Kemarin karena demo buruh, relasi saya dari luar negeri tidak mau masuk Jakarta. Dia minta bertemu di Singapore. Sayapun terpaksa terbang ke Singapore untuk meeting. Rencana usai meeting saya akan kembali ke Jakarta. Hanya dinner meeting.
Di Bandara, saya bertemu dengan teman lama “ Eh Jelly. Apa kabar ? Dia menegur saya. “ Lama ya engga ketemu. Terakhir tahun 2008 di rumah duka. “ Sambungnya seraya menyalami saya dengan hangat.
“ Kabar baik, Ci. Gimana anak anak. Heni udah pulang dari Ausi? Deni udah balik dari Boston?
“ Heni dapat kerjaan di Sydney. Kerja di Bank dia. Deni dapat kerjaan di Huangzho di perusahaan IT. Mereka tetap tidak mau pulang. Apalagi mereka sudah bukan lagi warga negara Indonesia. Sepertinya mereka trauma dengan masa kecilnya waktu kerusuhan Mey 1998” Katanya dengan wajah masih menyimpan duka.
“ Loh kamu sendirian di Jakarta.?
“ Ya. Tetapi tetap sibuk lah.
“ Ya dengar dengar usaha kamu makin maju ya.”
“ Dulu kan kamu yakin saya untuk ngelanjutin usaha koh Akiat. Jadi importir dan agent barang dari Luar. Berkat kamu, teman teman koh Akiat di China, dan Taipeh, kasih saya kesempatan untuk lanjutkan usaha suami. Jadi, ya beginilah. Tetap sibuk.”
“ Mengapa sejak Koh Akiat meninggal kamu tidak nikah lagi?
“ Enggalah. Sampai kapanpun saya tidak bisa melupakan Koh Akiat. Dia terlalu baik, dan tak akan mungkin tergantikan.”
“ Ya benar. Akiat orang baik. Baik sekali. Entah mengapa orang baik seperti dia harus menerima cobaan begitu besar. “ kata saya seperti bicara kepada diri saya sendiri.
“ Tapi ada yang sampai sekarang saya sedihkan.”katanya
“ Apa itu?
“ Akiat meninggal dalam pelukan saya. Dia bisikan kepada saya agar jaga anak anak. Didik mereka untuk tidak dendam kepada siapapun. Tapi sampai sekarang anak anak tidak mau pulang ke Indonesia. “
“ Mereka mungkin tidak dendam tetapi masih trauma. Saya sangat maklum. Apalagi waktu prisitwa Mey 98 itu, mereka masih anak anak. Sulit menghapus memori buruk itu”
“ Ya mereka selalu cerita kesaya, bagaimana kami bisa pulang, ma. Kami pernah menyaksikan Papa di bakar orang. Rumah kita juga dibakar. Mama di telanjangi. Walau akhirnya kita bisa selamat, itu sangat membekas sampai kini, Ma. Mereka bukan manusia, ma..bukan” Katanya dengan airmata berlinang. Saya hanya terdiam. Tak berapa lama airmatanya jatuh. Pertemuan itu berakhir ketika ada panggilan untuk saya boarding.” Saya harus masuk boarding” Kata saya.
“ Jel, ini telp Heni dan Deni. Cobalah telpon mereka. Yakinkan mereka untuk pulang. Saya inginkan mereka kembali. Karena di sini Papa nya dikubur dan saya juga berharap kelak dikubur dekat papa mereka.” Katanya menulis nomor telp dibalik kartu namanya. “ Mereka selalu tanya, Om Jelly mana ma?. Mereka inget kamu Jel. Apalagi Deni.” Sambungnya. Memang hubungan saya dengan suaminya Koh Akiat sangat dekat. Sudah seperti kakak adik. Makanya anak anaknya sangat dekat dengan saya. Waktu saya menikah mereka memberi hadiah cicin ke istri saya. Dari dia saya belajar international trade. Dia juga yang kasih saya modal waktu saya jatuh bangkrut.
“ Kabar baik, Ci. Gimana anak anak. Heni udah pulang dari Ausi? Deni udah balik dari Boston?
“ Heni dapat kerjaan di Sydney. Kerja di Bank dia. Deni dapat kerjaan di Huangzho di perusahaan IT. Mereka tetap tidak mau pulang. Apalagi mereka sudah bukan lagi warga negara Indonesia. Sepertinya mereka trauma dengan masa kecilnya waktu kerusuhan Mey 1998” Katanya dengan wajah masih menyimpan duka.
“ Loh kamu sendirian di Jakarta.?
“ Ya. Tetapi tetap sibuk lah.
“ Ya dengar dengar usaha kamu makin maju ya.”
“ Dulu kan kamu yakin saya untuk ngelanjutin usaha koh Akiat. Jadi importir dan agent barang dari Luar. Berkat kamu, teman teman koh Akiat di China, dan Taipeh, kasih saya kesempatan untuk lanjutkan usaha suami. Jadi, ya beginilah. Tetap sibuk.”
“ Mengapa sejak Koh Akiat meninggal kamu tidak nikah lagi?
“ Enggalah. Sampai kapanpun saya tidak bisa melupakan Koh Akiat. Dia terlalu baik, dan tak akan mungkin tergantikan.”
“ Ya benar. Akiat orang baik. Baik sekali. Entah mengapa orang baik seperti dia harus menerima cobaan begitu besar. “ kata saya seperti bicara kepada diri saya sendiri.
“ Tapi ada yang sampai sekarang saya sedihkan.”katanya
“ Apa itu?
“ Akiat meninggal dalam pelukan saya. Dia bisikan kepada saya agar jaga anak anak. Didik mereka untuk tidak dendam kepada siapapun. Tapi sampai sekarang anak anak tidak mau pulang ke Indonesia. “
“ Mereka mungkin tidak dendam tetapi masih trauma. Saya sangat maklum. Apalagi waktu prisitwa Mey 98 itu, mereka masih anak anak. Sulit menghapus memori buruk itu”
“ Ya mereka selalu cerita kesaya, bagaimana kami bisa pulang, ma. Kami pernah menyaksikan Papa di bakar orang. Rumah kita juga dibakar. Mama di telanjangi. Walau akhirnya kita bisa selamat, itu sangat membekas sampai kini, Ma. Mereka bukan manusia, ma..bukan” Katanya dengan airmata berlinang. Saya hanya terdiam. Tak berapa lama airmatanya jatuh. Pertemuan itu berakhir ketika ada panggilan untuk saya boarding.” Saya harus masuk boarding” Kata saya.
“ Jel, ini telp Heni dan Deni. Cobalah telpon mereka. Yakinkan mereka untuk pulang. Saya inginkan mereka kembali. Karena di sini Papa nya dikubur dan saya juga berharap kelak dikubur dekat papa mereka.” Katanya menulis nomor telp dibalik kartu namanya. “ Mereka selalu tanya, Om Jelly mana ma?. Mereka inget kamu Jel. Apalagi Deni.” Sambungnya. Memang hubungan saya dengan suaminya Koh Akiat sangat dekat. Sudah seperti kakak adik. Makanya anak anaknya sangat dekat dengan saya. Waktu saya menikah mereka memberi hadiah cicin ke istri saya. Dari dia saya belajar international trade. Dia juga yang kasih saya modal waktu saya jatuh bangkrut.
Di pesawat saya teringat akan Akiat. Saya mendampinginya di Rumah sakit. Di saat terburuk itu saya ada disampingnya. Separuh tubuhnya terbakar. Karena para perusuh melempar bom molotov ketubuhnya. Itu karena dia berjuang untuk membebaskan istrinya yang akan diperkosa. 3 bulan di rumah sakit. Dalam keadaan sakit, usaha bangkrut. Benar benar tragis nasifnya. Saya mengabarkan kepada relasinya di luar negeri tentang keadaanya. Segala hutang menjadi tanggungan saya. Namun semua sahabatnya memaklumi. Mereka bebaskan Akiat dari hutang.
Bahkan sahabatnya di Ausi membawa Heni untuk sekolah di Perth. Deni ikut sahabatnya di AS, Boston untuk sekolah. Setelah itu dia kena stroke. 10 tahun dia lumpuh dibawah perawatan istrinya. Akhirnya meninggal dalam pelukan istrinya. Mey 98 adalah tragedi kemanusiaan terburuk. Para elite politi sekarang, adalah mereka yang bertanggung jawab terhadap keamanan ketika itu. Mereka juga bagian dari rezim Soeharto. Setidaknya mereka harus bertanggung jawab agar peristiwa Mey 98 tidak akan terulang lagi..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.