Kamis, 26 September 2019

Jokowi ambil alih KPK


Setelah pertemuan dengan tokoh masyarkat yang diantaranya adalah mantan Ketua KPK Erry Riana Hadjapamekas, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, pakar hukum tata negara Feri Amsari dan Bivitri Susanti. Hadir juga tokoh lain seperti Goenawan Mohamad, Butet Kartaradjasa, Franz Magnis Suseno, Christine Hakim, Quraish Shihab, Azyumardi Azra. Dalam pertemuan itu Jokowi berjanji akan mempelajari usulan untuk mengeluarkan Peraturan pengganti UU KPK yang sudah di syahkan DPR. Saya yakin Jokowi akan bersikap bijaksana terhadap situasi yang berkembang. Terutama adanya gelombang tuntutan dari adik adik mahasiswa yang melakukan demonstrasi di berbagai kota.

Saya hanya akan membahas soal sikap Jokowi sebagai Presiden dan konteks ia menjalankan amanah rakyat. Tadinya sebelum UU KPK di revisi, posisi Jokowi sebagai Presiden terhadap KPK sangat kuat. Bahwa Presiden sebagai penanggung jawab pemberantasan Korupsi. Namun dalam UU KPK itu presiden dilarang melakukan intervensi. Artinya Presiden punya kekuasaan tetapi tidak bisa melaksanakan kekuasaannya. Kalau ternyata KPK tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan benar, maka yang bertanggung jawab adalah Presiden. Perhatikan. Apakah ini tidak timpang antara hak dan kewajiban?

Karena KPK di pilih oleh DPR sesuai seleksi dari panitia seleksi yang dibentuk Presiden, maka “ deal “ antara DPR yang mewakili partai dengan anggota komisioner terpilih tidak bisa dihindari. Itu sebabnya sejak KPK berdiri, 17 tahun lamanya, KPK tidak benar benar independent melaksanakan tugasnya. Suka tidak suka, anggota komisioner KPK harus berpolitik dan punya mindset politik. Kalau engga, dia akan gagal dalam pemilihan di DPR. Mengapa ? Anggota DPR itu orang politik, dan Capim KPK itu bukan orang baru dikenal oleh anggota DPR. Rekam jejaknya sudah diketahui oleh anggota DPR. Kalau rekam jejaknya tidak bisa kompromi dengan elite partai, engga mungkin bisa lolos sebagai capim.

Jadi kalau ada Pimpinan KPK bilang dia bersih dan jujur, itu pasti bullshit. Tidak perlu jadi orang pintar untuk tahu pimpinan KPK itu brengsek, liat aja kinerjanya. Dengan kekuasaan yang begitu besar, kinerjanya tidak seperti yang diharapkan. Banyak kasus besar yang berhubungan dengan elite partai besar tidak bisa diselesaikan. Mengapa ? antara partai dan komisioner KPK itu secara diam diam berkomunikasi. Bagi pimpinan partai, KPK itu dijadikan kartu untuk menghadapi lawan politiknya. Itulah yang terjadi selama 17 tahun. Keadaan ini dibaca dengan baik oleh Jokowi. Saya yakin Jokowi tidak nyaman dengan sistem seperti ini. Apalagi APBN semakin membesar dan tantangan semakin besar, kalau korupsi tidak bisa di minimize, apapun kebijakan ekonomi tidak akan efektif.

Begitu banyakknya OTT terhadap elite politik dan kepala daerah, membuat ambisi DPR untuk mengubah UU KPK semakin besar. Ini dimanfaatkan oleh Jokowi dengan elegant. Hak DPR mengubah itu di dukung oleh Jokowi tentu dengan syarat yang seperti Jokowi mau. Hasil permainan kartu politik ini adalah DPR mencoba memasukan pasal mengenai dewan Pengawas. Jokowi terima. Namun pemerintah memasukan draft bahwa Dewan Pengawas dipilih dan ditetapkan oleh Presiden. Peran DPR hanya konsultatif saja. Gerindra menolak keras. Alasannya mereka ingin pembagian Dewas proporsional antara yang dipilih presiden dan DPR. Tetapi pemerintah menolak.

Mengapa presiden perlu mengambi alih peran Dewas ? karena penanggung jawab pemberantasan korupsi sesuai UU adalah Presiden. Sudah seharusnya Presiden punya hak mengawasi KPK secara kelembagaan. Dan itu melalui dewan pengawas. Loh itu artinya Presiden intervensi ? Ya. harus intervensi. Wong panglima tertinggi anti korupsi itu adalah Presiden. Kok begitu? Tugas Jokowi bukan hanya soal pemberantasan korupsi tetapi juga menjaga stabilitas politik.

Mengapa ?

Suka tidak suka, urusan pemberantasan korupsi itu berkaitan langsung dengan pundi pundi uang partai, dengan jatung politik. Kalau salah sedikit saja memenage nya bisa stroke jantung. Mati. Artinya kalau jantung berpotesi sakit dan sedang sakit, obat yang paling mujarab bukan operasi tetapi mencegahnya. Makan yang sehat dan olah raga yang cukup. Kontrol diri yang baik. Disini kehendak Jokowi terpenuhi. Tetapi dalam UU KPK yang direvisi itu , DPR juga memasukan pasal jebakan. Sebagai pemain kartu politik , Jokowi engga mungkin memenangkan pertempuran disemua lini. Karena targetnya adalah memenangkan peperangan. Yang penting DPR bisa menerima pasal yang diusulkan pemerintah. Itu dulu yang dipegang.

Nah, setelah Revisi UU KPK di syahkan , maka situasi politik memanas dan sehingga dianggap genting. Saat itulah keberadaan Perpu menjadi legitimate untuk dikeluarkan. Yang jelas, Perpu itu tidak akan mengembalikan UU KPK seperti sebelumnya. Perpu itu tentu akan memuat pasal yang menguntungkan Jokowi sebagai penanggung jawab pemberantasan Korupsi. Termasuk melegitimasi Pimpinan KPK baru yang usianya tidak sesuai dengan UU KPK. Dan memastikan semua pegawai KPK adalah abdi negara yang tunduk kepada UU ASN , dimana panglima tertingginya adalah Presiden.

Kita harus percaya kepada Jokowi, karena dia bukan elite partai dan bukan pula anggota kartel bisnis yang punya ambisi akan uang dan harta. Kalau dia punya kekuasan penuh terhadap pemberantasan korupsi maka kita akan lihat hasil KPK berikutnya. Yang pasti di periode kedua ini , dia nothing to lose. Tentu dia berpikir yang terbaik untuk bangsa dan negara yang dia cintai…Tapi apakah DPR bisa menerima PERPU itu ? kita liat nanti DPR periode 2019-2024.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.