Saya nasihatkan kepada putra saya yang telah menikah bahwa
satu-satunya penghinaan yang tak pernah bisa dilupakan oleh istri adalah bila
dia memukulnya. Luka di hatinya akan membekas. Setelah itu, walau hubungan kembali baik namun
keadaannya tidak akan sama lagi. Mengapa sampai begitu? Hal ini karena ketika
suami memukul istrinya, sebetulnya dia sedang mempertontonkan kelemahan dan
kerendahan moralnya sebagai pria.Tidak ada istri yang bisa hidup nyaman dengan
suami yang lemah dan berakhlak rendah. Tidak ada. Yang
diinginkan setiap istri sesungguhnya adalah
perlindungan dari keperkasaan suami, baik secara fisik maupun moral. Dengan itulah istri bisa melewati guncangan hidup rumah tangga
dan mau mengikuti nasihat suami sebagai kepala rumah tangga.
Suatu saat seorang teman bercerita. Ketika dia
sedang asyik di kamar kerja,
terdengar teriakan istri menyuruhnya makan. Pekerjaannya terhenti dan ia pun kehilangan mood untuk meneruskan. Usai makan, ketika ia sedang duduk santai di depan TV,
kembali istrinya mengomel, meminta agar dia mengurangi merokok. Rokok pun sudah tak nikmat lagi di bawah omelan
itu. Baru mau istirahat siang, sang istri kembali mengingatkan agar jangan tidur siang sebelum shalat Zuhur. Tidur pun tertunda dan rasa kantuk
terhalau untuk segera shalat. Sore harinya dia berencana
bertemu dengan teman namun sang istri minta ditemani belanja ke Carrefour. Setiap dia akan memilih barang, sang istri selalu berkata, “Nggak perlu itu!” Ketika dia melihat
barang yang lain, sang
istri berkomentar, “Udah, nggak usah. Ntar
dibeli juga lupa makannya.” Jadi, semua tak boleh. Hanya istri yang boleh memilih. Dia benar-benar hanya
sebagai pendamping dan tak mempunyai hak untuk membeli.
Walau ajaran agama membolehkan suami memukul istri,
syaratnya sangat ketat. Kalau suami sampai melakukannya maka pukulan itu tidak
boleh mengenai pipi karena pipi adalah kehormatan bagi wanita. Tidak boleh
memukul tubuh atau lengannya. Pukulan harus diarahkan ke kaki dan tidak boleh
ada bekas. Jadi, hakikatnya bukanlah pukulan yang membuat istri kesakitan, melainkan
hatinya yang dipukul karena perbuatannya yang melanggar perintah Tuhan serta merendahkan
kehormatan suami dan keluarga. Apa itu? Ya bila istri ketahuan selingkuh. Selebihnya,
tidak ada alasan bagi pria untuk marah dengan kata-kata kasar menyayat hati
atau ekspresi yang menakutkan istri. Lantas, bagaimana seharusnya suami
bersikap bila istri―karena sifatnya―kadang membuat suami tidak nyaman?
Teman saya
melanjutkan ceritanya. Kehidupan mereka dilanda badai dan goncangan. Kesulitan ekonomi mulai membuat layar bahtera rumah tangga
miring dilamun ombak. Ada rasa ragu untuk melangkah. Takut untuk menatap
haluan. Dalam situasi itu seharusnya dorongan semangat datang dari istri agar
tak gentar untuk terus menghadapi badai. Namun, bukannya dorongan semangat yang datang. Dia justru dihantam kata-kata yang menyingkapkan semua
kesalahan yang pernah dia buat. Itu terus diulang-ulang. Dia tak bisa berbuat banyak kecuali mendengarkan dalam kesabaran. Ya, dia lemah. Ya, dia tidak berkonsentrasi menghadapi masalah. Ya, dia banyak lalai. Ya, dia boros. Ya, semua kesalahannya tergambarkan dengan untaian kata di
bawah letupan emosi yang tak sudah. Pening. Dia harus berubah!
Ketika badai berlalu, angin mulai berembus dengan pasti mendorong bahtera melaju dengan gagah.
Ada rasa bangga untuk sedikit berharap mendapatkan pujian. Namun, bukannya pujian yang
didapat, malah sifat curiga berlebihan yang datang. Sedikit parlente, disikapi dengan curiga. Sedikit agak konsumtif, dibilang lupa pernah susah. Sedikit mau bergaya, dibilang nggak ingat umur. Semua salah. Salah.
Lantas di mana benarnya? Mungkin sebagian orang yang bernasib sama dengan dia akan mengatakan dia gagal mendapatkan istri yang saleha.
“Benarkah saya gagal bila mendapatkan istri tidak seperti kualifikasi saleha yang digambarkan ada pada
diri Khadijah atau Fatimah Az-Zahra? Yang selalu berlembut wajah ketika berbicara dengan suami. Yang selalu tampil rapi ketika
berangkat tidur. Benarkah?” tanyanya dengan tekanan kata, membuat saya tersentak dan juga bertanya hal yang sama.
Teman saya itu tersenyum dan menatap saya, seakan menunggu reaksi saya atas
pertanyaannya. Saya hanya diam. Akhirnya, dia menjawab sendiri pertanyaannya itu. Bagi dia, kehadiran istri dalam hidup tak ubahnya
kehadiran Allah di setiap detak jantungnya. Betapa
tidak? Dia yang boros, yang malas,
pragmatis, pesimistis, mudah kalah, dan kadang-kadang tidak sabar, disikapi istrinya
dengan sifat yang membuat dia tidak nyaman. Letupan emosi istri lewat bahasa
oral dan tubuh telah menelanjangi nafsu egonya. Tak sedikit pun ego nafsunya bisa berlindung
dari segala alasan untuk meyakinkan bahwa dia benar. Tidak ada. Walau di luar sana begitu banyak orang memujinya, di rumah tak ada pujian. Yang
didapatnya di rumah hanya koreksi tiada henti. Tentu dengan
cara istrinya yang spesial membuat dia harus berkaca pada kesalahannya. Setiap hari, setiap detik, dalam kebersamaannya dengan istri di rumah, proses pembunuhan egonya berlangsung efektif.
Benarlah. Seiring berlalunya waktu, tanpa dia sadari sifat
boros, malas, pragmatis, pesimistis, mudah kalah, tak sabar, dan segala sifat
negatifnya sebagai pria yang juga sebagai kepala rumah tangga telah
bermetamorfosis menjadi orang yang hidup dalam kesabaran, hemat namun tidak
pelit, istiqamah, rendah hati, optimistis, dan tak mudah menyerah. Anehnya, sang istri pun bermetamorfosis menjadi seperti apa yang dia impikan.
Teman saya itu tersenyum bahagia. Dia seakan memberikan hikmah kepada saya
tentang perjalanan kehidupan rumah tangganya bahwa jodoh adalah hak Allah. Allah lebih tahu mengapa kita harus bertemu dan akhirnya
menikah. Di hadapan istri, tak
ada lagi topeng, lahir batin kita telanjang. Yang paling tahu siapa kita, ya, pasangan
kita. Istrilah yang akan menjadi mentor
kita. Dengan istrilah kita saling
mengingatkan dan menjaga walaupun kadang
membuat kita tidak nyaman.
Ya, Allah hadir dalam kehidupan kita lewat orang terdekat yang kita cintai. Allah memberikan
hadiah terindah kepada kita berupa cinta yang merupakan produk surga, yang karenanya kita tenteram melewati guncangan hidup. Lewat hadiah inilah Allah
mendidik kita untuk menjalankan agama. Bukankah Rasulullah pernah bersabda
bahwa menikah itu sama saja dengan melaksanakan setengah kewajiban agama? Saya maknai itu sebagai setengah
jalan untuk berlatih menjadi sempurna di hadapan Allah.
Rumah tangga adalah small world bagi kita untuk
belajar bijak memahami kehidupan ini, setidaknya melatih kita tidak egoistis
dengan mengandalkan superioritas kita di hadapan istri. Ingatlah
sabda Rasulullah bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu. Istri kita adalah kaum ibu dan kehormatan bagi anak-anak kita.
Hormatilah istri dengan baik karena di situlah kehormatan kita sesungguhnya sebagai pria, sebagai
suami.
Jadi, bila
suasana hati istri menimbulkan letupan emosi yang membuat Anda tertekan, kesal,
dan tak nyaman, janganlah buru-buru berburuk sangka serta menjadikan Khadijah
atau Fatimah sebagai pembanding. Jangan jadikan hal itu sebagai alasan
untuk mencari wanita lain sebagai istri. Jangan! Ketahuilah bahwa wanita sejati
tidak tersedia di etalase. Ia harus Anda
ciptakan sendiri lewat proses kesempurnaan akhlak Anda. Anda
bukanlah Rasulullah. Anda juga bukan sekelas Ali bin Abi Thalib. Anda
hanyalah pria akhir zaman yang mudah berkeluh-kesah dan
selalu ingin serba gampang. Lihatlah wajah istri Anda. Di situlah
Allah hadir dan berdialog dengan Anda untuk mengoreksi
Anda dalam
proses menjadi sempurna.
Tulisan tersebut diatas adalah salah satu bab dari Buku :
Cinta Yang Kuberi , Volume 2
Cinta Yang Kuberi , Volume 2
Buku tersedia di Toko buku Gramedia di Kota anda.
Kalau anda minta di kirim ke alamat silahkan hubungi WA / SMS 0811 33 1924
atau email ebandaro@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.