Kamis, 28 Juli 2016

Menulis...

aku bersama cucuku.

Saya teringat ketika SMP, saya ikut lomba menulis cerpen yang diselenggarakan oleh  Majalan Kuncung dan Kantor Pos. Ketika niat ikut lomba itu saya sampaikan kepada ibu saya, dengan antusias ibu saya mendukung.  Saya masih ingat betapa sulitnya merangkai kalimat yang sesuai dengan ide saya. Berkali kali saya menulis dan setelah itu saya tidak puas. Kertas yang sudah ditulis dengan tangan itu akhirnya tercabik cabik. Itu saya lakukan berkali kali. Saya putus asa. Kemudian ibu saya membelai kepala saya sambil berkata bahwa pikiranmu adalah kekuatanmu namun ketika menulis jangan sampai pikiranmu mengendalikanmu tapi ikut sertakan hatimu untuk merangkai setiap kalimat itu. Saya teringat ketika SD, guru saya pernah mengajarkan cara menyusun kalimat dengan mudah. Sambil memeluk saya dia berkata  “ apa yang kamu rasakan sekarang “ saya jawab bahwa ibu baik sekali. Kemudian guru saya berkata , tulislah itu seperti apa yang kamu pikirkan dan rasakan itu. Apa yang dikatakan guru SD saya tak ubahnya sepeti apa kata ibu saya. Bahwa tulisan akan bermakna apabila melibatkan pikiran dan jiwa. Dan itu lebih memudahkan untuk merangkai kalimat.

Setelah saya selesai menulis satu halaman. Ibu saya membacanya dengan tersenyum. Tak lupa dia memuji saya bahwa saya telah menggunakan hati dan pikiran saya dalam bentuk tulisan. Apapun hasilnya tak penting. Karena setiap orang yang membacanya akan merasakan getaran hati dari tulisan itu dan kemudian akalnya akan mencerna. Kata kata bisa hilang karena waktu tapi tulisan akan abadi. Ketika kita menulis visi kita terungkapkan dengan jelas dan ketika orang membacanya misi kita tertunaikan. Mungkin kamu tidak mampu berbuat tapi dengan tulisan orang lain melakukannya untuk mu. Demikian nasihat ibu saya yang tak pernah saya lupa hinggi kini. Ya, Menulis sangat penting karena sesuatu yang tak tertulis tak bisa dilaksanakan. Andaikan Al Quran dan hadith tidak pernah tertuliskan maka tidak ada kelanjutan syiar agama. Kehendakan Allah pulalah hingga manusia tergerak untuk merangkai semua firman Allah dalam satu alkitab yang tertulis secara teratur dan karena kehendak Allah pula perilaku agung Rasul tertuliskan dalam bentuk Hadith hingga blue print manusia sempurna dapat kita pelajari.  Para ulama dan cerdik pandai merenungkan setiap kalimat Allah dan lahirlah  berbagai tulisan yang  menginspirasi orang untuk menjadi lebih paham untuk lebih baik berbuat dan bersikap karena Agama.

Saya menyukai tulisan sains namun saya lebih senang membaca biographi yang ditulis oleh pelakunya sendiri atau oleh orang terdekatnya. Buya Hamka   menulis buku “ Ayahku “ namun ketika penerbit ingin meng editnya agar sesuai dengan ejaan Indonesia yang sempurna, beliau protes. Beliau tetap tak ingin dirubah setiap kalimat yang ditulisnya. Karena menurutnya dalam setiap kalimat itu ada kekuatan jiwa dari dia sebagai seorang putra ayahnya. Bila kalimatnya diedit maka kekuatan jiwanya akan berkurang. Maka jadilah buku “ Ayahku “ itu sebagai buah karya sastra yang tinggi nilainya. Andrea Hirata penulis novel “ Laskar Pelangi” awalnya hanyalah ungkapan kisah pribadinya yang tertuangkan dalam tulisan yang tak niat dipublikasikan. Karena ditulis tanpa ada niat apapun.  Kecuali bagaimana dia mengungkapkan kenangan masa kecilnya di desa tetap abadi dalam tulisan. Itu kenangan indah yang tak ingin hilang dalam memori hidupnya. Tentu dengan jiwanya dia menulis. Apa jadinya, tulisan itu bernilai sastra tinggi dan dibaca oleh banyak orang. Menjadi inspirasi bagi orang untuk berbuat karena cinta. Begitupula cerpen saya di majalah kuncung menjadi salah satu juara tingkat nasional dalam lomba yang diadakan oleh Kantor Pos ketika itu.

Apakah semua orang harus menjadi penulis? Tentu tidak harus ditulis dalam buku hingga diterbitkan untuk dibaca banyak orang. Kalau bisa itu tentu lebih baik. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita menulis pengalaman hidup keseharian kita dari berinteraksi dengan banyak orang , keadaan dan lingkungan. Cobalah menulis itu dalam buku harian sambil melatih jiwa kita meng explorasi pengalaman keseharian itu. Uraikanlah dalam tulisan apa yang kita pikirkan tentang apa yang dikatakan atau ditulis orang lain. Ungkapkanlah apa yang kita lihat dan perhatikan disekitar kita. Setelah itu, bila ada waktu, cobalah membacanya kembali. Kita akan mendapatkan hikmah dalam menghadapi persoalan hidup keseharian kita. Karena tidak ada yang terlewatkan hilang. Itu akan terjadi pengulangan. Tulisan di buku harian itu adalah pembelajaran kita untuk mengingat yang lewat dan bijak menghadapi realitas dihadapan kita. Itu sebabnya sejak SMP saya punya kegemaran menulis buku harian namun yang tak rahasia. Artinya siapapun boleh membacanya. Namun ketika era internet muncul dan blogger mulai diperkenalkan, putra saya menyarankan saya agar saya menempatkan buku harian saya dalam blog.  Karena menurutnya akan dibaca oleh orang lain untuk menjadi pelajaran bersama.

Lee Iacocca pernah berkata bahwa kebiasan menulis adalah langkah awal meraih prestasi. Banyak businessman hebat didunia ini tapi tidak banyak yang memberirkan hikmah dari kehebatannya kecuali Donald Trump yang sangat produktif menulis buku.Jadi, siapapun kita, kalau peduli untuk berbuat demi hadith Nabi “ sampaikan walau satu Ayat” maka mulailah menulis dengan pikiran yang bersanding dengan hati. Insya Allah, kita sudah menjadi bagian dari visi perubahan , setidaknya dari diri kita sendiri….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.