Ketika Herman Nicolas "Ventje" Sumual, Soemitro Djojohadikusumo, dan Ahmad Husein sedang makan di sebuah restoran di Singapura, beberapa orang-orang barat berpakaian santai mendatangi mereka.
“ Kami tahu kalian butuh senjata untuk memerangi Soekarno. Kami sia memberikan bantuan. “ Demikian maksudnya. Setelah itu, Sumual, Soemitro, dan Husein bertemu dengan Foster Collins, kepala kantor CIA Singapura. Collins berjanji membantu persenjataan untuk Permesta.
“ Kami tahu kalian butuh senjata untuk memerangi Soekarno. Kami sia memberikan bantuan. “ Demikian maksudnya. Setelah itu, Sumual, Soemitro, dan Husein bertemu dengan Foster Collins, kepala kantor CIA Singapura. Collins berjanji membantu persenjataan untuk Permesta.
Dari Singapore, Sumual yang merupakan pencetus Permesta pada 2 Maret 1957. meneruskan perjalanan ke Manila. Ia memperoleh simpati Angkatan Bersenjata Filipina. Pada saat itu di Filipina terdapat Pangkalan Militer AS, Clark. Di pangkalan militer yang ada di Okinawa dan Filipina, terdapat timbunan senjata dan perlengkapan militer. Orang-orang Indonesia, Filipina, China (Taiwan), Amerika dan para serdadu sewaan dan negara-negara lain juga telah siap di Okinawa dan Filipina untuk membantu pemberontakan PERMESTA.
Persenjataan modern dari Amerika antara lain senapan ringan kaliber 12,7mm, RPG atau bazoka, granat semiotomatis, senapan serbu infanteri, dan senjata‐senjata penangkis serangan udara. Bantuan kapal selam, pesawat pembom B-26 yang telah dimodifikasi sebagai pesawat pengangkut persenjataan, pelatihan militer kepada passukan PRRI. Para pelatih militer itu berkedok sebagai pegawai perusahaan minyak Caltex di Sumatera. Sementara di Sulawesi Utara, dengan kapal selam para serdadu AS lebih mudah masuk karena lokasinya dekat dengan Filipina.
Sementara kekuatan prajurit PRRI/PERMESTA tidak sedikit. PRRI /PERMESTA didukung beberapa panglima daerah di Sumatera yang menyatakan tidak setia kepada pemerintah Soekarno. Mereka antara lain Kolonel Maludin Simbolon, panglima di Sumatera Utara, Letkol Ahmad Husein, panglima di Sumatera Barat, dan Letkol Barlian di Sumatera Selatan. Guna menghadapi pemberontak ini, TNI menggelar operasi militer dengan sandi “Tegas” yang merupakan pasukan gabungan AD, AU, AL dan POLRI. Letnan Jenderal AH. Nasution ditunjuk sebagai Ketua Gabungan Kepala Staf. Saat itu pengerahan pasukan sangat besar melibatkan pesawat tempur, yang tentu butuh management logistik yang rumit.
Sasaran serangan pertama adalah Riau, pada maret 1958. Mengapa ? Riau adalah kawasan perminyakan yang merupakan sasaran yang diperhitungkan bagi intervensi Amerika Serikat. Disamping itu posisi Riau cukup strategis karena berbatasan dengan jalur lalu lintas laut internasional. Menguasai Riau akan menutup kemungkinan pemberontak melarikan diri melalui selat Malaka. AS dan Inggeris sudah punya taktik yang jitu agar mereka dapat terlibat lansung dalam perang ini, sudah dipersiapkan dengan matang. Apabila TNI berani melakukan serangan kepada pasukan PRRI maka para pemberontak akan melakukan aksi bumi hangus terhadap kawasan minyak Riau. Duta Besar AS Howard Jones didampingi pejabat tinggi Caltex menemui Perdana Menteri Juanda di Jakarta. Kedua tamu ini khawatir keselamatan warga dan investasi Amerika di Riau. Mereka mengisyaratkan ancaman. Armada Laut AS yang berpangkalan di Pasifik dan kesatuan militer Inggris di Singapura bersiaga di perairan Riau. Pasukan marinir AS akan diturunkan bila pemerintah Indonesia tak mampu mengamankan investasinya.
Tapi gerakan pasukan gabungan TNI tidak terdeteksi oleh pasukan AS dan Inggeris. Karena semua sandi komunikasi antara pasukan komando TNI menggunakan bahasa Jawa. Dini hari 12 Maret 1958, pesawat yang mengangkut pasukan elite yang terdiri dari RPKAD, Pasukan Gerak Tjepa (AU)t, Korps Komando (KKO) AL, Brimob (POLRI) berangkat dari Tanjung Pinang, Riau, terbang di cuaca yang tidak bersahabat. Mereka tergabung dalam komando “Kanguru”. Tugas mereka melakukan penerjunan untuk menduduki lapangan terbang dan kota Pekanbaru. Benarlah, kehadiran pasukan TNI tidak diduga oleh Pemberontak. Dengan gerak cepat pasukan elite TNI dengan kemampuan skill diatas rata rata pasukan reguler itu membuat pasukan pemberontak tidak berdaya. Pukul 07.00 lapangan udara Simpangtiga sepenuhnya dapat dikuasai oleh TNI. Menyusul kemudian kota Pekanbaru yang sudah dalam kendali TNI. Tidak ada perlawanan yang berarti. Sebagian persenjatan bisa direbut oleh TNI. Para pemberontak menyerahkan diri.
Pasukan RPKAD dari komando Kangguru pimpinan Letnan II Benny Moerdani, menyita sekitar 80 truk yang ditinggalkan di landasan lapangan terbang. Setelah digeledah, truk-truk tadi memuat kebutuhan logistik berupa persenjataan dan uang. Perbekalan asing itu terdiri dari senapan laras panjang Garand, Springfield, Recoilless, dan Bazooka buatan Amerika. Diketahui kemudian senjata-senjata mutakhir tadi berasal dari AS lewat para agen CIA. Setelah itu operasi penumpasan PRRI/PERMESTA terus berlanjut di wilayah lainnya. Sampai akhirnya tuntas. AS dan Inggeris tidak berkutik. Sementara para gembong PRRI seperti Soemitro Djoyohadikusumo melarikan diri ke Inggris dan AS. Beberapa tahun kemudian, CIA melalui operasi inteligennya berhasil menjatuhkan Soekarno dengan menempatkan Soeharto sebagai Presiden, dan Soemitro Djoyohadikusumo dipanggil pulang ke tanah air oleh Soeharto untuk membangun Indonesia melalui bantuan dari AS.
Jadi bukan China yang menjadi acaman kita. Karena sejarahnya China tidak pernah melakukan campur tangan untuk menguasai Indonesia melalui proxy nya. Tetapi AS dan Eropa yang pernah mencoba menganeksi bangsa ini melalui proxynya. Kemenangan Prabowo di wilayah ex PRRI, seperti Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan dan Sulawesi, seakan menyiratkan wilayah itu memang renta campur tangan asing. Dulu AS menggunakan Masyumi dan kini sama saja retorika Islam yang dipakai.
Referensi.
Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia (2010), Yoseph Tugio Taher.
Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua. Abdul Haris Nasution.
Operasi-operasi Gabungan terhadap PRRI-Permesta, Makmun Salim.
Film dokumenter ABC: Riding the Tiger.
Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan. Julius Pour
Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia (1999), Ken Conboy dan James Morrison.
PRRI-Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis (1996), Richard Zacharias Leiriza.
Permesta: Pemberontakan Setengah Hati (1984), Barbara Harvey
The Secret Team (1973), Kolonel Fletcher Prouty.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.