (MWA) UI. UI adalah lembaga otonom. Tidak boleh lembaga manapun yang intervensi. Itu urusan UI. 


Yang jadi masalah adalah dengan adanya kasus “Jokowi The King of Lip Service” Semakin menunjukan kekuatan oposisi membela BEM UI yang juga bagian dari oposisi. BEM UI sudah berpolitik, tidak lagi murni akademis dan tentu harus siap juga menerima konsekuensi politik dari mereka yang berbeda dengan kalian. Welcome to battle of politic. Politik tidak ada hitam putih. Tidak ada salah benar. Yang ada adalah pecundang dan pemenang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...