Minggu, 12 Januari 2020

Kemiskinan diatas kekayaan laut.


Saya bertemu dengan direktur saya yang menangani trading ikan di China. Mengapa saya harus ketemu? karena ini menyangkut keputusan yang rumit. Perusahaan trading kami di china dapat kontrak suplai ikan beku ke Indonesia untuk memenuhi bahan baku pabrik pengalengan ikan. Total permintaan sebesar 20,000 ton setahun. Dengan nilai kontrak USD 20 juta.
“ Berapa margin profit ? Tanya saya.
“ 12%. “
“ Lumayan”
“ Tapi karena kita dapat refund pajak dari pemerintah china”
“ Berapa ?
“ 8%”
“ Artinya margin kita hanya 4%. Kenapa?
“ Karena kita membantu membeli produksi nelayan. Itu insentif dari pemerintah china. “
“ Oh itu dumping dong”
“ Engga. Tapi begitu cara pemerintah china membela kepentingan nelayan agar unggul bersaing di pasar international.”
“ Ya pantas aja pabrik dari Indonesia lebih memilih ikan beku dari china karena harganya murah”
“ Ya. “
“ Terus masalahnya apa?
“ Pihak Indonesia engga bisa buka L/C sementara kita harus bayar tunai di china”
“ Pembayaran dari pembeli ikan di Indonesia , gimana?
“ Mereka beri jaminan pembayaran satu bulan setelah barang sampai di gudang. Jaminan kuat karena mereka udah IPO. “
“ Ok. Perusahaan kamu di china buat kotrak jual beli dengan pembeli dari Indonesia. Dalam kontrak disebutkan pembayaran ke rekening perusahaan kita di jakarta”
“ Mengapa bukan perusahaan di Jakarta aja yang Kontrak?
“ Jangan. Kita engga ada izin impor Ikan. pemerintah hanya kasih ijin pabrikan untuk impor.”
“ Terus gimana bayar tunai ikan di china ?
“ Nanti perusahaan di Jakarta yang urus kredit di Hong Kong. Kita punya fasilitas trade financing. “
“ Jelas. Tapi ...”
“ Apa?
“ Orang dalam dari pihak pembeli minta 2% dari setiap invoice “
“ Engga ada itu” Kata saya tegas.
“ Kenapa?
“ Saya kenal baik dengan pemilik pabrik itu. “
“ Oh Anda kenal?
“ Urusan saya nanti bicara dengan owner nya. Jelas.?”
“ Ya pak. Jelas.” 

Tahukah anda bahwa 70 persen potensi produk perikanan ada di Asia Pasifik dan 30 persen dari total tersebut berada di Indonesia. Artinya kita sangat kaya sumber daya perikanan laut. Berdasarkan data sumber kekayaan laut Natuta khususnya di ZEE itu sangat besar. Sangking besarnya jadi rebutan nelayan China, Vietnam, Thailand. Setiap orang selalu bercerita tetang betapa besarnya kekayaan laut kita. Namun itu hanya potensi saja. Secara ekonomi   tidak seperti cerita dan data. Mengapa? karena untuk bisa menjadikan potensi alam itu menjadi potensi ekonomi harus di dukung proses yang tidak mudah. Nah, karena tidak mudah, maka itulah sebabnya berpuluh tahun kita memunggungi laut.

Makanya jangan kaget potensi ekonomi ikan kita kalah dengan negara tetangga, seperti Vietnam dan Thailand. Misal, ekspor Vietnam tahun lalu sudah mencapai 8,9 miliar dollar AS, sedangkan Indonesia baru memproyeksi ekspor ikan 5,9 miliar dollar AS tahun 2020. Tahun lalu produksi ikan kita mencapai 7,4 juta ton. Tapi 40% kebutuhan industri pengalengan ikan, kita masih impor. 49% cumi masih impor.  Padahal luas laut mereka tidak seberapa dibandingkan dengan luas laut teritorial Indonesia sebesar 290.000 km persegi dan potensi lestari sumber daya ikan laut yang diperkirakan sebesar 12,54 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), tentunya laut Indonesia menjadi surga bagi para nelayan.

Kita boleh saja menuduh pontesi laut kita dicuri oleh asing sehingga kita tidak bisa menikmati kekayaan laut. Alasan itu ada benarnya namun bukan kesimpulan bahwa kegagalan kita mengelola sumber daya laut karena ilegal fishing. Terbukti selama 5 tahun era Ibu Susi, tidak sedikit kapal ikan yang ditenggelamkan. Apa hasilnya? tahun 2019 kita kalah dengan Vietnam dalam hal ekspor Ikan. Padahal sebelumnya nilai ekspor kita diatas Vietnam. Jadi apa penyebabnya sehingga potensi laut tidak optimal menjadi potensi ekonomi ? Itu karena business process yang ketat dan beresiko dan proses perizinan yang panjang.  Untuk lebih jelasnya saya uraikan di bawah ini.

Pertama, jumlah kontainer berpendingin (reefer container) sangat terbatas. Itu karena tujuan ekspor kita juga terbatas. Sehingga kapal tidak membawa reefer container yang cukup untuk kita muat. Hal ini disebabkan bisnis perikanan kita masih bersifat tradisional, belum masuk ke industri.  Apa akibatnya? tangkapan ikan yang melimpah, termasuk hasil tangkapan kapal eks cantrang, di Indonesia timur kerap menumpuk karena menunggu untuk diangkut hingga 10 hari. Lambat diangkut, kualitas jatuh, harga juga jatuh. Ini kadang membuat nelayan frustrasi.

Kedua, tidak semua pelabuhan perikanan memiliki alat bongkar muat kontainer. Di sisi lain, jumlah cold storage terbatas. Walau ada program untuk menempatkan lebih banyak kapal pengangkutikan di wilayah dengan stok ikan melimpah, namun faktanya itu hanya program yang tidak terimplementasikan. Apa pasal? panjangnya birokrasi melewati program itu. Seperti surat izin penangkapan ikan (SIPI), surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI) diatur sesuai potensi perikanan. Birokrasi inilah yang menghambat. Artinya kalau SIPI tidak banyak , program itu dihentikan walau potensinya besar. Belum lagi SIKPI yang sangat ketat sesuai lokasi, membuat pengusaha malas untuk angkut ikan ke pusat industri pengalengan ikan..

Ketiga, alih muatan ikan di tengah laut (transshipment) yang lazim di dunia sebagai metode bisnis penangkapan ikan paling efisien dilarang. Padahal dalam bisnis ikan dalam skala industri, efisiensi itu sangat penting. Karena ini menyangkut kualitas dan biaya produksi, dan harga jual. Seharusnya selama mengikuti regulasi dan dilaporkan, tidak perlu dilarang. Kan, pemerintah berhak menempatkan pengawas di atas kapal sehingga aktivitas alih muat tercatat dan terawasi dengan baik. Jangan hanya mau cari gampangnya agar tidak dicuri, izin transshipment dilarang. Padahal negara lain melakukan hal itu, dan semua baik baik saja.

Keempat, tidak mudah melakukan eksport. Pengusaha harus mendapatkan izin dari BKPM yang merupakan cabang dari KKP. Apa syaratnya?  pertama anda harus memiliki SKP atau surat kelayakan pengelolahan. SKP ini penting untuk mendapatkan izin mendirikan unit pengolahan ikan (UPI). Kemudian harus ada sertifikat manajemen mutu yang dikeluarkan oleh BKIPM. Bukan hanya sertifikat mutu tetapi juga harus ada  sertifikat HC atau health certificate yang merupakan sertifikat kesehatan ikan untuk dikonsumsi. Untuk bisa dikapalkan anda harus memiliki SPM yaitu surat persetujuan muat.

Cukup izin itu ? belum. Masih ada lagi. Anda harus punya alat traceability, yang terhubung denga GPS dan Satelit. Untuk apa ? untuk  mengetahui dimana anda menangkap ikan dan darimana asalnya. Ini untuk memastikan ikan anda tidak berasal dari illegal fishing. Atau tidak menangkap di lokasi yang tidak ditentukan oleh pemerintah. Walaupun anda beli ikan dari nelayan, tetap harus ada data tracing itu. Engga gampang kan.

Apakah selesai? belum.  Ingat, ikan itu untuk dikonsumsi manusia. Jadi kualitas sangat penting. Apalagi dia mudah rusak karena waktu. Kalau proses penangkapan dan paska tangkap tdak benar, maka tidak akan bisa memenuhi standar mutu. Nah sertifikat dari BKIPM saja tidak cukup. Anda harus lolos sertifikasi dari negara konsumen. Mengapa? Pasar eksport punya standar ketat soal mutu. Apalagi negara maju yang sangat concern dengan mutu dan kesehatan. Sertifikasi mutu yang harus anda penuhi seperti  international Featured Standards (IFS) dan/atau British Reatil Consrtium (BRC). IFS dan BRC dikenal di beberapa pasar Eropa. Untuk pasar AS harus punya sertifikasi FDA. Negara lain menggunakan standar  HACCP ( Hazard analysis and critical control points). Rumit kan?

Karena standar mutu yang ketat itulah makanya berapapun banyak tangkapan ikan belum tentu bisa menghasil nilai ekonomi. Karena memang engga mudah. Apalagi, pengusaha indonesia belum terlatih sebagai industriawan. Mereka umumnya punya mindset pedagang. Daripada capek ekspor mending impor saja untuk jual ke pabrik pengalengan ikan. Apalagi nelayan tradisional. Walau hasl tangkapan banyak, tetap saja nelayan miskin. Dan data statistik 10 tahun terakhir rumah tangga nelayan di Indonesia terus menurun dari 1,6 juta menjadi 800 ribu KK. Itu sebagai indikasi penghidupan dari nelayan engga punya masa depan.

Solusi 
Kita tidak bisa lagi mengandalkan pengelolaan perikanan laut dari nelayan tradisional. Kita harus mulai berani masuk ke industri perikanan. Caranya? dengan memperbaiki izin yang lebih ramah. Agar pemodal dan pengusaha yang berorientasi ekspor mau berinvestasi. Bukan hanya kemudahan perizinan, tetapi juga penyediaan infrastruktur pelabuhan perikanan berkelas dunia, yang dilengkapi coldstroge, stasiun BBM, pembangkit listrik yang cukup, fasilitas logistik seperti reefer container yang cukup, IT system pengawasan bongkar muat yang efisien, dan lain sebagainya. Semua pelabuhan berada dipusat produksi ikan dan bisa langsung di ekspor. Artinya semua pelabuhan itu adalah berkelas international. 

Kalau kita tidak masuk ke industri sektor perikanan, maka berapapun luas laut kita, tidak akan memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan nelayan tetap miskin. Pencurian ikan oleh nelayan asing akan terus terjadi, berapapun kapal pengawas perairan dikerahkan. Agar sumber pencarian nelayan tidak dikorbankan oleh pengusaha bermodal, maka izin penangkapan ikan bagi pengusaha besar dibatasi hanya di landas kontinen dan ZEE. Selagi diatur dengan baik, antara yang kecil dan besar tidak akan saling memakan. Masing masing akan berkotribusi kepada perekonomian nasional. Tawaran kerjasama perikanan di ZEE oleh Indonesia kepada China dan Vietnam, adalah solusi yang bagus dan sesuai dengan philosofi industri untuk mengangkat nilai ekonomi raksasa yang ada di laut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...