Minggu, 12 April 2020

Salahkan berhutang dengan SUN?


Di negara kita otoritas yang bertanggung jawab soal keuangan ada tiga. Satu menteri keuangan. Tugasnya sebagai bendahara keuangan negara. Uang masuk dan keluar, itu urusan menteri keuangan. Satu lagi Bank Indonesia. Tuganya tidak ada kaitan dengan pemasukan dan pengeluaran. Tugasnya hanya mengatur jumlah uang beredar, jumlah cadangan yang diperlukan oleh perbankan (reserve requirement) dan tingkat suku bunga. Tetapi bagaimana mengawasi tekhnis perbankan dan lembaga keuangan agar sesuai dengan UU, itu bukan tugas BI tetapi ada pada OJK sebagai otoritas ketiga.

Jadi secara manajemen sangat akuntable. Menkeu sangat berkuasa atas bendahara. Tetapi tidak berkuasa atas moneter. Namun BI juga tidak bisa seenaknya mengatur sistem perbankan. Itu tugas OJK. Ketiganya berkuasa karena UU yang dibuat oleh wakil rakyat kita di DPR. Apa artinya? pengelolaan fiskal atau bendahara dan moneter serta sistem perbankan kita terstruktur sangat sistematis, sehingga hampir sulit terjadinya konspirasi satu dengan yang lainnnya. Berbeda di era Pak Harto, BI hanya jadi kasir, dan sekaligus regulator yang manut kepada Departement Keuangan. Makanya tahun 1998 itu sistem keuangan kita yang jebol, dan berdampak krisis berkepanjangan. Sampai di sini paham ya.

Dari kebijakan APBN itu melahirkan konsumsi dan produksi. Kalau APBN surplus tentu tidak ada masalah. Itu akan jadi tabungan pemerintah di BI. Tetapi kalau defisit, maka menteri keuangan harus mendapakan sumber dana menutupi defisit itu.  Engga bisa Menkeu datang ke BI minta BI cetak uang. Itu too good to be true. Hanya ada di kerajaan utopia.  Itu dilarang oleh UU. Jadi gimana? Pemerintah bisa meminjam kepada World bank, ADB, Islamic Bank, dan lembaga multilateral. Harap maklum di semua lembaga multilateral itu pemerintah indonesia bukan hanya borrower tetapi juga shareholder. Jadi bukan mengemis utang.  Itu biasa saja pinjam ke mitra. Tetapi pinjaman itu engga bisa dipakai menutupi belanja APBN akibat defisit. Itu hanya bisa untuk pembiayaan pembangunan yang berhubungan dengan ekonomi real ( ekspansi fiskal)

Lantas darimana dapat pinjaman untuk menutupi kekurangan belanja APBN? pemerintah mengeluarkan Bond atau surat utang negara ( SUN/SBN). Surat utang itu bisa bermata uang rupiah bisa juga bermata uang asing. Sampai saat ini SUN diterbitkan tanpa warkat (scripless securities). Pencatatan kepemilikan dilakukan secara elektronik. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang- Undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, kegiatan penatausahaan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta agen pembayar bunga dan pokok SUN dilaksanakan oleh Bank Indonesia.

Sekarang kita masuk kepada aspek teknis bond atau obligasi. Namanya surat utang, tentu ada ketentuan mengenai bunga ( kupon), jangka waktu, cara pembayaran bunga, dan cara pembayaran pokok. Bond itu diperjual belikan di pasar seperti komoditas pada umumnya. Yang mempengaruhi harga bond itu adalah suku bunga acuan BI. Harga ini menentukan yield ( imbal hasil ). Kalau harga naik, maka yield akan turun, begitupun sebaliknya ketika harga turun maka yield akan naik.

Loh kenapa harga bond naik? Padahal suku bunga acuan BI turun. Kembali lagi ini soal trust. Kalau suku bunga turun atau lebih rendah dari bunga obligasi itu artinya negara melalui BI memberikan dorongan agar dunia usaha bangkit, ekspansi kredit terjadi, pertumbuhan ekonomi akan naik. Kapastian bond terbayar engga perlu diragukan. Makanya bond diminati oleh banyak pembeli. Hukum demand and supply terjadi. Banyak permintaan,  tentu harga naik. Walau karena itu yield turun, engga ada masalah bagi investor. Karena Bond itu portfolio fixed income bagi investor jangka panjang.

Yang harus dipahami bahwa SUN itu bukan pinjaman bersifat sovereign guarantee atau menggadaikan kedaulatan negara, seperti halnya pinjaman G2G. Bond itu yang jadi jaminan adalah trust. Ukuran trust itu bukan sekedar trust. Tetapi ada indikator yang jadi patokan oleh investor. Siapa yang mengukur trust itu? ya lembaga rating international. Semua aspek ( sosial ekonom, politik ) sudah diperhitungkan oleh lembaga rating sehingga memberikan rating atas surat utang itu. Nah pasar bersikap atas rating itu. Kalau ratingnya bagus, tentu pasar menyerapnya. Kalau ratingnya jelek, pasar pasti menolak. Rasional sekali pertimbangannya.

Bagaimanapun itu tetap utang dan harus dibayar. Demikian pengertian orang awam. Saya tegaskan bahwa itu benar. Tetapi tidak dalam pengertian anda orang awam, dimana pemberi pinjaman butuh pelunasan utang dari anda karena dia butuh uang tunai. Engga begitu. Surat utang negara itu sama dengan uang tunai. Orang tidak pernah mempermasalahkan kapan dibayar. dan engga pernah nagih. Karena kapanpun dia butuh uang tunai, dia bisa jual di pasar. Pasar selalu menerima. Namun negara harus menjaga komitment membayar bunga ( kupon) dan pelunasan. Ini masalah trust. 

Gimana caranya kalau uang tunai tidak ada? apakah negara harus jual asset ? seperti kasus 1998 ketika krismon? Oh tidak perlu. Mengapa ? berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, SUN itu di samping untuk membiayai defisit anggaran juga berfungsi untuk menutupi kekurangan kas jangka pendek ( Cash flow). Artinya kalau negara cash flow nya terganggu untuk bayar bunga dan cicilan, ya pemerintah bisa menerbitkan SUN lagi. Dan dalam kondisi keuangan negara sehat, negara bisa melakukan refinancing. Caranya? membeli kembali bond yang ada di pasar dan menerbitkan kembali bond dengan kupon yang lebih rendah dan jangka waktu lebih lama. Atau menukar bond bermata uang asing ke dalam SUN rupiah. sehingga dalam jangka panjang dapat menurunkan biaya pinjaman (cost of borrowings).

Apa artinya ? bond itu bukan utang dalam art gadai. Tetapi berhutang lewat sistem dimana likuiditasnya dijamin oleh Pasar. Sama dengan uang. Selagi orang percaya, maka bond itu akan terus berputar dari satu tangan ke tangan lainnya. Bagaimana orang bisa terus percaya? Selagi pemerintah focus menjaga pertumbuhan ekonomi lewat investasi, produksi, konsumsi dan APBN/D tersalurkan untuk memperkuat fundamtental ekonomi, maka bond adalah solusi efektif sebagai sumber daya keuangan. Mengapa ?

Pertama, pemerintah tidak perlu kawatir dengan defisit APBN bila ingin mencapai target pertumbuhan yang dikehendaki. Mekanisme bond sangat likuid untuk menutupi defisit. Engga perlu pakai lobi dengan lender atau negara kreditur. Karena sistemnya sudah established. Kelembagaan juga sudah established

Kedua, pemerintah tidak perlu mengorbankan cash flow untuk pembangunan bila harus bayar utang dan bunga. Karena mekanisme bond menyediakan sumber pembiayaan untuk mengamankan cash flow tersebut. Dan lagi investor akan lebih senang bila pasokan obligasi terus bertambah di pasar. Karena bisa meningkatkan value portfolionya.

Ketiga, mekanisme Surat utang negara ( bond), bukan sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan.  Sumber utama APBN tetap berasal dari pajak , bagi hasil tambang dan lain lan.  SUN hanya dipakai untuk menutupi defisit, dan batasan ( pagu ) yang dibolehkan sesuai UU, adalah 3% dari PDB. Kalau ada perubahan pagu defisit, harus izin dari DPR. Sementara sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) maksimum sebesar 60%. Jadi pengawasannya sangat ketat dan konstitusional. Engga bisa direkayasa. Sangat transparan.

Keempat, dengan penerbitan Bond, memaksa pemerintah transparan dalam mengelola keuangan negara.  Investor selalu mengawasi segala aspek terhadap kinerja pemerintah. Seperti misal,  investor akan melihat berapa CPI ( Corruption perception index) kita. Semakin buruk index CPI semakin besar resiko Bond dan tentu semakin tinggi yield nya. Ini engga sehat. Pemerintah juga harus menjaga performance bisnis index seperti ease of doing business index , untuk memastikan pertumbuhan bisnis berkembang. Pemerintah juga harus meningkatkan Logistics Performance Index (LPI) agar investasi dan produksi tumbuh. Tentu pemerintah juga harus menjaga fundamental ekonomi dari sisi tingkat inflasi, cadangan devisa, neraca berjalan, dan defisit primer dll. Kalau ada orang tidak setuju negara berhutang dengan skema bond dan lebih memilih pinjam ke negara kreditur, itu artinya dia tidak ingin negara transparan dan lebih ingin negara jadi jongos asing.

Anda bisa lihat fakta seperti Jepang, AS, Hong Kong, Korea, Singapore, Utang mereka sangat besar. Lebih besar dari Indonesia. Bahkan Jepang dan AS tingkat utang diatas 100% dari PDB. Aman saja. Mengapa ? karena semua indikator ekonomi yang saya sebutkan diatas bagus. Namun kita lebih bagus. Pasar percaya dan mereka terus berhutang sebagia bagian dari sistem keuangan mereka untuk meningkatkan kemakmuran.

Apa kesimpulannya? semakin besar negara itu sukses menerbitkan bond (SUN) semakin tinggi tingkat kepercayaan publik ( dalam dan luar negeri). Kepercayaan itu bukan karena politik pencitraan atau lobi  politik ke negara creditur, atau karena jongos asing, tetapi karena sistem yang established dan akuntabel serta credible. Itulah ciri khas negara modern. Di mana utang bukan kutukan tetapi berkah trust sebagai sumber uang yang tak pernah habis. Kata kuncinya kerja dan kerja. Orientasi ekonomi kepada produksi bukan konsumsi.

3 komentar:

  1. Kira2 DR. Rizal Ramli ngerti gak ya dengan cerita hutang diatas ? Coba kalo dia baca ini, apa kira2 comment nya

    BalasHapus
  2. Indonesia sedang bergerak menuju kemajuan walaupun tertatih-tatih akibat kondisi internal sendiri. Namun demikian kemajuan adalah keniscayaan.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...