Minggu, 04 Desember 2016

Menjadi Pemenang...


Kalau kita perhatikan di sosmed begitu banyak postingan yang menghujat Jokowi dan bahkan di padukan dengan kehebatan kreatifitas image digital yang bisa meng ekspresikan kebencian terhadap Jokowi. Ada apa ini ? Padahal mereka orang beragama dan bahkan dari golongan islam. Demikian kata teman saya ketika silahturahmi ke rumah saya. Saya bisa paham rasa kawatir yang tersirat dari teman ini. Karena prilaku seperti ini bukan hal baru. Dulu zaman Soekarno dan Soeharto menghujat pemimpin tetap di lakukan namun di lakukan di tempat tempat yang orang lain tidak boleh mendengar. Harus di pastikan yang mendengar adalah teman seiring dalam politik. Namun dia era IT sekarang ini, informasi masuk ke saku kita lewat gadget dengan contain dari media social yang bisa di akses kapan saja , dimana saja oleh siapa saja. 

Di tambah lagi di era keterbukaan saat ini,  tidak ada larangan bersikap apa saja asalkan bertanggung jawab. Apalagi dasar hokum terhadap sosmed adalah delik aduan. Artinya kalau orang yang di hujat atau di fitnah tidak mau melaporkan kepada Polisi maka tidak ada kasus. Dulu dan sekarang sama aja. Itulah politik. Pemain politik begitu hebat mencuci otak pengikutnya sehingga idiologi itu jadi candu. Siapapun yang sudah keracunan candu ini maka tidak akan bisa kembali normal lagi. Karena otaknya sudah error. Kalaupun dia bisa kembali normal namun sifat paranoid tidak akan bisa hilang...

Apakah ini mengkawatirkan ?  Tidak. Mengapa ?  Ya biarkan saja. Karena mereka bukan lagi kumpulan yang di perhitungkan oleh elite politik. Politik itu di drive oleh elite yang punya target kekuasaan dan pasti ada transaksional di balik itu. Dengan kekuasaan itu mereka bisa menjalankan ageda bersama sama. Bagaimana dengan orang banyak yang sudah di cuci otaknya ?  Manapula elite politik mau pikirkan nasip mereka. Padahal diantara akar rumput belum bisa menerima kekalahan calonnya. Sementara baik calon yang kalah dan yang menang bisa berdamai. Bahkan saling bersilahturahmi dan saling melempar senyum penuh keakraban seakan tidak pernah terjadi perseteruan apapun.  

Saya pernah bertanya dengan pimpinan Partai soal masih ada akar rumputnya yang tidak bisa menerima kekalahan itu.  Dia menduga bahwa ini cara politik kotor. Pihak yang menang sengaja menarik gerombolan yang telah di cuci otaknya menjadi kayu bakar untuk menghidupkan api agar terus menyala dan membuat orang terang, walau tidak benderang. Terang ini penting sekali agar menarik kunang kunang dalam satu titik. Jadi kesimpulannya seperti teori marketing komunikasi bahwa cara terbaik menarik perhatian audience adalah berita yang buruk. Orang akan berkumpul untuk mendengar dan membicarakan berita buruk ini. Siapapun dia akan menjadi terkenal ketika di beritakan buruk. Apalagi kalau sudah terkenal.

Bukankah berita buruk itu merugikan. Tentu akan merugikan karena sebagian orang yang tadinya mendukung akan menyingkir dari barisan. Dan lagi apa untungnya di dukung oleh pemilih yang tidak cerdas bersikap dan hanya kunang kunang, kumpul kalau ada cahaya. Mereka bukan asset. Tapi ingat bahwa di Indonesia ini ada swing voter yang  jumlahnya jauh lebih banyak dari akar rumput yang ada di semua partai. Mereka pemilih cerdas yang tidak bisa di provokasi dengan kampanye hitam, tidak bisa di bujuk dengan ayat Quran, tidak bisa di bujuk dengan uang goban, apalagi pencitraan. Mereka dapat bersikap santai untuk golput ketika calon yang di sodorkan oleh partai bukan orang yang mereka percaya. Menarik swing voter tentu dengan berita buruk. Ini akan membuat mereka mencari tahu. 

Saya melakukan eksperimen. Ketika ada berita buruk terhadap Jokowi, saya buat tulisan di blog dari sudut pandang berbeda secara positip, ternyata dibaca lebih dari 1.000 orang sehari, bahkan mencapai 10.000 lebih. Saya yakin yang membaca ini sebagian besar adalah swing voter. Tentu mereka melakukan cross check atas tulisan saya itu. Bila benar maka mereka akan jadikan saya narasumber. Terbukti traffic blog saya semakin tinggi. Artinya mereka mencari tahu maka mereka akan gunakan saluran yang benar dan tidak mungkin dari saluran yang tidak jelas, apalagi dari media yang  wartawannya di gaji alakadarnya atau dari media yang alamat dan kantornya beda atau dari sosmed yang pengikutinya hanyalah akar rumput yang miskin wawasan. 

Jadi sehebat apapun hujatan orang kepada Jokowi dan menempatkan Ahoks sebagai pesakitan kasus penistaan agama, justru membuat swing voter semakin bertambah berpihak kepadanya. Memang kelompok swing voter tidak seratus persen setia. Mereka akan menjadi pemerhati yang cerdas dan pasti sabar. Karena cerdas pasti sabar dan tidak suka hura hura teriak di jalanan. Selagi analisa mereka benar mereka akan tetap di belakang pemimpin yang mereka idolakan tapi kalau tidak benar maka mereka dengan easy walk way, emang gua pikirin. Mengapa ? Hidup mereka mapan secara spiritual maupun materi. Hidup mereka tidak tergantung dengan pemerintah. Lihat aja hasil pemilu, bagaimana suara PD yang merosot walau SBY sebagai icon dan bagaimana suara PKS , PKB , PPP walau agama sebagai icon tetap tidak bisa mengalahkan PDIP. Bagaimana koalisi PS yang di kawal para Ulama, tak bisa mengalahkan Jokowi yang bukan seorang ulama dan tidak di dukung partai Islam. 

Apa sih yang tidak di sukai oleh swing Voter? Tanya teman saya. Ya mereka muak bila orang bicara agama untuk mendapatkan simpati rakyat. Mereka muak dengan arogansi kekuasaan yang penuh dengan atribut kehormatan berlebihan. Mereka ingin hidup damai , inginkan pemimpin yang egaliter. Mengapa ? karena para pengusung idiologi dan agama kehilangan reputasi akibat kasus korupsi dan amoral. Belum lagi laku dari ormas Islam berwajah garang dengan jargon terkesan intolerance yang tak patut di  dengar oleh para swing voter.  Para swing voter ini adalah kelompok  yang menginginkan perubahan dan sadar perubahan itu tidak mudah. Mereka memlih pemimpin bukan karena janji politik diatas panggung tapi mereka memilih karena tahu karakter pemimpin itu qualified untuk melakukan perubahan. Mereka tidak menganggap pemimpin itu  lampu aladin. Mereka cerdas dan mereka adalah kado terindah dari abad 21. 

Semoga ini menjadi pelajaran bagi elite politik dari partai yang  masih mastur idiologi dan agama agar berubah. Mari cerdas berjuang dan tinggalkan niat berkuasa tapi perkuat niat untuk berkorban dan berjuang karena Tuhan. Setidaknya mari giring akar rumput untuk menghadapi kenyataan. Beri mereka pencerahan bagaimana mereka bisa jadi agent perubahan di lingkungan terdekatnya. Partai dan ormas seharusnya menggunakan insfrastrukturnya yang ada di seluruh Indonesia untuk meng-advokasi rakyat khususnya UKM agar punya akses kepada dana bergulir yang di sediakan pemerintah. Meng-advokasi pedagang kecil agar mampu membangun pasar modern melalui dana revitalisasi pasar yang disediakan pemerintah. Meng-advokasi rakyat menguasai sumber daya alam di daerah dan membentu akses pemasaran serta akses pendanaan melalui Sistem Resi Gudang yang sudah jadi UU dan menjadi kewajiban pemerintah melaksanakannya. 

Pendekatan menjelang Pemilu dengan  retorika agama dan idiologi tidak laku lagi tapi kesalehan social, berbagi dan menolong bagi sesama itu akan membuat orang banyak jatuh cinta. Tebarkan cinta dan kasih sayang. Sudahilah berkeluh kesah yang tidak jelas. Lebih baik focus kepada kebaikan dan menetramkan lewat kerja keras melahir karya nyata. BIla ini di laksanakan maka kemenangan di Pemilu mendatang adalah reward yang memang deserved menerimanya. Kalau tidak maka gejala Ahok, seperti yang di katakan Buya Safie Maarif,  adalah gejala kegagalan parpol Muslim melahirkan pemimpin, tapi tidak mau mengakui kegagalan ini. Selama tidak jujur dalam bersikap, jangan berharap kita bisa menang.

2 komentar:

  1. thanks tulisannya pak, istilahnya saya jadi tau swing voter.
    swing voter tidak akan berpindah pilihan bila dirasa blm ada yang lebih baik.

    BalasHapus
  2. Enak dibaca dan menambah wawasan.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.