“ Bagaimana Babo menanggapi fakta bahwa banjir 2020 ternyata tidak seburuk banjir 2015 berdasarkan data yang dikeluarkan lembaga2 berwenang? Tanya nitizen.
“ mengapa ?
“ Perlu diklarifikasi juga karena sepertinya ada aroma ketidak adilan dalam hal ini. Saya percaya adil justru harus dimulai dari pikiran. Mohon penjelasan ya Babo.
“ Setelah banjir besar jakarta tahun 2012, program normalisasi sungai disahkan sby dan Foke. Namun Anggaran normalisasi sungai baru diproses oleh Jokowi lewat worldbank tahu 2013. Saat itulah detail tekhnis perencanaan normalisasi sungai dilakukan. Jadi sejak tahun 2012-2014 memang tidak ada normalisasi sungai.
Kajian soal DAS ( Daerah Aliaran Sungai ) sejak tahun 80an sudah dilakukan secara akademis. Dalam kerangka teori sudah diakui dunia. Anda bisa baca tulisan Linsley ( Water Resources Engineering ) dan jurnal dari IFPRI (International Food Policy Research Institute ). Bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi.
Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun. Contoh yang sederhana, anda bisa lihat Sungai di Surabaya. Terliat menyatu dengan lingkungan dan indah. Untuk lebih keren, anda bisa lihat sungai di tengah kota Seoul. Bukan hanya tertata dengan baik, malah jadi objek wisata. Juga di Shanghai dan Shenzhen, sungai terkelola dengan baik sesuai fungsinya.
Nah mengapa ada program Normalisasi sungai? konsep dasarnya adalah mengembalikan fungsi asli sungai agar 13 DAS yang ada di Jakarta dapat dikelola. Bukan hanya untuk mengendalikan banjir tetapi juga untuk menjaga ekosistem. Lantas megapa ada istilah normalisasi ? karena memang 13 DAS yang ada di Jakarta itu bisa dikatakan tidak lagi normal. Karena, Pertama, luas sungai sudah berkurang akibat hunian yang berada di bantaran kali. Yang lebih konyolnya adalah mereka bukan hanya tinggal di bantaran Sungai, tetapi juga sudah merampas kali dengan cara menguruk sungai untuk tempat tinggal. Sementara sungai yang ada akibat berjejalnya tempat hunian, jadi tempat pembuangan sampah. Sungaipun jadi kotor dan air terhambat, yang membuat sungai semakin dangkal.
Hal tersebut bukan hanya disadari baru baru ini, tetapi sudah disadari sejak lama. Makanya keluar Peraturan Daerah Khusus Ibu Kota DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, yang melarang orang tinggal di Bantaran Sungai. Kemudian, Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030. Program normalisasi sungai itu, disamping melakukan pengerukan dasar sungai, membuat sodetan-sodetan, juga merelokasi hunian yang ada di DAS.
Program pengelolaan DAS ini bukan hanya DKI tetapi juga di daerah lainnya. Seperti kawasan Bogor juga harus melakukan pengelolaan DAS dengan baik. Diantaranya adalah menjaga dampak buruk dari adanya kerusakan hutan ( deforestasi), seperti kemiringan lereng, karakteristik tanah, dan kurangnya area resapan air. Akibat pembangunan yang berlangsung berpuluh tahun tanpa pengendalian lingkungan, deforestasi tidak bisa dihindari di kawasan Bogor. Sehinga bila terjadi pada musim hujan, tanah di perbukitan Puncak semakin mudah terseret air, lalu menggelontor ke sungai dan menjadi sedimentasi. Otomatis kapasitas daya tampung sungai jadi berkurang.
Ini masalah yang harus dibenahi agar DAS ke hilir wilayah Jakarta tidak overload. Karena tidak semua air mersap ke dalam tanah. Solusinya untuk kawasan Bogor dalam jangka pendek adalah membangun bendungan raksasa agar air yang tidak terserap ke dalam tanah, mengalir ke bendungan tersebut. Nah, bendungan itu berfungsi untuk mengontrol debit air dari daerah dataran tinggi di sekitar Jakarta, yaitu Bogor, Jawa Barat. Baru di era Jokowi bendungan itu di bangun, yakni Sukamahi dan Ciawi. Diperkirakan tahun 2020 selesai. Disamping itu, reboisasi hutan kawasan bogor harus dilakukan. Agar terjadi keseimbangan ekosistam dalam jangka panjang.
Di hilir Jakarta ke 13 DAS itu akan ditampung dalam waduk raksasa yang luasnya 30 Km. Itulah bagian dari proyek tanggul raksasa National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) yang di dalamnya merupakan proyek penyedian air baku dengan kapasitas raksasa bagi kebutuhan penduduk jakarta dan Jawa barat, Banten. Reklamasi Pantura Jakarta atau NCICD itu adalah solusi total untuk mengatasi penurunan daratan jakarta, dan menyediakan air bersih tanpa harus menggali sumur. Program reklamasi ini, bukan dibuat sambil ngelamun dan hanya berdasarkan data pustaka di kampus tetapi sudah melalui studi menyeluruh. Aggaran studi nya saja mencapai USD 18 juta dan itu buat di era SBY. Melibatkan ahli dari Belanda yang terkenal di dunia sebagai negara yang sangat ahli bidang bendungan air dan pengendalian dampak lingkungan dari laut. Tapi program NCICD ini dibatalkan oleh Anies.
Bukan itu saja. Yang jadi masalah di Jakarta adalah pemerintah pusat sudah melakukan pembenahan DAS di kawasan Bogor dengan membangun bendungan raksasa. Sementara DAS di Jakarta diubah konsepnya dari normalisasi menjadi naturalisasi. Apa yang dimaksud oleh Anies dengan Naturalisasi ? Kita bisa baca Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air Secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi yang diterbitkan Anies pada 1 April 2019. Disitu definisi naturalisasi dijelaskan dalam Konsep naturalisasi sebagai cara mengelola prasarana sumber daya air melalui konsep pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) dengan tetap memperhatikan kapasitas tampungan, fungsi pengendalian banjir, serta konservasi.
Tahu apa artinya Pergub itu? ya menyiapkan lahan hijau terbuka sebagai resapan air. Sehingga kalau hujan datang, tidak semua mengalir ke sungai tetapi bisa masuk kedalam tanah. Pertanyaannya adalah bagaimana menyediakan lahan hijau terbuka di Jakarta, yang terbatas dan hunian padat.? Engga mudah tentunya. Tetapi anehnya, dalam naturalisasi itu ada juga program meliputi kali, saluran, sungai, waduk, situ dan, embung. Tetapi tidak di jelaskan sesuai dengan konsep DAS. Saya tidak tahu apakah ada kajian akademis yang teruji di dunia tentang Naturalisasi ini. Yang jelas, banjir yang terjadi pada tanggal 1 januari 2020 di Jakarta, itu bukan karena kiriman air dari Bogor, tetapi itu memang banjir terjadi secara lokal akibat intensitas hujan yang tinggi. Sementara daya tampung sungai tidak memadai. Itu sebagai bukti bahwa program naturalisasi ABAS sudah gagal total. Kalaulah ABAS melakukan program normalisasi sungai sejak dua tahun lalu, tentu banjir tidak akan terjadi.
Di hilir Jakarta ke 13 DAS itu akan ditampung dalam waduk raksasa yang luasnya 30 Km. Itulah bagian dari proyek tanggul raksasa National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) yang di dalamnya merupakan proyek penyedian air baku dengan kapasitas raksasa bagi kebutuhan penduduk jakarta dan Jawa barat, Banten. Reklamasi Pantura Jakarta atau NCICD itu adalah solusi total untuk mengatasi penurunan daratan jakarta, dan menyediakan air bersih tanpa harus menggali sumur. Program reklamasi ini, bukan dibuat sambil ngelamun dan hanya berdasarkan data pustaka di kampus tetapi sudah melalui studi menyeluruh. Aggaran studi nya saja mencapai USD 18 juta dan itu buat di era SBY. Melibatkan ahli dari Belanda yang terkenal di dunia sebagai negara yang sangat ahli bidang bendungan air dan pengendalian dampak lingkungan dari laut. Tapi program NCICD ini dibatalkan oleh Anies.
Bukan itu saja. Yang jadi masalah di Jakarta adalah pemerintah pusat sudah melakukan pembenahan DAS di kawasan Bogor dengan membangun bendungan raksasa. Sementara DAS di Jakarta diubah konsepnya dari normalisasi menjadi naturalisasi. Apa yang dimaksud oleh Anies dengan Naturalisasi ? Kita bisa baca Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air Secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi yang diterbitkan Anies pada 1 April 2019. Disitu definisi naturalisasi dijelaskan dalam Konsep naturalisasi sebagai cara mengelola prasarana sumber daya air melalui konsep pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) dengan tetap memperhatikan kapasitas tampungan, fungsi pengendalian banjir, serta konservasi.
Tahu apa artinya Pergub itu? ya menyiapkan lahan hijau terbuka sebagai resapan air. Sehingga kalau hujan datang, tidak semua mengalir ke sungai tetapi bisa masuk kedalam tanah. Pertanyaannya adalah bagaimana menyediakan lahan hijau terbuka di Jakarta, yang terbatas dan hunian padat.? Engga mudah tentunya. Tetapi anehnya, dalam naturalisasi itu ada juga program meliputi kali, saluran, sungai, waduk, situ dan, embung. Tetapi tidak di jelaskan sesuai dengan konsep DAS. Saya tidak tahu apakah ada kajian akademis yang teruji di dunia tentang Naturalisasi ini. Yang jelas, banjir yang terjadi pada tanggal 1 januari 2020 di Jakarta, itu bukan karena kiriman air dari Bogor, tetapi itu memang banjir terjadi secara lokal akibat intensitas hujan yang tinggi. Sementara daya tampung sungai tidak memadai. Itu sebagai bukti bahwa program naturalisasi ABAS sudah gagal total. Kalaulah ABAS melakukan program normalisasi sungai sejak dua tahun lalu, tentu banjir tidak akan terjadi.
Namun saya dapat menyimpulkan bahwa program naturalisasi ini tak lain cara Anies untuk menghindar dari program normalisasi sungai. Mengapa ? karena memang program normalisasi sungai itu tidak populer. Semua gubernur yang pernah ada di Jakarta di hujat karena adanya program normalisasi sungai ini. Sementara bagi Anies, DKI itu sebagai batu loncatatan untuk menjadi RI-1. Dia tidak mau kehilangan popularitas bila harus menggusur hunian di DAS. Kalau faktanya tetap ada penggusuran hunian di DAS, itupun tidak sesuai dengan konsep normalisasi Sungai. Itu sebabnya, dua tahun belakangan ini program normalisasi sungai terhenti.
Pemerintah pusat tidak bisa intervensi Gubernur. Karena acuan soal hunian atau tata ruang adalah sepenunya hak kepala Daerah. Anies bermain main dengan hak otonominya, sambil buying time sampai tahun 2024 untuk melenggang sebagai Capres. Sementara soal banjir yang melanda Jakarta, dia salahkan pemerintah pusat, yang mengacu kepada program normalisasi sungai. Anies anggap itu keliru. Salahnya dimana ? Kelirunya dimana? Apapun alasannya tetap tidak terpelajar. Dia tetap ngeyel seperti kelakuan kadrun. Yang waras terpaksa ngelus dada, termasuk Jokowi. Itulah contoh nyata drama politik yang menempatkan orang salah sebagai Gubernur.
Belajar dari revitalisasi Kota Nanning, China.
Masalah utama kota besar itu adalah urbanisasi. Dari Urbanisasi ini menimbulkan masalah sosial. Kota menanggung beban akan perumahan, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Karena itulah jangan kaget. Bila lahan negara yang ada di bantaran kali , di pinggir rel kereta, diserobot oleh warga. Keadaan ini dibiarkan. Penyebabnya kepala daerah takut menertipkan. Kawatir akan menimbulkan masalah politik. Disamping itu , keberadaan warga yang menempati lahan negara itu, dimanfaatkan oleh tokoh masyarakat, LSM, dan Pamong Kelurahan untuk mendapatkan suap dan rente.
Banjir, kriminalisasi, penyakit sosial, seperti PSK, gembel, adalah dampak dari Urbanisasi. Sebetulnya belajar dari pengalaman China menyelesaikan masalah Urbanisasi ini adalah dengan menata kota lewat penertipan kawasan, dan relokasi. Tadinya kota Nanning, Guangxie, China, itu wilayah yang selalu kebanjiran. Karena wilayahnya berada di DAS, dan kota dibangun memang di DAS. Ini sudah takdir Guangxie sebagai daerah pertanian, yang umumnya masyarakat punya kebiasaan membangun rumah dekat sungai. Tahun 90an China me revitalisasi Kota Nanning, dengan merelokasi hunian menjauh dari Sungai.
Yang hebatnya, kota lama digusur dan dijadikan waduk untuk menampung luapan air sungai. Kota baru dibangun justru tetap berada di DAS. Mengapa ? karena sebetulnya tempat hunian lama itu adalah wilayah delta. Apa itu delta ? Delta adalah daratan pada muara sungai-sungai besar, berupa endapan material lapuk yang diangkut oleh sungai. Artinya Delta merupakan jenis endapan yang diendapkan secara teratur, berlapis-lapis, permukaannya datar, sesuai dengan permukaan air. Nah inilah yang kembali difungsikan dalam bentuk waduk dan daerah hijau terbuka. Terjadilah keseimbangan ekosistem. Sungai bukan lagi jadi ancaman, tetapi jadi berkah. Kota jadi hijau dan indah.
Kembali ke Jakarta. Sebetulnya wilayah Jakarta itu berada di kawasan delta. Jadi wajar saja kalau jadi flood plain. Tetapi apakah Belanda bego membangun Batavia sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan? Tidak. Jakarta/Batavia dibangun meniru kota-kota di Belanda, khususnya Rotterdam. Aliran sungai dikendalikan lewat tanggul dan kanal. Itu sebabnya Gubernur Foke yang memang ahli tataruang, mengundang ahil dari Belanda untuk menata Jakarta agar sesuai dengan rencana ketika awal dibangun. Dari hasil studi menyeluruh dengan anggaran studi sebesar USD 18 juta, maka lahirnya program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).
Mengapa ? karena yang tidak pernah dilakukan Belanda dan gubernur sebelumnya adalah membuat tanggul raksasa. Seperti yang Belanda lakukan di Rotterdam. Makanya selama tanggul itu belum ada, Jakarta selalu banjir, termasuk era kolonial. Karena memang hunian yang ada di Jakarta itu berada di delta. Itu sebabnya waktu Jokowi jadi Gubernur, program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) langsung di eksekusi. Dan era Ahok, NCICD masuk ketahap financial engineering untuk mendapatkan anggaran sebesar Rp. 400 triliun. Dengan cara membuat Perda Pajak tambahan atas lahan reklamasi. Sebelum tuntas, Ahok keburu jatuh di Pilgub. Dan era ABAS, program NCICD dibatalkan demi janji kampanye nya. Ya Jakarta kembali jadi delta tanpa solusi.
Kalau ingin membenahi jakarta bebas banjir dan indah solusi hanya tiga. Pertama, normalisasi sungai harus dilakukan sampai tuntas. Semua hunian di DAS harus digusur dan mereka di relokasi ketempat lain. Kedua, program NCICD harus dilanjutkan. Ketiga, penataan lingungan kawasan Bogor atau daerah yang lebih tinggi dari Jakarta harus dilakukan, dengan cara reboisasi hutan, memperluas ruang terbuka hijau, dan membangun bendungan agar debit air ke hilir ( jakarta) dapat dikendalikan. Sebetulnya ketiga hal itu sudah ada, tapi ABAS membatalkan program yang pertama dan kedua. Akibatnya program yang ketiga jadi useless. Padahal Jokowi keluarkan dana tidak sedikit untuk membangun bendungan itu. Semoga ABAS cepat tobat atau segera lengser.
Mungkinkah Abas pendendam.?
Jokowi pernah bermimpi bila dia jadi Presiden akan lebih mudah membenahi Jakarta. Itu dia sampaikan kepada Ahok dan publik. Karena anda bisa bayangkan, kalau Ahok yang loyal kepada Jokowi, tentu akan mudah bagi Jokowi membantu Ahok secara politik mengatasi masalah banjir di Jakarta. Mengapa? Karena era Jokowi gubernur, itu sudah dipersiapkan perencanaan Jakarta dengan baik, khususnya menanggulangi banjir. Kalaulah Ahok bisa menang Pilgub kemarin, jakarta tidak akan separah sekarang. Saya akan jelaskan dua saja. Apa itu?
Normalisasi Kali.
Waktu Jokowi jadi gubernur, dia berhasil membujuk world bank untuk memberikan tambahan pinjaman lunak untuk program normalisasi Kali Ciliwung. World bank sepakat untuk memberikan pinjaman lunak kepada DKI. Program ini bukan hanya normalisasi kali tetapi juga mencakup revitalisasi kampung kumuh dan relokasi penduduk yang tinggal di bantaran kali. Bahkan skema pembiayaan bagi masyarakat yang terkena relokasi, juga didukung oleh World bank lewat subsidi pengadaan rumah murah dan penataan lingkungan yang bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang terkena relokasi.
Waktu Jokowi jadi gubernur, dia berhasil membujuk world bank untuk memberikan tambahan pinjaman lunak untuk program normalisasi Kali Ciliwung. World bank sepakat untuk memberikan pinjaman lunak kepada DKI. Program ini bukan hanya normalisasi kali tetapi juga mencakup revitalisasi kampung kumuh dan relokasi penduduk yang tinggal di bantaran kali. Bahkan skema pembiayaan bagi masyarakat yang terkena relokasi, juga didukung oleh World bank lewat subsidi pengadaan rumah murah dan penataan lingkungan yang bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang terkena relokasi.
Anggaran ini dititipkan ke pemerintah Pusat melalui menteri PU dengan standar pencairan yang ketat. Tugas Gubernur hanya sebagai pedamping program. Tetapi, apa daya. Yang jadi Gubernur kemudian adalah ABAS. Program normalisasi digantikan dengan program naturalisasi. Maka kandaslah program Jokowi. Tidak hanya sampai di situ, ABAS juga memangkas anggaran penanggulang banjir yang bersifat rutin, seperti perawatan saluran air. Dan mengalihkannya ke program Formula E ajang balap international.
Tanggul Raksasa.
Jokowi sudah menjadikan program Tanggul Raksasa sebagai solusi total mengatasi banjir dan turunnya daratan jakarta. Sekaligus penataan wilayah Pantai Utara Jakarta lewat program reklamasi. Dana anggaran tidak diambil dari APBD tetapi dari skema subsidi silang lewat pajak tambahan atas nilai NJOB di kawasan Reklamasi. Program ini inline dengan program normalisasia kali ciliwung, yang memungkinkan air dari wilayah manapun dapat mengalir ke waduk super raksasa yang ada pada proyek reklamasi, tanpa harus tergenang di daratan. Ahok mengawal ketat kebijakan itu sampai ada Perda DKI. Tetapi program ini kandas. Karena ABAS sebagai gubernu yang baru, batalkan program reklamasi dan tanggul raksasa.
Dua program diatas, berdasarkan undang undang otonomi daerah memang hak Gubernur. Tugas pusat hanya memfasilitasi. Tapi pusat tidak bisa intervensi hak otonomi daerah. Jadi sebenarnya ABAS itu pintar. Dia sangat pintar. Namun kepintaran itu tidak dia pakai untuk kebaikan. Tetapi dia pakai untuk membalas dendam sakit hati karena dipecat oleh Jokowi dari Kabinet. Caranya? membuat Jakarta hancur dan APBD jadi bancakan partai dan kroninya. Secara tidak langsung ABAS mengejek Jokowi di depan hidung, seraya berkata “ antum mau apa ? ane punya kuasa. Baca UU otonomi daerah. Suka suka ane. “ dan sekaligus memuaskan bani kadrun untuk sama sama ngejek Jokowi. Memang orang jahat itu lebih jahat kalau dia pintar dan hipokrit.
Class Action
Jokowi sudah menjadikan program Tanggul Raksasa sebagai solusi total mengatasi banjir dan turunnya daratan jakarta. Sekaligus penataan wilayah Pantai Utara Jakarta lewat program reklamasi. Dana anggaran tidak diambil dari APBD tetapi dari skema subsidi silang lewat pajak tambahan atas nilai NJOB di kawasan Reklamasi. Program ini inline dengan program normalisasia kali ciliwung, yang memungkinkan air dari wilayah manapun dapat mengalir ke waduk super raksasa yang ada pada proyek reklamasi, tanpa harus tergenang di daratan. Ahok mengawal ketat kebijakan itu sampai ada Perda DKI. Tetapi program ini kandas. Karena ABAS sebagai gubernu yang baru, batalkan program reklamasi dan tanggul raksasa.
Dua program diatas, berdasarkan undang undang otonomi daerah memang hak Gubernur. Tugas pusat hanya memfasilitasi. Tapi pusat tidak bisa intervensi hak otonomi daerah. Jadi sebenarnya ABAS itu pintar. Dia sangat pintar. Namun kepintaran itu tidak dia pakai untuk kebaikan. Tetapi dia pakai untuk membalas dendam sakit hati karena dipecat oleh Jokowi dari Kabinet. Caranya? membuat Jakarta hancur dan APBD jadi bancakan partai dan kroninya. Secara tidak langsung ABAS mengejek Jokowi di depan hidung, seraya berkata “ antum mau apa ? ane punya kuasa. Baca UU otonomi daerah. Suka suka ane. “ dan sekaligus memuaskan bani kadrun untuk sama sama ngejek Jokowi. Memang orang jahat itu lebih jahat kalau dia pintar dan hipokrit.
Class Action
Saya tanya kepada teman lawyer , mungkinkah kalau rakyat menggugat Pemrof DKI lewat class Action. Apa mungkin menang? Teman saya mengatakan kalah menang itu soal nanti. Tetapi hak mengajukan class action itu dibolehkan sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 (PERMA 1/2002). Pasal 1 PERMA 1/2002 mendefinisikan gugatan Class Action sebagai suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Contoh class action seperti gugatan kelompok nelayan atas reklamasi pantura jakarta. Menang. Gugatan rakyat terhadap swastaniasi air minum DKI, juga menang.
Kita sering mendengar Pemda di AS kalah di pengadilan perdata berhadapan dengan rakyat hanya karena dia merasa dirugikan akibat jalan berlobang dan dia terjatuh dari kendaraan. Ada juga di China dimana rakyat menggugat perdata pemda karena gara gara trotoar diatas saluran air berlobang, dia terjatuh dan masuk kedalam gorong gorong. Gugatannya dimenangkan oleh pengadilan. Tidak di Barat tidak di Timur, sudah banyak bukti rakyat bisa memenangkan gugatan kepada pemda akibat ulah pemda yang tidak becus mengelola sarana umum. Itulah gunanya negara hukum. Semua punya hak sama di hadapan hukum.
Mengapa? kepala daerah bukan pejabat politik yang kebijakannya tidak bisa digugat. Dia sama dengan manajer. Tugasnya melayani publik, apalagi dengan adanya UU Otonomi daerah, akses dan tanggung jawab kepada publik itu sangat besar. Secara UU daerah mendapatkan dana transfer dari pusat berupa DAU, DAK dan lainnya. Dengan demikian tidak mungkin pelayanan publik tidak jalan. Kewajiabn politik Pusat kepada Daerah sudah terlaksana. Kalau sampai tidak jalan, maka sudah sepatutnya Rakyat berhak menggugat Pemda.
Contoh, dana penanggulangan banjir DKI yang dipangkas, itu sudah fakta hukum akan kesalahan secara perdata maupun pidana Pemda kepada rakyat. Kalau alasan defisit APBD, kenapa anggaran untuk Formula E tidak dipangkas. Juga banyak pompa air tidak berfungsi sebagaimana mestinya sehingga tidak bisa mengantisipasi terjadinya genangan air. Ini kelalaian fatal terhadap pelayanan publik. Belum lagi selama dua tahun program normalisasi sungai yang sudah ada persetujuan Pusat tidak dilakukan. Ini juga fakta hukum akan kesalahan pemda.
Soal kalah menang itu soal nanti, Yang penting pengadilanya terbuka untuk umum..bila perlu live TV, jadi orang bisa tahu yang sebenarnya. Kalau memang ABAS benar ya dia menang. Kalau engga, ya rakyat tahu dia memang brengsek. Ini juga bagus untuk menghilangkan fitnah dan saling prasangka buruk. Namun secara politik rakyat sudah melakukan pendidikan politik kepada kepala daerah dan sekaligus menjewer lembaga Ombudsmen yang mandul membela kepentingan publik. Sudah menjewer KPK yang mandul. Sudah menjewer DPRD yang bigot yang tak peduli kepada rakyat yang memilihnya. Dan bukan tidak mungkin gerakan class action ini akan mendorong bandul politik melengserkan ABAS melalui DPRD dan secara politik memberikan kekuatan bagi presiden untuk memecat ABAS sesuai UU 23/2014. Ya kalau itu terjadi, kena pecat dua kali ABAS. Dan menjadi shock therapy bagi pemda seluruh Indonesia untuk jangan main main dengan standar palayanan publik.
Artikel panjang menyeluruh ... Tks babo Erizeli...
BalasHapus