Rabu, 11 Desember 2019

Mengapa saya menulis ?


Setiap orang di alam bawah sadar nya tersimpan emosi dendam. Di era Sosmed ini letupan emosi itu nampak vulgar dalam bentuk hujatan yang tak senonoh. Setiap hari anda diingatkan oleh facebook apa yang anda pikirkan. Anehnya kalau ada peluang meletupkan emosi, karena postingan orang lain atau suasana hati yang tidak nyaman terhadap seseorang, maka yang terbaca adalah postingan yang mengaktualkan emosi bukan pikiran. Padahal facebook engga minta anda menulis apa perasaan anda tetapi apa pikiran anda. Kalau ada postingan yang memberikan peluang orang meletupkan emosi dendamnya maka postingan itu rame di like dan di komen. Ini kadang yang membuat saya dilematis.

Tentu tidak banyak orang yang mau membaca literasi. Umumnya lebih suka membaca singkat dan bisa mudah memancing emosi. Saya menulis dengan tujuan memperkaya pemahaman orang lewat literasi. Dan dari sana saya berharap ada masukan bagi saya sendiri. Kalau saya menulis tentang Gubernur DKI bukan berarti saya menghujat Gubernur sebagai pribadi. Saya hanya focus kepada kebijakannya. Itupun saya dapat pertanggung jawabkan secara intelektual. Itu bukan hoax. Sumber data yang jadi referensi jelas. Tapi karena dendam, orang yang memang secara personal engga suka Anies, postingan saya jadi ajang komen meletupkan emosi kekesalan. Padahal esensi nya bukan soal Anies, tetapi soal sistem yang harus kita suarakan agar dibenahi.

Dengan sistem yang baik maka siapapun yang memimpin akan menghasilkan karya terbaiknya. Sistem buruk akan membuat orang baik tersingkir seperti Ahok. Sama halnya saya tidak ingin membahas secara personal bobroknya direksi Garuda, dan juga BUMN. Tetapi saya focus kepada perbaikan sistem agar BUMN itu bisa melakukan perbaikan secara menyeluruh dan meningkatkan potensinya untuk negara. Saya tidak mau berpolemik dengan postingan Kadrun soal khiafah dan syariah dengan menyerang secara personal. Bagi saya itu engga penting. Buang waktu. Saya lebih baik focus kepada perubahan sistem dengan adanya amandemen UUD 45 agar secara konstitusi idiologi itu menjadi final. Sehingga tidak ada lagi perang narasi. Damaipun terjadi.

Saya pemilih Jokowi. Adalah tanggung jawab moral saya untuk mendorong Jokowi berani melakukan perubahan. Ya perubahan sistem. Jangan sampai politik kita diributkan karena masalah personal, dan tergantung kepada personal. Itu jelas menyesatkan. Kalau kita terjebak dengan perubahan adalah menghabisi direksi BUMN yang nakal, menghukum mati koruptor, menghabisi kadrun, kita hanya jadi kayu bakar dari sistem yang apa boleh buat sudah brengsek. Tapi kalau kita mendorong perubahan sistem , maka kita tidak lagi bergantung kepada personal tetapi sistem. By system, orang jahat akan tersingkir dengn sendirinya. Sistem yang baik bukan hanya menghasilkan kinerja terbaik tapi juga membuat kita mudah mengawasinya dan bisa berharap lebih baik.

Itulah visi dan misi saya menulis di fanpage. Saya tidak berharap jutaan orang like atau komen, tetapi walau sedikit yang like dan komen itu tidak ada masalah, asalkan saya tidak menulis untuk memuaskan emosi amarah orang tetapi memuaskan batin orang yang tidak lebay dan tetap rasiona

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Pemimpin Visioner...

  Pada tahun 1949, setelah melalui Perang Saudara antara Kelompok Komunis dan Kelompok Nasionalis, Kuomintang, yang akhirnya dimenangkan ole...