Kamis, 13 September 2018

Pasar menyusut


Kemarin saya ke Singapore untuk lunch meeting dengan relasi. Dia seorang fund manager dari London. Dia wanita berusia 40 tahunan. Setelah bicara bisnis, kami bicara hal yang ringan. Apalagi kalau bukan soal ekonomi. Hampir semua pasar domestik di semua negara melemah, katanya. Dulu Mall banyak di bangun. Sejak tahun 2013 terjadi perubahan yang sangat cepat sekali. Penjualan eceran drop mencapai titik terendah. Menurut saya bahwa perubahan pasar yang ada sekarang tidak terjadi dengan begitu saja tapi sudah berproses sejak tahun 80an, dan belanja online bukanlah penyebab utama pasar menyusut tapi hanya perubahan cara orang belanja saja.

Yang terjadi sesungguhnya adalah market adjustment atau terjadinya proses permintaan dan penawaran menuju titik keseimbangan baru. Mengapa ? Sejak tahun 80an telah terjadi penambahan kapasitas produksi yang tiada henti. Pada akhir 1990-an angka-angka indikator tampak sangat mencolok. Industri komputer di AS meningkat 40% per tahun, jauh di atas proyeksi demand tahunannya. Sektor eceran juga mengalami hal yang sama. Raksasa-raksasa eceran seperti K-Mart dan Wal-Mart mengalami kekurangan tempat untuk barang-barang mereka. Terjadilah suatu fenomena, ‘kelebihan pasokan’ hampir di semua hal. Ketika kapasitas produksi tidak lagi bisa di serap pasar, orang bukannya menghentikan investasi tapi terus memacu produksi. Tahun 90an terjadi deregulasi pasar finansial besar-besaran, lengkap dengan dihilangkannya batas-batas perpindahan kapital antar negara dan antar sektor usaha. Salah satu contohnya adalah dihapuskannya peraturan Glass-Steagal AS yang melarang lembaga keuangan terlibat langsung dalam kegiatan perbankan investasi dan perbankan komersial. Dampaknya terjadi kreatifitas produk investasi.

Pada tahun 1980-an dan 1990-an muncullah bentuk-bentuk instrumen finansial yang lebih canggih, seperti futures, swap, dan option-derivatives. itu semua demi mendorong pasar uang berperan membiayai produksi yang terus melimpah dan pasar semakin sesak oleh barang. Juga mendorong orang berbelanja dengan kredit konsumsi yang longgar. Proses ini tidak ada yang menghentikan. Bahkan Pemerintah sengaja membiarkan dengan alasan neoliberal. Akibatnya kegiatan bisnis bukan lagi atas dasar rasional tapi emosional karena sifat rakus. Pada akhirnya, ekonomi ilusi ada batasnya. Alam nyata menunjukkan kegagahannya dan mengintervensi dunia usaha pada tahun 1998 terjadi gelombang krisis di ASIA. Indonesia terkena dampak parah. Tahun 2000 mengakibatkan koreksi dan hilangnya kekayaan investor sebesar 4,6 trilyun dollar AS di Wall Street. Jumlah ini, menurut Business Week adalah separuh dari Produk Domestik bruto AS, dan 4 kali jumlah kehilangan pada crash tahun 1987. Dengan diperparah oleh wabah dotcom maka ekonomi AS mengalami resesi akut pada tahun 2001.

Tahun 2008 kembali terjadi goncangan moneter dengan jatuhnya Lehman brothers yang menyeret terjadinya krisis financial di AS. Dua tahun kemudian atau tahun 2010 dunia memasuk krisis global dengan ditandai banyak negara yang tergabung dalam Uni Eropa mengalami kesulitan membayar hutang. Jepang masuk dalam putara spiral krisis, karena terjadinya deplasi. Korea, Taiwan sebagai satelit AS juga tumbang. Krisis berlanjut dengan melambungnya harga pangan yang berdampak terjadinya gelombang demokratisasi di Timur Tengah. Bukan hanya sistem kapitalis yang terpuruk, negara yang menerapkan sosialis juga oleng seperti kasus hancurnya mata uang Venezueala dan penutupan ribuan pabrik di China.

Apakah pertumbuhan ekonomi dan investasi karena laba yang terus meningkat ? tidak juga. 500 perusahaan fortune global termasuk konglomerat Indonesia , mereka tidak kaya dari laba tapi karena seni berhutang baik melalui perbankan mapun pasar uang. Penjualan rumah dan apartemen meningkat bukan karena orang berlebih uang tapi karena hutang. 90% barang konsumsi rumah tangga dibiayai oleh hutang. Peningkatan kapasitas industri dan ekonomi di CHina, Korea, Taiwan, Eropa , AS bukan karena akumulasi laba real tapi karena kegiatan berhutang. Jadi selama ini negara maupun korporate memang menciptakan pertumbuhan ekonomi palsu atau fake. Hasilnya ya paradox dalam bentuk economic bubble. Ketika krisis baru semua melihat fakta bahwa yang katanya kaya dan hebat itu ternyata memang hampa.

Tapi apa yang menarik dari krisis global sekarang ini adalah tidak adalagi ruang solusi yang too good to be true. Mengapa ? Rasio hutang negara maju sudah diatas pagu kesehatan financial. Menambah hutang jelas bukan solusi bahkan akan menumbangkan rezim kapitalisme secara struktural. Jadi apa solusinya ? Harus menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi sekian decade belakangan ini memang over capacity, dan itu dipicu oleh longgarnya pasar uang. Tidak bisa lagi mengandalkan kekuatan financial untuk mengatasinya, tapi lebih kepada perubahan mental. Saat sekarang yang terbaik bagi pelaku dunia usaha adalah bertindak realistis. Tidak usah berharap pasar akan meningkat tapi berusahalah menyesuaikan kapasitas produksi dan bisnis sesuai pasar yang ada. Disamping itu gaya hidup juga harus diubah untuk hidup sederhana. Earth provides enough to satisfy every man's needs, but not every man's greed

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.