Minggu, 29 Desember 2019

Erdogan melawan AS.



Erdogan menjabat Perdana Menteri Turki sejak 14 Maret 2003 sampai 28 Agustus 2014. Tahun 2014 ,dia unggul dalam Pilpres langsung yang pertama kali diadakan di Turki sejak 91 tahun. Dalam Pemilu 2019, Erdogan menang lagi, walau partai pendukungnya, Partai Keadilan dan Pembangunan-nya (AKP) kehilangan suara di kota-kota penting di seluruh Turki dan partai oposisi utama semakin mendapat suara, bahkan di Ankara, AKP mengalami kekalahan. Walau sudah diulang pemilu, tetap saja kalah.

Kekuasaan Erdogan tidak seperti yang diinginkan oleh AS. Karena Erdogan tidak seperti Presiden sebelumnya yang lunak terhadap AS, bahkan bisa dikatakan Golden Boy AS. Berangsur angsur sejak Erdogan berkuasa, dia behasil melepaskan Turki dari orbit AS. Apakah AS diam saja dengan sikap Erdogan tersebut ? Tidak. kudata tahun 2016 adalah bukti AS ada di belakang oposisi. Tapi gagal. Ini di hadapi dengan keras oleh Erdogan. Pembersihan dilakukan dengan menangkap 160.000 orang. Mereka yang ditangkap bukan hanya partai oposisi dan ormas agama, ulama, tetapi juga termasuk kalangan militer yang ada di balik kudeta itu.

Kemenangan Erdogan pada pemilu 2019 ini semakin menambah kekawatiran AS. Mengapa ? Kekuasaan Erdogan semakin besar. Dengan sistem presidentil yang baru, Erdogan berhak memilih Menteri yang dia sukai tanpa perlu mendengar oposisi. Bahkan UUD Turki yang baru, memberikan kekuasaan Presiden memilih Hakim Agung dan membubarkan Parlemen. Praktis kekuasaan Eksektufi, Yudikatif, Legislatif ada di tangan Erdogan. Erdogan sekarang sudah sama seperti Xijinping di China, yang sangat berkuasa dan mengontrol sistem kekuasaan di semua lini. Tapi AS akan melakukan segala upaya untuk melemahkan Erdogan.

Kalau ingin tahu sikap Erdogan terhadap geopolitiknya? lihatlah kebijakannya terhadap Suriah. Itu tak lebih cara dia mempertahankan kekuasaannya dari proxy AS yang mengancam kekuasaannya. Erdogan dikepung oleh proxy AS dengan membentuk milisi YPG Kurdi, yang dipersenjatai oleh AS dan mendapat dukungan politik, logistik, dan keuangan dari UEA. Tujuanya adalah melakukan pemberontakan dan kontra-revolusi, yang mengancam kekuasaan Erdogan. Apakah Erdogan takut ? Tidak. Tahun lalu Erdogan memerintahkan militer melakukan operasi Cabang Zaitun di Afrin, berhasil. Kemudian dilanjutkan operasi militer seperti Manbij, Ayn Al-Arab, Tal Al-Abyad, dan Al-Qashmalil, yang semuanya sukses menghancurkan kekuatan teroris di perbatasan di Suriah.

Keadaan ini membuat proxy AS dan AS semakin geram terhadap Erdogan. Mungkin keputusan Donald Trump untuk menarik pasukan Amerika dari Suriah bertujuan mendorong Saudi secara langsung terlibat di Suriah dan bekerja untuk tujuan AS; untuk mengancam geopolitik Turki di Suriah, tentu mengancam kekuasaan Erdogan.  Mohammad Bin Salman Putra Mahkota, pemimpin de facto Saudi mengatakan bahwa Turki dan Ottoman adalah musuh Arab Saudi, seperti halnya Iran dan organisasi teroris. Perhatikan, Turki dan Qatar mendukung gerakan Ikhwanul Muslimin, sementara Arab Saudi mendukung tren Salafi, kedua kelompok ini bisa saja bertemu di medan tempur Suriah. Padahal keduanya adalah muslim. Itulah kehebatan AS mengadu domba Umat islam, agar mereka lemah sehingga tergantung kepada AS. Jadi AS tidak perlu keluar ongkos mahal untuk mencapai tujuan geopolitiknya.

Itu dibaca oleh Erdogan. Itu sebabnya Erdogan berusaha untuk mencapai kemenangan pada Pemilu 2019. Agar bisa menghabisis lawanya, proxy AS di dalam negeri. Dan terbukti, lagi lagi Erdogan menang. Padahal miliaran dollar digelontorkan oleh Arab Saudi dan UEA kepada oposisi. Kemenangan Erdogan adalah pengalaman pahit bagi AS dan sekutunya dalam mempertahankan geopolitik dan geostrategisnya di Suriah. Lantas bagaimana Erdogan bisa menang? itu berkat Rusia dan China. Gimana ceritanya? Awal konplik di Suriah, Turki tergabung dalam FSA (US-EU, Israel , Qatar, Arab Saudi, Turki) untuk menjatuhkan Assad. Namun Assad di back up penuh oleh China, Rusia dan Iran. Tahun 2018 Turki dilanda krisis. Mata Uang lira jatuh 20% agustus 2018. AS tidak mau membantu. Sementara Rusia juga meng-embargo ekonomi Turki. Keadaan Erdogan terjepit. Saat itulah China memberikan bantuan dana kepada Turki. Pada waktu bersamaan China bisa melunakan Rusia agar membuka Embargo terhadap Turki.
Sejak itu hubungan China dan Turki semakin mesra. Turki bisa melihat masalah geopolitik di Suriah sudah kartu mati dan tidak ada guna dipertahankan sesuai design AS. Mengapa ? Kemitraan dengan AS dan Barat tidak menguntungkan secara ekonomi bagi Turki. Di samping itu , Turki tersandera dengan adanya pangkalan AS di Turki. Jadi bagi Turki, AS itu pepesan kosong dan jago PHP. Bagaimana dengan China dan Rusia? Itu jelas posisi Turki sangat strategis bagi Rusia dan China. Tentu lebih besar manfaat politik Turki untuk kepentingan ekonomi domestik. Apa alasannya?

Rusia sangat teracam dengan adanya Pangkalan militer NATO di Incirlik dan Kurecik, Turki. Karena pangkalan militer itu digunakan AS bukann hanya untuk menampung pesawat-pesawat tempurnya tapi juga digunakan menyimpan bom nuklir jenis khusus, yakni B61-12. Bom nuklir yang bisa digunakan untuk mempersenjatai pesawat B-2 Spirit dan F-35 itu oleh Rusia diyakini telah disimpan di Incirlik sebanyak 50 unit. Kalau Turki bisa beraliansi dengan Rusia, pangkalan militer NATO bisa di removed. Sementara Iran bisa berkoalisi dengan Turki karena sama-sama menjadi pendukung Presiden Suriah Bashar al Assad yang kekuasannya berusaha ditumbangkan oleh AS.

Sementara China berusaha mendekati Turki melalui kerjasama Ekonomi agar kerjasama Turki dan Rusia semakin terikat. Tentu membuat panas AS. Pasalnya?, sesungguhnya China merupakan musuh bebuyutan AS di kawasan Laut China Selatan. Munculnya koalisi Rusia-Turki-Iran-China yang terbentuk gara-gara konflik di Suriah itu mungkin tidak diduga oleh AS. Akibatnya, nyali AS terhadap Turki pun jadi meredup dan membuat AS, harus makin bersikap hati-hati terhadap Turki. Sama dengan sikap AS terhadap Indonesia yang harus hati hati, karena ada kepentingan China terhadap jalur logistik melalui perairan Indonesia.

Dan Endorgan semakin perkasa. Menteri luar negeri Turki Mevlut Cavusoglu, Kamis (3/8/2017), menjanjikan akan memberantas seluruh elemen anti- China yang ada di negerinya, termasuk pendukung Etnis Uighur yang ingin merdeka dari China. Sikap Turki diaminkan oleh Saudi, Qatar dan negara islam lainnya. Karena China Follows, karena pertimbangan ekonomi tentunya. Sangar rasional. Pragmatis!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.