Senin, 11 Oktober 2021

Financial Solusi Proyek kereta cepat.

 






Pada hari minggu saya diskusi dengan Yuni, Florence dan Awi di kantor berkaitan dengan perubahan susunan komisaris. Florence gantikan Awi sebagai Preskom perusahaan Yuni. Setelah itu bicara santai di ruang meeting “ Kenapa jadi rame soal kereta cepat? Bukankah wajar kalau APBN terlibat dalam pembiayaan infrastruktur , apalagi kereta cepat. Di negara lain juga biasa kok. “Kata Florence.


“ Memang biasa. Tetapi ini soal keadilan distribusi modal. Indonesia bukan hanya jawa, tetapi ada sumatera, kalimantan, dll. APBN kita itu 95% habis untuk belanja rutin dan bayar bungan serta cicilan hutang. Hanya 5% untuk pembangunan.  Nah 5% inilah yang dibagikan kepada seluruh provinsi di Indonesia. Jadi wajarlah harus adil. Kalau sedikit, tidak adil pembagiannya, itu akan menimbulkan masalah sosial. NKRI bisa berderak. Ujungnya bisa bubar negeri ini.” 


“ OK. Kalau negara tidak terlibat. Apa iya swasta bisa masuk? Inikan proyek Jumbo.” Kata Awi tersenyum. Seakan mentertawakan sikap saya. “ Dalam bisnis itu besarnya investasi bukan ukuran menentukan uang ada atau tidak.  Yang menentukan adalah kelayakan.  Kecil pun investasi kalau tidak layak tetap aja engga ada duit masuk. “ Kata saya. Dia mulai masuk dalam logika berpikir bisnis saya.  “ OK, lah. Gimana mungkin secara bisnis bisa layak kereta cepat itu? Apalagi katakanlah tidak ada APBN dan tidak ada jaminan resiko dari negara? Tanya Florence.


Memang bagaimanapun sarana tranfortasi publik itu kalau tarifnya  mahal akan kehilangan nilai komersialnya. Business model di era modern sekarang ini, business tidak lagi berfocus kepada harga jasa atau barang. Tetapi nilai komunitas yang bisa dijangkau. Dari komunitas itu ekosistem bisnis bisa tercipta dengan nilai jauh lebih besar daripada sekedar jualan ticket.  Business model KC ( kereta Cepat ) itu ada  pada TOD yang ada di setiap stasiun di Walini, Halim, Gedebage bandung.


Dan kamu tahu, jumlah penduduk terbesar di Indonesia terdapat di Provinsi Jawa Barat. Totalnya sebanyak 45,5 juta atau 20 persen penduduk Indonesia ada di Jawa Barat. Jumlahnya bahkan mencapai sepuluh kali dari penduduk di Kalimantan Barat. Uang beredar di Indonesia lebih separuh ada di jakarta dan Jawa Barat. Jadi peluang masa depan bisnis kawasan ini sangat besar sekali. 


Sebagai pembanding, jarak tempuh Lippo Karawaci jakarta, itu 1 jam. Pada jam sibuk bahkan lebih. Harga tanah sudah Rp 20 juta per M2 di sana.  Berapa harga tanah di Walini yang waktu tempu kereta cepat dari Halim hanya 15 menit? Tentu akan lebih mahal. Nah Value business itu mencakup lahan  TOD dengan luas mencapai lebih 3000 hektar. Hitung aja. Fantastik sekali.


“ Wah jadi ini sebenarnya bisnis property, membangun kota dengan akses kereta cepat. Hebat. Gimana skema pembiayaannya ?tanya Awi.


“ Sederhana saja. Kan secara ekonomi sudah ada kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan China, berkaitan dengan proyek OBOR tahun 2015. China tidak menentukan siapa Kontraktornya. China hanya menentukan jenis proyek. Skema pembiayaan juga secure, yaitu Non Recourse loan. Artinya collateral pinjaman adalah proyek itu sendiri. Artinya lagi sebelum proyek jadi, pinjaman itu tidak akan cair kecuali ada conter jaminan. Jadi tugas proyek sponsor ya menyediakan conter jaminan itu saja.”


Terus..


“ Ada dua skema struktur pendanaan bisa diterapkan. Pertama, skema Turnkey Proyek kepada EPC ( kontraktor ). Bayar setelah proyek  selesai dibangun. Kontrak EPC ini bisa dijadikan oleh konsorsium kontraktor ( EPC) menarik pinjaman dari bank dengan skema EPC loan. Tentu bank akan berikan pinjaman sepanjang Kontraktor itu punya reputasi engga pernah gagal bangun proyek. Toh sumber peluasan dari kredit non recourse loan. Aman.


Kedua, membentuk SPC untuk mengeluarkan unit obligasi semacam real estate securitization structure yang terhubung dengan proyek TOD. Hasil penjualan obligasi itu digunakan untuk membiayai kereta cepat dengan term payment kepada EPC secara progress dan back to back jaminan. Artinya setiap EPC ambil uang harus ada BG. Jadi aman. Setelah proyek kereta cepat selesai dibangun, direfinancing oleh bank lewat skema non recourse loan tadi.  “ Kata saya.


“ Jadi sederhana skema pembiayaannya. “ Kata Awi. “ Engga perlu ada APBN. Dan itu dipelajari di semua kampus yang belajar business. Kenapa jadi repot harus minta APBN segala ? lanjutnya.


“ Masalahnya yang sederhana itu menjadi rumit karena ada kepentingan pribadi dari proyek sponsor. Financial engineering itu terkait dengan moral, profesional. Moral itu diukur bukan dari retorika tetapi skema yang mengutamakan kepentingan stakeholder, ya kepentingan pemerintah, investor, publik, dan kontraktor. Kalau itu dijaga, uang akan datang sendiri. Rp. 100 triliun untuk proyek kereta cepat dengan TOD berskala Block City itu kecil. “


“ Yuni ingat, uda dulu bangun kawasan industri di Ginzho dengan biaya USD 10 miliar. Padahal modal uda hanya 0,8% bayar peremi non recourse loan dari bank di Eropa dan akhirnya engga kepakai juga tuh uang bank. Semua uang berasal dari publik lewat Unit Obligasi berbasis Revenue. Penawaran obligasi di China dan Dubai oversubscribed” Kata Yuni.


“ Apa itu obligasi berbasis revenue? tanya florence.


“ Sukuk, atau obligasi syariah” Kata Yuni.


“ Kok bisa di China? Padahal negara kafir ? Kata Florence. Saya senyum aja.


“ Ya, Itulah enaknya B2B untuk proyek infrastruktur publik. Sosial tercapai, tapi bisnisnya komersial. Pasti sustainable “


“ Dan kamu Ale tetap santai dan tidur enak. Engga pusing mikirin  proyek dan bayar bunga. Tiap tahun dapat deviden. Kemana mana naik gojek. “ Kata Florence.


“ Udahan ya. Saya harus pulang. Yang akur kalian. Sukses selalu.” kata saya tersenyum menutup diskusi.


***

Mafia lahan dibalik kereta cepat.


Tahun 2015 Darmin Nasution menko perekonomian menyampaikan sikap Jokowi “ "Apapun juga pembangunan kereta api ini tidak boleh membebani APBN, langsung atau tidak langsung. Artinya langsung atau tidak langsung itu, baik (ada) anggaran di APBN maupun penyertaan modal untuk itu (kereta cepat), itu yang tidak langsungnya. Tentu juga penjaminan (itu tidak bisa). Itu prinsip utamanya," Atas dasar itulah Perpres 2015 dikeuarkan berkaitan dengan Proyek kereta cepat.


Atas dasar itulah TOR ( term of reference ) tender kereta cepat dibuat dengan prinsip non budgeter. Skema pembiayaan adalah B2B berdasarkan aturan PPP ( Publik private partnership). Artinya negara memberikan hak konsesi mengelola proyek tersebut sampai kurun waktu tertentu. Dalam hal ini adalah 50 tahun. Setelah habis masa konsesi, proyek harus diserahkan kepada negara dalam keadaan clean. Negara yang mengajukan tender adalah Jepang, China, Perancis, Jerman, dan Korea. 


Namun yang mengajukan proposal adalah Jepang, dan China.  Jepang menawarkan pinjaman dengan masa waktu 40 tahun berbunga hanya 0,1% per tahun dengan masa tenggang 10 tahun, padahal sebelumnya bunga yang ditawarkan Jepang sampai 0,5% per tahun. Sementara itu, proposal China menawarkan pinjaman dengan bunga lebih tinggi namun jangka waktu lebih panjang. China menawarkan proposal terbaiknya dan menawarkan pinjaman sebesar US$ 5,5 miliar dengan jangka waktu 50 tahun dan tingkat bunga 2% per tahun. 


Dari kronologi tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa proyek Kereta cepat itu, secara bisnis kalau mengandalkan tarif ticket dan jumlah penumpang, jelas tidak layak. Baik China maupun jepang minta jaminan dari negara. Makanya tender itu tidak ada yang menang. Tetapi kemudian, China mengajukan konsep B2B kepada pemerintah. Tentu langsung disetujui oleh pemerintah. China sebagai pemenang tender. Karena sesuai dengan amanah Perpers 2015. 


Mengapa China berani mengajukan skema B2B? padahal secara bisnis proyek itu tidak menguntungkan?  Karena CHina tidak melihat bisnis kereta cepat sebagai sumber pengembalian investasi, tetapi menerapkan bisnis model dengan menjadikan Kereta cepat sebagai value membangun TOD ( transit oriented development).  Artinya value proyek itu dari peningkatan harga tanah dan property yang ada di TOD seperti Halim, Krawang, Walini, Gedebage. 


Itu sebabnya, keberadaan konsorsium BUMN seperti PTPN dilibatkan untuk setor modal dalam bentuk tanah di Walini. Pemerintah juga memberikan fasilitas tanah di Halim sebagai TOD. Melibatkan Jasa marga untuk setor tanah di jalur kereta cepat. Menunjuk Wika agar tenaga kerja lokal dilibatkan dalam kontruksi proyek, termasuk melibatkan PT. KAI sebagai mitra operator Kereta cepat. 


Tetapi apa yang terjadi setelah itu? Setelah Pemprov Jabar melakukan upaya percepatan proses penerbitan penatapan lokasi (penlok), ternyata muncul masalah yaitu persoalan terkait tata ruang khususnya TOD Walini. PT KCIC ingin kawasan tersebut berubah zona menjadi B2, sementara saat ini kawasan telah ditetapkan sebagai kawasan budidaya pertanian atau pembangunan yang tidak massif atau B4.  Karena situasi tidak jelas dan berlarut larut, muncul lagi wacana untuk geser TOD dari Walini ke Padalarang. Padahal jalur kereta sudah dibangun. TOD gedebage jgua digeser ke Tegal luar. 


Ini bikin stress konsorsium China. Karena bisnis model bertumpu kepada TOD terancam gagal karena masalah perizinan tanah dan status tanah. Sementara proyek kereta cepat terus dikerjakan dengan dana dari hutang  bank ( CDB) dan setoran modal konsorsium ( yang juga tidak settle. Karena ada anggota konsorisum  BUMN gagal setor modal). Ya kalau bisnis model TOD tidak diterapkan, mau engga mau, negara ( APBN) harus bailout proyek kereta cepat ini. Sudah pasti merugi. 


Lantas bagaimana dengan lahan TOD tersebut ? Tetap akan dibangun secara terpisah oleh investor lain. Mereka adalah developer yang mengharapkan rente dari kawasan yang dilewati kereta cepat. Kapan mereka bangun? Ya setelah proyek kereta cepat selesai. Saat itu harga tanah udah naik 10 kali lipat. Mereka bisa jualan gambar daptkan DP 30% untuk bangun perumahan dan lain lain. Dari DP saja mereka udah untung ditanah. 


Artinya, proyek rugi ( Kereta cepat ) ditanggung APBN dan TOD yang menguntungkan dinikmati oleh swasta pemain bisnis rente. Itulah hebatnya mafia tanah. Mereka bisa kendalikan Pemda,  DPRD, Pemrof,  BPN, Menteri Lingkungan hidup,  agar TOD itu gagal menjadi bisnis model kereta cepat. Siapa mereka ? cari tahu sendiri di goolge. Search aja partai yang menang Pilkada Jawa Barat, siapa ketua  BPN. Siapa menteri lingkungan Hidup. Siapa developer besar yang kuasai lahan di Jawa Barat. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.