Han, entah mengapa aku ingin berkirim surat kepadamu. Lewat email ini segala hal mudah di sampaikan, dan kali ini aku tidak akan menyebut “ Uda” tapi Han. Ya cukup Han saja. Karena kamu sekarang benar benar sudah jadi sahabatku. Tidak ada ikatan apapun secara bisnis. Secara emosi ada dinding tebal memisahkan kita karena statusku sebagai istri orang. Sehingga tidak memungkinkan kita bersedekat seperti dulu, tidak mungkin lagi ya kan, Han
Han, seperti biasa, ia tak menoleh ketika aku menggeliat mengeluarkan suara manja. Aku pun bangkit. Kubiarkan selimut yang semula menempel di dada akhirnya terjatuh. Dingin memang. Tapi itu justru memberiku cukup alasan untuk bersegera merangkak mendekatinya dan menekankan payudaraku ke punggungnya. “Sudah terbangun cukup lama?” tanyaku. Ia masih saja tak menghiraukanku dan tampak asyik membaca buku tebal.
***
***
Aku dan Andi Ng pertama kali bertemu dua tahun yang lalu. saat itu aku sedang galau karena keputusanmu Han, menempatkan Yuli ke asrama di Singapore. Dalam keadaan seperti itu, di dalam pesawat , sang pilot dengan simpati menyampaku. Dan aku lebih senang lagi, karena rupanya pilot itu tertarik kepadaku—bisa kupastikan itu dari tatapan matanya. Ia meminta nomorku yang bisa ia hubungi. Kuberikan Business card ku dan diapun memberi ku.
Beberapa jam setelah kami berpisah malam itu, ia mengirimiku SMS. Dua hari kemudian, ia meneleponku. Lima hari setelahnya, ia mengatakan ingin sekali bertemu denganku. Maka kubilang, “Ke sinilah. Mungkin kita bisa sekalian ngobrol-ngobrol dan kamu bisa memberitahuku bagaimana caranya mengendalikan pesawat di tengah badai.” Rupanya, ia menanggapi perkataanku itu dengan serius. Pada hari kedelapan belas sejak pertemua itu kami bertemu di Cafe, plaza Senayan. Ada rasa tersengat, tentu saja, melihat sosoknya itu berdiri di hadapanku. Singkat kata kami pun berbicara tentang berbagai hal
“Aku menyukaimu dan ingin kembali bertemu denganmu,” katanya besok harinya, Aku tersenyum. Dua bulan setelah saat itu ia datang lagi, dan kami berdiskusi banyak hal. Mungkin yang tak dia minati adalah business. Selebihnya dia menyenangkan, Han. Di salah satu malam yang kami lalui bersama, aku pernah menanyakan padanya bagaimana sesungguhnya perasaannya padaku.
Ia bilang, ia menyukaiku, tapi tak lebih dari itu. Tak bisa.
“Kenapa?” tanyaku.
“Karena aku sudah memiliki seseorang,” jawabnya. “Dan dia adalah istriku dengan dua anak,” lanjutnya.
Aku pun mengerti. Ia sempat cemas dan bertanya apakah kejujurannya itu mengusikku. Kujawab dengan senyum percaya diri. Pada malam selanjutnya ia memberiku sebuket mawar merah dan beberapa buku. “Ini untuk mengurangi rasa bersalahku,” katanya. Kukatakan bahwa itu tak perlu, sebab aku sama sekali tak pernah menganggap ia bersalah. “Tapi aku merasa bersalah,” desaknya. Jadi kuterima saja.
Namun rupanya itu memberinya peluang untuk menciumiku di bibir, aku mengelak. Di pipi, akupun mengelak. Di leher, di bahu, aku mundur dengan perasaan tersinggung.
“Kamu tahu, kurasa aku mulai mencintaimu,” ucapnya.
“Apakah itu berbahaya?” tanyaku.
“Sangat,” jawabnya.
Namun lagi-lagi rupanya itu tak menghentikannya untuk mencoba menciumiku tapi tetap aku tolak, yang akhirnya aku kehilangan respect terhadapnya. Bukannya aku munafik melepaskan kesempatan di cumbui pria hebat, apalagi aku sudah menjanda lama. Bukan, Han. Aku hanya ingin hubungan yang tulus, bukan karena kencantikan wajah atau kulitku yang putih bersih, Bukan. Tapi aku tidak melihat ketulusan itu.
***
Berbulan bulan lamanya sejak saat itu kami tak berkomunikasi melalui telepon maupun SMS. Kukira saat itu ia akhirnya memutuskan untuk berhenti dan mulai sepenuhnya mempersiapkan diri untuk membangun kembali rumah tangganya yang retak berderak. Akan tetapi, suatu pagi, ia membangunkanku, dan mengatakan betapa ia merindukanku dan tak bisa berhenti memikirkan ku.
“Aku juga,” kataku, yang kemudian kusesali.
Beberapa hari setelahnya kami kemudian bertemu. Kali itu aku yang mendatanginya di Singapore. Konyolkan, Han. Hanya sejengkal dengan apartement tempat istri dan anak anaknya tinggal. Dalam pertemuan di sebuah cafe di Mandarin Hotel, awalnya kami berdiskusi hal yang sederhana. Tapi akhirnya aku meminta pendapatnya tentang pria yang punya karakter seperti kamu , Han. Kamu tahu Han, apa pendapatnya? Dia mengatakan bahwa pria tersebut secara GEN tidak punya sifat pendendam, yang tentunya tidak bisa membeci, apalagi sakit hati. Pria seperti ini, dia tidak akan paham arti mencintai seperti yang kita persepsikan. Dia tidak akan merindukan siapapun, dan tidak merasa takut kepada siapapun. Kalau dia memberi, karena itu memang secara pantas dia harus memberi. Kalau dia melindungi , itupun biasa saja. Tidak ada alasan melodrama yang kita harapkan dari sikap kelembutan kasihnya.
Kalaupun dia menikahi wanita , itu bukan karena dia ingin memiliki wanita seperti pria lainnya yang merasa unggul menaklukan hati wanita dengan kegantengan dan harta, atau kata kata. Baginya menikah adalah perintah Tuhan. Itu saja. Apapun yang dia lakukan kepada istri dan anak anaknya , itupun karena alasan Tuhan. Dia tidak akan memanjakan mereka, namun selalu ada ketika hal yang penting harus di adakan. Dia tidak perlu merindukan semua hal sehingga merasa kawatir berlebihan. Hidupnya terkesan datar saja. Tanpa gelombang. Dalam bisnis juga begitu. Tak lebih. Kalau deal menguntungkannya , tidak akan membuat dia euforia. Kalau rugi , atau bahkan bangkrut , tidak akan membuat dia hancur. Mengapa ? Berapapun laba bertambah, tidak akan membuat dia kehilangan dirinya. Harta dia perlukan tapi itu hanya option. Sama halnya dengan sex, itu juga option. Kalau ada , yang di pakai seperlunya dan kalau engga ada, diapun bisa melupakan, Namun caranya selalu menurut standar nya sendiri sesuai agama yang dia yakini. Jangan kamu bayangkan dia bisa membeli sex untuk kepuasannya dan membeli barang bermerek untuk memuaskan egonya. Tidak mungkin.
“ Begitukah pemahamanmu tentang pria yang kumaksud” Tanyaku kepada Andi.
“ Ya. Aku pernah baca buku psikologi tentang manusia yang punya kepribadian seperti itu. Kadang orang salah duga bahwa dia punya ke pribadian ganda, seperti bunglon. Karena dia bisa bersikap humanis sebagai sahabat dan bisa juga sebagai petarung ketika berbisnis. Sebenarnya, karakternya satu saja. Dia menggunakan akal dan hatinya ketika bersikap. Yang membuat dia terkesan aneh, adalah di akalnya tidak ada storage informasi tentang dandam dan benci. Memang GEN sebagai cetak biru kehidupannya tidak ada buku yang memuat bagaimana membenci dan dendam. Ya semacam kelainan jiwa. Kalaupun ada orang seperti itu, pasti tidak banyak, atau mungkin tidak ada.”
Jangan marah ya Han. Aku tidak bilang bahwa itu karakter kamu. Aku berusaha mendebatnya, namun akhirnya semakin membuat aku tercerahkan, tentang alasan dibalik kebaikan demi kebaikan kamu kepadaku. Aku mengangguk-angguk saja meski sesungguhnya begitu dongkol dan dalam hati terus bergumam: orang yang teguh dengan prinsipnya memang terkesan kelainan jiwa. Tapi sebetulnya kita sendiri yang tidak punya prinsip. Pragmatis. Sehingga menilai orang seperti itu, punya kelainan jiwa.” Ketika ketegangan sudah benar-benar menghilang, ia akhirnya tersenyum, meraih tanganku, dan berkata, “Aku merindukanmu beberapa hari ini. Sangat.”
***
Han, Sejauh itu hubungan ku dengan Andi terkesan hambar. Namun ketika dia sedang off, selalu sepanjang waktu itu ia habiskan berdua saja denganku. Kadang itu membuatku bertanya-tanya, apakah ia dan istrinya masih hidup serumah?
Suatu saat akhirnya kuutarakan keherananku itu padanya dan ia menjawab cepat, “Masih kok.” Sambil sesekali menatap mataku ia menjelaskan bahwa apapun yang telah terjadi di antara kami, ia tak akan mengubah keputusannya untuk menceraikan istrinya.
“Apakah kau mencintainya?” tanyaku.
“Tentu saja,” jawabnya, dengan raut muka seperti awan gelap yang memadat. Ketika kuungkapkan keherananku dengan sikapnya itu, betapa ia mengakui pernikahannya adalah takdir yang tidak sanggup dia pikul, dan karena kasih Tuhan mengirim aku kepadanya. Ini pengkhiatan halal dan harus di maklumi sebagaimana ia mengatakan sesuatu yang membuatku terdiam, “Ia tahu kok hubungan kita ini.” Lima detik, dua belas detik, kuhabiskan dengan ternganga.
“Benarkah itu?” tanyaku.
“Ya,” jawabnya.
Di setiap malam aku terus memikirkannya dan akhirnya aku jadi tak bisa benar benar mencintainya. Dua minggu setelah saat itu, aku memberanikan diri untuk menemuimu Han, Ingat engga ketika kita di cork and screw, Plaza Indonesia, membicarakan soal hubunganku dengan Andi Ng. Sebenarnya, Andi sudah sejak lama mewanti-wanti agar aku tak mencoba-coba menemui mu membicarakan hubungan dengannya. Tapi aku sudah memikirkannya masak-masak selama dua minggu dan kusimpulkan bahwa hari-hariku tak akan tenang jika aku dan kamu tak bertemu. Maka, ketika pertemuan riskan itu terjadi, besar harapanku kamu memberikan pernyataan yang entah bagaimana bisa menghapuskan kegelisahanku.
Ternyata, yang terjadi adalah benar adanya. Kamu menasehatiku untuk tabah dengan penuh maklum bahwa aku bukanlah wanita pertama yang pernah di cintai Andi Ng. Sebetulnya jawabmu tidak begitu penting. Namun, Han, ketika itu aku membayangkan kamu menasehatiku untuk tahu resiko mencintaimu dan berharap menjadi istrimu. Yang jelas aku tak akan sanggup memenuhi syarat seperti yang kamu tetapkan. Kamu jujur tapi Andi Ng, tidak bisa jujur.
Sejak saat itu, aku sebisa mungkin menghindari pertemuan dengan Andi Ng. Alasan demi alasan kuberikan. Rindu demi rindu aku simpan. Hingga akhirnya, pertemuan kembali tak terhindarkan.
“Menurutmu, apakah aku ini orang yang setia?” tanyanya.
Aku terpaku, lantas menggeleng.
“Entahlah,” kataku. “Kau bilang apapun yang terjadi di antara kita, istrimu akan diceraikan. Kurasa, itu suatu wujud ketidak kesetiaanmu “. Tapi kamu…”
“Terus meyakinkanmu ?” potongnya.
“Ya,” jawabku.
Ia diam, beberapa detik.
“Bukankah itu suatu wujud kesetiaanku padamu, bahwa perceraian itu terjadi karena tekadku memberikan diriku padamu?”
Giliranku yang terdiam. Benarkah itu? pikirku. Dan senyum di wajah Andi Ng itu seperti berkata, “Ya.”
Maka aku pun tak lagi ambil pusing dengan semua itu. Biarlah ia kelak bercerai dan kami akan menikah. Biarlah ia terus mengatakan padaku bahwa seseorang itu baik-baik saja dan perkawinan kami tak akan melukai siapapun.
***
***
Satu hal kutanyakan, “Tidak kah kamu ingat kenangan malam pertama dengan istrimu. Menerobos selaput virgin nya. Apakah itu tidak ada artinya lagi kini?” Ia menjawab, “Malam itu, kami sama sama menikmati.Biasa saja” Oh.. Aku pun sepertinya mengerti mengapa setelah malam pertama dengannya , ketika aku terbangun dia asyik dengan bukunya. Sepertinya tidak ada arti hubungan intim suami istri ini. Atau mungkin baginya hubungan intim adalah mutual benefit karena mutual orgasm. Artinya dia hanya anggap hubungan intim hanyalah bisnis. Padahal banyak hal yang ingin kubicarakan dengannya , tentang rencana kesibukanku selama dia terbang, tentang Yuli yang terus kamu tanggung biayanya. Apalagi Han, setelah bosan membaca dan matanya mengantuk, dia mematikan lampu, tidur memunggungiku. Itu kehidupan perkawinanku kini, Han.
Benar katamu, Han, memang tidak ada hubungan yang sempurna namun rasa hormat tidak boleh hilang. Bukankah kita hidup berjuang untuk kehormatan diri di hadapan manusia dan Tuhan. Rasa hormat itu tidak kutemukan dari Andi Ng. Sementara bertahun tahun aku bersama mu, Han, walau bukan istrimu aku mendapatkan rasa hormat. Persahabatan yang kamu maknai memang menempatkan rasa hormat yang harus di bayar dengan kelapangan hati untuk mengerti satu sama lain.
Benar katamu, Han, memang tidak ada hubungan yang sempurna namun rasa hormat tidak boleh hilang. Bukankah kita hidup berjuang untuk kehormatan diri di hadapan manusia dan Tuhan. Rasa hormat itu tidak kutemukan dari Andi Ng. Sementara bertahun tahun aku bersama mu, Han, walau bukan istrimu aku mendapatkan rasa hormat. Persahabatan yang kamu maknai memang menempatkan rasa hormat yang harus di bayar dengan kelapangan hati untuk mengerti satu sama lain.
Tidak, Han, aku harus akhiri perkawinan ini. ***
Jakarta 2016
Potato Head Bar & Resto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.