“Jawaban terhadap permasalahan ilmiah, bisnis, dan sosial yang paling penting saat ini terletak pada data.” —Gurjeet Singh. Ungkapan itu ada benarnya. Data itulah yang membedakan orang waras dengan orang gila. Orang waras selalu berbuat dan berpikir berdasarkan data. Karena dia sadar setiap perbuatannya akan berujung kepada dua hal pemenang atau pecundang. Orang gila tidak punya pilihan makanya dia tidak butuh data.
Saya selalu berpikir tentang data. Namun saya juga harus tahu bagaimana data sampai kesaya. Saya percaya metode sains dalam survei. Membaca data dan informasi tidak bisa hanya berdasarkan apa yang tertulis. Percaya begitu saja. Anda harus punya kemampuan menganalisa keterkaitan data satu dengan data lainnya. Jangan membuat keputusan kalau data tidak anda “ kuasai” Dalam politik di era modern yang menganut sistem demokrasi langsung. Strategi kampanya sangat ditentukan oleh penguasaan data dan informasi.
Tahun 2019. Di tengah gencarnya hasil survey tentang elektabilitas Paslon, saya tertarik dengan Survey yang dilakukan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2018 tentang kerukunan beragama dan dilaporkan tahun 2019 sebelum Pilpres. Laporan ini tidak begitu diperhatikan oleh orang banyak. Tapi saya baca data utuh ( file pdf ) itu dengan seksama. Apa isi data itu? membuktikan bahwa tingkat kerukunan di Indonesia itu tinggi, Skor 73,83%. Sementara strategi Prabowo berlawanan dengan hasil Survey itu. Yang justru sangat yakin bahwa politik identitas menentukan kemenangan. Makanya ijma Ulama dikampanyekan secara luas agar orang terikat untuk memilih atas dasar agama. Belum lagi ormas intolerans ada dikubu Prabowo.
Apa yang terjadi ? Prabowo kalah dan Jokowi menang tipis terhadap Prabowo. Kekalahan yang menyakitkan tentunya. Apalagi Jokowi menang bukan karena Jokowi lebih hebat dari Prabowo dan diidolakan oleh mayoritas rakyat Indonesia. Tetapi karena kubu Prabowo di-personifikasikan dengan golongan intoleran atau politik identitas. Padahal hasil Survey itu dalam konteks politik menjawab konkrit orientasi dan minat serta behaviour masyarakat Indonesia yang pluralis. Mayoritas rakyat Indonesia tidak suka politik identitas. Mereka lebih suka hidup rukun diatas perbedaan agama. Kubu Prabowo anggap angin lalu saja hasil survey ini. Ya kalah bego.
Pilpres 2019 adalah contoh kegagalan Prabowo karena salah membaca data dan tentu salah memilih strategi kampanye. Prabowo lupa. Bahwa kemengan Anies pada Pilkada DKI tidak bisa di copy paste. Justru karena kemenangan politik identitas pada Pilgub DKI 2017, mendorong meluasnya kampanye anti intolerance. Civil society bangkit menolak politk identitas. Karena mencederai nilai nilai demokrasi. Sehingga menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mengutamakan kerukunan beragama. Hasil Survey Puslitbang Bimas Agama tahun 2019 membuktikan itu.
Berkaca kepada kekalahan Prabowo yang mengusung Politik identitas itu, dan Survey yang dilakukan Litbang Kompas pada tahun 2022. Hasilnya 72,6% masyarakat menentang sikap Intoleran. Makanya Nasdem dalam mengusung Anies, tidak memakai politik identitas. Tetapi politik Perubahan. Mengapa politik perubahan? Mayoritas rakyat sudah muak dengan oligarki. Mereka inginkan perubahan. Terutama berharap perubahan etika demokrasi untuk tertipnya hukum dan law enforcement jalan. Perubahan yang dimaksud adalah mengurangi atau menghapus oligarki. Nah Juli tahun 2023, Lembaga Survei Australia Utting Research, membuktikan itu, 81% responden inginkan perubahan.
Bagaimana dengan strategi kubu Prabowo memilih Gibran sebagai Cawapres ? Itu juga kesalahan fatal. Survei Litbang Kompas oktober 2023, menunjukkan, sebanyak 63,7 persen responden menyetujui adanya aturan yang membatasi praktik politik dinasti. Hasil survey itu tidak jauh beda dengan hasil Survey ketidak sukaan masyarakat akan sikap intoleran. Mengapa? sejatinya rakyat Indonesia itu tidak suka dengan paham feodalisme (termasuk didalamnya primodialisme). Artinya mayoritas rakyat itu tidak bego amat. Hanya saja mereka tidak berani bicara banyak. Dan mereka bersikap saat berada dibilik suara.
Bagaimana dengan approval rating Jokowi diatas 70%. Apakah berpengaruh terhadap Paslon Prabowo-Gibran. Data survey Litbang Kompas berkaitan dengan penundaan pemilu, menunjukkan 62,3% responden ingin pemilu tetap diselenggarakan pada tahun 2024. Artinya walau Approval rating Jokowi tinggi. Itu tidak otomatis orang inginkan Jokowi terus berkuasa atau endorsed nya terhadap paslon diakui. Mayoritas rakyat bersikap enough is enough.
Peran Jokowi sebagai presiden bisa saja mempengaruhi kemenangan Paslon Prabowo-Gibran. Maklum Jokowi masih mengendalikan aparatur negara dari pusat sampai ke daerah. Tetapi tidak significant. Artinya kalau suara Paslon Prabowo-Gibran tertinggal diatas 5%, engga mungkin kekuasaan Jokowi sebagai presiden bisa intervensi. Karena berpotensi akan menimbulkan Chaos. TNI dan Polri tidak akan mendukung itu. Mereka engga mau ambil resiko. Kalau strategi Prabowo mengusung Gibran sebagai cawapres bisa menang mudah, tidak akan ada artinya kalau kalah diatas 5%.
Berkaca pada hasil survey tentang arus perubahan, yang menolak politik dinasti ala feodal dan primordial, Paslon GAMA menggunakan jargon perubahan dalam arti memperbaiki program Jokowi dan ditingkatkan agar lebih baik. Terutama soal ketahanan pangan, program hilirisasi yang berbasis supply chain pada industri downstream dalam negeri, lewat perbaikan sistem pendidikan dan litbang. Kalau GAMA tidak manfaatkan arus perubahan ini, maka AMIN akan menang mudah. Jadi wajar kalau Ganjar kritik Jokowi. Kalau engga, dia akan dianggap bagian dari oligarki. Dan kemungkinan yang pasti menang ya AMIN yang punya jargon perubahan.
Survey Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bank Indonesia (BI) menunjukkan adanya tren penurunan belanja. Terutama untuk kelompok masyarakat dengan pengeluaran sampai Rp4 juta per bulan. Survey itu juga menemukan konsumsi masyarakat menengah ke bawah Indonesia tercermin tertahan. Apa jadinya kalau harga kebutuhan pokok terus naik. Harga beras tadinya 10.000 sekarang udah diatas itu. Gula juga naik. Dampaknya kemana mana itu. Sementara perlambatan ekonomi kemungkinan masih akan terjadi sampai akhir tahun 2024. Ini fakta yang tidak bisa ditutupi dengan pencitraan kesuksesan membangun infrastruktur dan IKN. Ingat loh, pendapatan sampai Rp. 4 juta itu jumlahnya ada 80% dari populasi negeri ini. Kan konyol kalau GAMA puji terus Jokowi..bunuh diri namanya.