Semua orang pintar dari kalangan politisi, agamawan, tentara, budayawan, intelektual dan akademisi semua ada di Jakarta. Namun Jakarta harus menyembunyikan wajah aslinya ketika tamu asing datang ke rumahnya. Dengan susah payah, Jakarta memoles rupa demi menciptakan kesan PANTAS sebagai Ibu Kota dari sebuah bangsa besar dan kaya raya bernama Indonesia! Sementara McDonald dan Sogo dikibarkan namanya di jalan utama Jakarta. Setiap pinggir jalan utama selalu berjejer papan iklan dengan menawarkan produk modern yang berkompetisi. Malam hari papan iklan itu bertabur cahaya warna warni ribuan watt. Sementara peduduk miskin bantaran kali harus mencuri listrik dari bentangan kabel di depan rumahnya. Tentu saja dengan ancaman resiko kesetrum atau rumah terbakar melahap segalanya begitu saja. Akhirnya, pemerintah kota punya alasan untuk mengusir mereka dengan melarang rumah yang terbakar di bangun kembali. Kelak tanah bekas kebakaran itu akan berubah menjadi mall atau apartement mewah. Makanya tidak aneh bila Jakarta, menyimpan dendam kaum pinggiran akibat ketidak adilan.
Namun bagaimanapun, walau dengan segala kecarut-marutannya, saya menyukai Jakarta. Karena di sini berdiri Masjid terbesar di Asia Tenggara. Masjid megah yang selalu dijaga Satpam dua puluh empat jam agar tidak dijadikan tempat singgah para musafir miskin dan tuna wisma. Kadang aku menyadari mereka yang paling pandai bicara kebenaran tentang Tuhan dan agama adalah mereka yang mengaku fundamentalis. Mereka garang dengan pentungan di tangan, melabrak semua yang berbau maksiat. Mengejek korupsi dan prostitusi dari kejauhan. Mereka hendak menciptakan dunia seperti yang mereka mau untuk beres dan dirahmati Tuhan. Namun yang beres dan rahmat itu memang sulit datang karena memang Tuhan tidak ingin dunia beres dengan cara mereka. Tuhan ingin perubahan terus menerus sampai akirnya manusia tidak berharap apapun kecuali membagi cintanya kepada siapapun untuk berdamai dengan kenyataan. Yang baik dan jahat selalu bersanding untuk menguji siapapun agar menjadi sebaik baiknya kesudahan.
Dulu tahun 90an teman saya berkata kepada saya, “ Kalau kamu mau tahu bagaimana buruknya pengaruh dari Korupsi maka datanglah ke Jakarta. By process kota ini runtuh, pelan-pelan, dan air bah yang mengepungnya selama berhari-hari dengan mudah merusak yang sudah di bangun dengan susah payah. Kota ini jadi sebuah cerita tentang negeri yang di habisi oleh kekuatan jahat yang tak tampak tapi ganas. Jika hujan, tak punya lagi bukit dan hutan, jika curah air tak punya tempat yang menyerap dan menyimpannya, pasti ada kekuatan keji yang bekerja. Bidang bumi yang vital itu telah direbut oleh para developer real estate, dan segala aturan yang di buat untuk mencegah perebutan itu di langgar dengan jelas setiap hari, dengan terang, seperti ayam putih terbang siang.
Maka jika kota ini runtuh, ia adalah sebuah kisah tentang para pejabat penjaga peraturan yang telah tidur selama bertahun-tahun, gubernur-gubernur yang tak bergerak karena kekenyangan suap, pejabat yang bodoh atau abai, tak melakukan apa-apa. Jika kota ini runtuh, saya tak tahu bagaimana orang akan bertindak setelah ini. Mungkin mereka akan kembali mengais-ngais nafkah dari apa saja yang tersisa dari kerusakan ini, dan bekerja, makan, beribadah, nonton TV, mendengarkan radio, bersetubuh, jalan kaki, tanpa menyalahkan siapa pun. Lalu lupa. Mungkin akan ada orang yang marah, tahu bahwa banjir ini adalah anak haram birokrasi yang busuk dan bisnis yang tamak, tapi mereka marah bersendiri. Mereka akan memaki-maki di gagang telepon atau di pinggir gang yang becek dengan sejumlah kenalan dan, setelah itu, merasa tak berdaya dan terdiam.”
Setelah beberapa tahun reformasi. Pembaharuan UU dan sistem berubah. Namun jakarta tidak nampak perubahan significant. Jika kota ini runtuh, mungkin karena orang-orang tak mengharap bahwa polisi, jaksa, dan hakim atau KPK akan menghukum sejumlah penjahat yang mendapat uang berlebihan seraya menghancurkan Jakarta. Tak ada yang melihat ada jalan yang bisa ditempuh yang menyelamatkan. Semua tahu bahwa untuk menghentikan persekutuan jahat itu akhirnya harus ada sebuah alat: kekuasaan. Tapi sudah bertahun-tahun kita hidup dengan asumsi bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang jauh dan ajaib, bukan sesuatu yang bisa di produksi oleh proses politik.
Maka di bawah mistifikasi kekuasaan, orang pun mencari jalan lain dengan mistifikasi ke-tidak-kuasaan. Terkadang dalam bentuk doa, terkadang dalam petuah budi pekerti. Seakan-akan jalanan macet yang terjadi setiap hari adalah sesuatu yang tak bisa diterangkan—yakni ia bukan sebuah problem, melainkan sebuah misteri. Seakan-akan penyelewengan dan korupsi tak bisa di telaah sebab dan strukturnya, tapi di duga bersembunyi, sebagai akhlak yang bernoda, di lubuk hati. Seakan-akan untuk lepas dari rawa-rawa sekarang kita hanya bisa di bisiki dan di angkat oleh Yang Gaib.
Jika kota ini runtuh, pelan-pelan, kehancuran itu mungkin di tandai dengan hadirnya kembali rasa tak berdaya di depan Yang Gaib: kita ketakutan mendengar petir dan memandang mendung, seolah-olah itu adalah isyarat buruk dari kahyangan. Sebab setiap kali hujan turun baru, kita tahu apa yang akan terjadi: jalan jadi sungai kembali, mungkin lebih luas dan deras. Rumah, toko, bengkel, tempat kerja, akan musnah. Listrik mungkin akan mati. Telepon akan rusak. Bandara akan tak terjangkau. Bus dan truk antarkota tak akan datang. Tak akan ada konsumen, tak ada buruh, tak ada pedagang. Yang ada para pengungsi dan, di sana-sini, pencoleng kecil di jalan di mana ribuan mobil merayap, dikepung air.
Bayangkan: sebuah ibu kota republik, sebuah kota metropolitan, sebuah ruang hidup dengan gedung-gedung pemerintah yang megah, dengan bank-bank yang rajin, dengan Pasar Modal dan World Trade Center, dengan perguruan tinggi yang bangga, dengan rumah sakit yang beperkakas piawai, dengan ratusan ribu lulusan universitas, dengan para teknokrat yang pintar, dengan markas semua Ormas Islam dan tempat bermukimnya Ustad terkenal, dengan jaringan WIFI tersebar disetiap Mall: sebuah kota pada abad ke-21—ternyata sebuah kota yang rentan dan ketakutan di bawah hujan. Dusun-dusun yang kumuh memang layak gentar kepada alam yang masih agung dan misterius.
Tapi Jakarta: ia lumpuh bukan di hadapan gempa tektonik yang besar, bukan puting beliung yang bengis, bukan tsunami. Dengan kata lain, ini adalah sebuah kota yang telah dibuat tak berdaya. Jakarta adalah sebuah kota di mana korupsi bukan sekadar mencolong. Di kota ini, korupsi bukanlah sekadar perbuatan jahat para gubernur atau para birokrat yang “membangun” wilayah dengan menyulap biaya sampai melambung. Bukan sekadar pembuatan proyek fiktif atau tanpa guna untuk mendapatkan anggaran. Bukan sekadar perilaku rutin para petugas izin bangunan yang minta sogok dan dengan itu membiarkan lingkungan hancur. Bukan sekadar polisi dan jaksa dan hakim yang buncit oleh bayaran mereka yang seharusnya dihukum karena penghancuran itu.Tapi memang kekuasaan by sistem membiarkan penjarahan terjadi begitu saja.
***
***
Rakyat jakarta bosan dengan kekuasaan yang menjadikan Jakarta kampung gembel dan tempat orang berkumuh ria dan sumpek. Kota mentropolitan yang memalukan di tengah pergulatan international. Mereka butuh perubahan. UU Pilkada Langsung di manfaatkan mereka untuk menjadikan Jogowi walikota Solo dan Ahok bupati Belitung untuk terpilih sebagai pemimpin Jakarta, agar ada harapan perubahan lebih baik. Ahok bertekad membantu melaksanakan visi Jokowi, merubah Jakarta dengan cara merubah budaya korupsi menjadi budaya passion, eternity, sincerity untuk kebaikan, kebenaran dan keadilan. Mungkin menurutnya, membangun Jakarta adalah merubah mental birokrasi menjadi meritokrasi. Untuk merubah semuanya itu, ia terlebih dahulu meyakinkan kepada dirinya untuk tidak tercemar budaya korup yang sudah berakar di DKI. Benarlah perubahan itu nampak dan dapat di rasakan oleh penduduk Jakarta.
Setelah Jokowi jadi Presiden, Ahok menjadi Gubernur. Ia ingin menghentikan proses Jakarta tenggelam, menghentikan proses Jakarta runtuh karena para pencoleng di gedung DPRD dan Balaikota. Kekuasaan memang harus bersikap keras untuk merubah jakarta, katanya. Kadang bahasa kebenaran terkesan menyakitkan bagi sebagian orang. Tapi Ahok tidak peduli. Dia terus melangkah dengan cara dan niat baiknya. Ahok sadar bahwa korupsi adalah biang kerusakan Jakarta. Karena itu dia terlalu banyak menciptakan musuh sehingga selama dia memimpin jakarta, goncangan politik terus terjadi tanpa henti. Tidak ada hari tanpa berita tentang Ahok. Ia menjadi pembicaraan bukan hanya dalam negeri tapi juga luar negeri. Di tengah suhu politik memanas itu pembangunan terus berlangsung dan kontroversial. Ia di benci dan juga di cintai, tentu itu karena dia berbuat.
Ahok memang tidak di sukai oleh sebagian umat islam, dan bahkan ada yang dengan tegas tidak mengakui pemimpin non muslim. Kini dia ikut berkompetisi memperebutkan korsi DKI-1. Mungkin dia akan kalah, atau bisa saja dia menang. Namun apapun takdir Ahok, itu juga adalah takdir kita. Biarlah waktu nanti yang akan berbicara …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.