Sabtu, 28 Januari 2017

Cintailah aku...



Wanita itu datang dari kabut di satu sore yang mendung. Di antara detik suara gerimis dan leleh keringat yang bercampur dengan sengau napas yang mengeluarkan asap seperti naga yang kelelahan mendaki menuju pesanggrahan di kawasan perbukitan.. Wanita itu menyimpan mata yang aneh. Mata yang selalu murung meski urat-urat di sekitar mulutnya tertarik ke atas untuk mengukir sepenggal tawa. Mata itu membutuhkan kemampuan ekstra jenius untuk mengurai satu per satu sel-sel makna di dalamnya. Aku melihat Jesica sedang tidak menari di mata itu. Mata yang marah. Mata yang diam. Mata itu membutuhkan istirahat dari pertanyaan.
”Ini kali pertama aku datang ketempat ini. Inikah tempat persembuyianmu.”
”Aku juga. Ini tempat sengaja aku pilih agar kita bisa bicara tanpa ada kenangan masa lalu.?”
“ Hmmm..Masa lalu ? Belum juga setahun. “
“ Tapi setahun juga kan waktu..”
“ Terserah kamu ajalah.”
“ Kamu merindukan ku ?
“ Kenapa tanya ? Apakah kamu sedang mentertawakan aku dengan keadaan ku sekarang ? 
“ Tidak. AKu hanya sekedar bertanya. Engga boleh ?
“ Terserah kamu ajalah, Dono.”
“ Ketus amat sih. Lihat aku sekarang ada di hadapanmu. Tidak kah kau merindukan ku..ayo peluk aku,” Kataku sambil merentangkan kedua tanganku. Dia mejatuhkan kepalanya di dadaku. Matanya terpejam “ Lama sekali…” Katanya pelan seakan bicara kepada dirinya sendiri. Betapa dia sangat merindukan ku. Namun karena sifat egoisnya dia bertahan untuk tidak ingin bertemu denganku. Kecuali kalau ada masalah, dia akan menghubungiku. Dan aku selalu menantinya. Seperti sekarang ini.

Percakapan biasa dari sebuah pertemuan tampak biasa. Kami sudah saling kenal satu sama lain. Tak ada rahasia diantara kami. Aku merasa wanita itu telah ada dalam tubuhku beratus-ratus tahun yang lalu. Aku tahu sekali pertemuan ini harus terjadi dan entah kenapa aku percaya sejak awal bahwa dia tidak akan secure hidupnya tanpa aku.. Mata itu bicara. Mata itu merindukan kedatanganku. Mata itu dahaga  memandangku.
”Kamu seperti orang patah hati deh…” kataku.
” Memang. Kamu juga seperti orang stress.?”
”Memang. Jadi kita sama- sama orang cacat neh?”
”Cacat?”
” Iya, cacat emosi.”
Hujan sering turun dalam di gelap atau di pagi dengan kabut menghebat. Kami bicara banyak dalam kata, tapi juga kami bicara banyak antara mata. Dulu kami sering menikmati malam di cafe berkelas. Kami melihat orang datang dengan tawa dan senyum palsu. Wine berbotol dan wiski berloki loki di iringi musik jazz membuat suasana penuh kepalsuan terasanya nyata. Aku sangat suka caranya dia mentertawakan semua hal , termasuk derita. Baginya tidak ada orang baik yang ada orang cerdas. Orang pergi ke tempat ibadah bukan karena dia ingin mencari  Tuhan tapi karena stress memikirkan hidup yang tidak ramah. Mereka butuh pengalihan waktu barang sejenak agar bisa bertahan dalam kekalahan dan rasa kawatir. Juga orang yang datang ketempat hiburan. Bukan mencari kesenangan dan kebahagian dari uang berlebih. Tapi hanya sekedar lari dari kegalauan hutang yang belum dibayar, keluarga yang tak menentramkan, kompetisi hidup yang menyesakan. Semua orang berusaha recharge bateray kehidupannya, dan soal apakah itu tempat hiburan atau tempat ibadah sebagai pelarian hanyalah situasi dan kondisi kantong aja.

” Pelangi  itu indah.” Katanya memandang dari teras kearah ujung langit.
” Kupu-kupu juga indah, kamu tahu kan aku suka kupu-kupu?” Kataku cepat.
” Pelangi itu ajaib.” katanya sekenanya
” Cinta juga ajaib.” Aku menjawab cepat.
” Pelangi itu philosopi semesta. Penuh warna.” Dia mulai dengan keahliannya dalam hal analogi.
” Kamu hadiah semesta.”
” Aku mencintaimu…”.
” Kamu tidak mencintaiku tapi hanya terpesona saja?”
” Mengapa kamu bilang itu ? Kita telah bersama sama lebih dari 10 tahun.Apakah itu tidak cukup bagimu untuk mengetahui seoranga wanita mencintai atau tidak ”
” Kamu mencintaiku?” tanyaku kembali dengan senyum sinis.
” ya sudahlah. Engga usah bahas soal cinta. “
”Baiklah. Deal “ 
“ Jadi, untuk apa pertemuan ini ?
“ Kembali bekerja denganku.”
“ Kantor yang lama ?
“ Ya. Tapi tugas kamu sebenarnya bukan itu. Karena kantor itu sudah jalan sistemnya. Aku inginkan kamu terlibat dalam business process pendirian pabrik. “
“ Ah itu bukan masalah serius.Mengapa harus aku ? Katanya penuh selidik.
“ KIta butuh tekhnologi”
“ Dan kamu tidak bisa membeli teknologi itu dengan mudah kan ?
“ Tepat.”
“ Dan kamu butuh aku?”
“ Sinergi tepatnya. Saling membutuhkan.”
“ Yang pasti kalau kamu butuh orang, kamu akan bujuk orang, Termasuk aku yang sudah dibuang di pungut lagi.”
‘ Jangan begitulah. Aku percaya kamu.”
“ Ya karena aku tergila gila dengan kamu dan mau melakukan apa saja demi kamu, ya kan ?
“ Duh..bisa engga jangan ketus terus. Pening kepalaku, sayang”
“ Aku marah dan kesal dengan kamu tapi tidak punya alasan untuk menghilang darimu.”
“ Ya karena kamu mencintaiku.”
“ Naip ya.”
“ Engga juga. Itu berkah dari Tuhan. Sabar aja. Lihat sisi lain dari hubungan kita.”
“ Entahlah…”
“ Jadi gimana ? mau kerja lagi dengan aku.?
“ Mengapa kamu harus tanya lagi. Kamu kan tahu aku wanita yang terjebak dari kerakusan pria yang kucintai namun tidak pernah bisa kumiliki. Aku tidak bisa menolak. Paham !
“Paham ”
“ Puas !”
“ Biasa sajalah..” 
“ Kapan mulai kerjanya ?
“ Kapan kamu siap “
“ Ok.”
 ( BERSAMBUNG )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Dampak kebijakan Trump ..

  Trump bukanlah petarung sejati. Dia tidak punya seni bertahan sebagai seorang petarung yang punya ketrampilan bela diri dan kesabaran. Ret...